Komunitas Pecinta Suluk (KUCLUK) - MJM Bersemangat - Abah Eko Wardoyo As-Syadzily - Motivation of Juharuddin Muhammad

Rabu, 30 September 2015

Islam dan Kebudayaan Jawa

2:51:00 PM Posted by M. Juharuddin Mutohar No comments


ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA


BAB I
PENDAULUAN

Hubungan antara Islam dan budaya Jawa dapat di katakana sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan, yang secara bersama-sama menentukan nilai mata uang tersebut. Pada satu sisi, Islam yang datang dan berkembang di Jawa di pengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa.
Sementara itu sisi kedua , budaya Jawa makin di perkaya oleh khazanah Islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampilkan atau melahirkan cirri yang khas sebagai budaya yang singkretis, yakni Islam Kejawen (agama islam yang bercorak kejawen). Pada titik inilah terjadi semacam “simbiosis mutualisme” antara Islam dan budya Jawa. Keduanya (yang kemudian tergabung menjadi satu) dapat berkembang dan di terima masyarakat Jawa tanpa menimbulkan friksi dan ketegangan. Padahal, antara keduanya sesungguhnya terdapat beberapa celah yang memungkinkan untuk saling berkonfrontasi.
Untuk mengetahui lebih lanjut hal itu, pembahasan tentang Islam dalam budya Jawa di bagi atas tiga sub bahasan, yakni:
      1.      Bagaimana Peradaban Jawa Sebelum Islam ?
      2.      Bagaimana Islamisasi di Jawa dan ?
      3.      Bagaimana Akulturasi antara Islam dan Budaya Jawa ?


BAB II
ISLAM DAN  BUDAYA JAWA

A.    Bagaimana Peradaban Jawa Sebelum Islam ?
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Dia tidak cukup hanya mencari makanan, pakaian, dan perumahan, walaupun kebutuhan material ini penting. Manusia membutuhkan keyakinan atau sesuatu yang dipercayai. Kepercayaan masyarakat Jawa yang bertumpu pada penyembahan terhadap ruh-ruh para leluhur (animisme) dan kekuatan magis benda-benda (dinamisme) telah menjadi bagian dari hidup mereka sebelum adanya agama-agama asing yang datang (Hindu, Budha, Islam dan Nasrani). Kemudian sekitar tahun 3000 SM, masuklah orang-orang Melayu purba dari pegunungan Cina selatan melalui Vietnam. Pada abad berikutnya sekitar tahun 2000 SM datang lagi orang-orang Melayu yang sudah memiliki peradaban agak tinggi dan menganut kepercayaan atas kuasa ruh-ruh dalam kehidupan manusia. Penduduk asli pulau Jawa dan pendatang Melayu kuno inilah yang diyakini sebagai asal usul atau nenek moyang orang Jawa (Ridin; 2004: 8).
Suku-suku bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa. Sebelum kedatangan Hinduisme telah hidup teratur dengan religi animisme dan dinamisme yang dijadikan akar spiritualitasnya, dan hukum adat yang mereka jadikan sebagai pranata kehidupan sosial mereka. Religi animisme-dinamisme merupakan akar budaya yang dimiliki bangsa Indonesia khususnya suku Jawa, sehingga mampu berdiri kokoh walaupun mendapat pengaruh dan harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju. Budaya jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama hindu dan islam, maka kebudayaan jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebut sehingga menyatulah unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan islam dalam budaya jawa tersebut. Jadi, nilai jawa yang telah berpadu dengan islam itulah yang kemudian disebut budaya jawa islam.
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadinya perpaduan nilai budaya jawa islam tidak terlepas dari faktor sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran islam di tengah masyarakat jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sudah menyatu dengan budaya jawa. Sehingga diperlukan pengertian untuk dapat mengakulturasi antara budaya jawa dengan Islam. Apalagi dimasa modern ini tentu semakin banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam khususnya masyarakat jawa. Dengan terjadinya globalisasi diera modern ini, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada dibelahan dunia lainnya tidak terkecuali bangsa Indonesia (Wasit; 2004: 15).
Terutama masyarakat Islam jawa yang kebudayaannya masih kompleks dengan tradisi kejawen. Disinilah tantangan dimana masyarakat jawa dituntut untuk dapat mempertahankan kebudayaannya namun juga harus bisa mengimbangi perkembangan teknologi yang ada sehingga tidak ketinggalan zaman. Masa modern ini kebudayaan Islam jawa senantiasa berkembang sesuai seiring perkembangan IT. Tentu saja bukan hal mudah untuk merubah tradisi-tradisi tersebut namun setindaknya bisa disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi saat ini.
      1.      Kebudayaan dan Keagamaan Orang Jawa Sebelum Islam
Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang bertempat di Pulau Jawa. Mereka memiliki kebudayaan yang beragam di mana itu adalah bawaan dari nenek moyang mereka. Pada saat sebelum Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa masih mempunyai kepercayaan pada agama yang dianut oleh nenek moyang. Diantaranya adalah animisme dan dinamisme sebagai akar spiritualitas dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial masyarakat Jawa. Religi animisme dan dinamisme yang merupakan akar budaya asli Indonesia khususnya dalam masyarakat Jawa cukup mengakar dalam sehingga punya kemampuan yang kenyal (elastis). Dengan demikian dapat bertahan walaupun mendapat pengaruh dan berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju. Jauh sebelum kedatangan Islam, pulau jawa merupakan salah satu pusat terpenting agama Hindu dan Buddha di dunia. Puing-puing Hindu kuno banyak bertebaran di berbagai daerah  wilayah pulau jawa (Pranowo; 2009: 114).
Agama dan masyarakat adalah dua istilah yang dalam satu sisi berdiri sendiri-sendiri. Karena itu, masing-masing dapat dibicarakan atau dikaji tanpa harus dikaitkan satu dengan lainnya. Tetapi dalam sisi yang lain, terutama ketika ditempatkan dalam perspektif kebudayaan, agama tidak akan lepas dari masyarakat yaitu para pemeluk agama yang bersangkutan. Dalam perspektif kebudayaan itu, agama dapat mengambil bentuk sebagai sistem pengetahuan dan sistem keyakinan. Agama menjadi fungsional untuk acuan tindakan yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan adab masyarakat manusia (Tohir; 2006: 2).
Daerah jawa dilihat dari tata ruang fisik dan tata ruang sosial terbagi ke dalam tiga tipologi yaitu daerah pegunungan, daerah pedalaman, dan daerah pantai atau pesisir. Tipologi tata ruang fisik, menggambarkan adanya perbedaan-perbedaan fisik, seperti tata letak tanah seperti termasuk jenis, sifat, dan ; serta udara atau cuaca yaitu berudara dingin, sedang atau panas. Adanya perbedaan kondisi fisik menggambarkan adanya perbedaan corak masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian antara ruang fisik dan ruang sosial, keduanya saling terkait satu sama lain (Tohir; 2006: 5).
Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Kepercayaan masyarakat Jawa yang bertumpu pada penyembahan terhadap ruh-ruh para leluhur (animisme) dan kekuatan magis benda-benda (dinamisme) telah menjadi bagian dari hidup mereka sebelum adanya agama-agma asing yang datang (Hindu, Budha, Islam dan Nasrani).
a.       Kepercayaan Animisme Jawa
Animisme berasal dari kata anima, animae, dari bahasa Latin animus, dan bahasa Yunani avepos, dalam bahasa Sanskerta disebut prana, dalam bahasa Brani disebut ruah yang artinya nafas atau jiwa. Dari pandangan sejarah agama istilah tersebut digunakan dan diterapkan dalam suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkan kepercayaan terhadap adanya makhluk-makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa (Daradjat; 1985: 25).
Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji (Darori; 2000; 6).
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka maminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar mereka tidak mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo asing mbahureksa, mbahe, atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, disendang-sendang atau beliak, tempat mata air, dikuburan-kuburan tua dari tokoh terkenal pada masa lampau atau tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya. (Mundiri; 2008: 91).
Ketiga, penanggalan Jawa yang memiliki keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya. Sistem penanggalan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, asing-masingnya disebut pancawarna atau pasaran, sadrawa, dan saptawara. Nama-nama hari pancawarna dan sadwara semuanya berasal dari Jawa, yaitu paing, pon , wage, kliwon, dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paing rong, uwas, dan mawulu. Pada waktu-waktu tertentu dipasang sesajen supay aroh-roh itu berkenan kepadanya maka yang terdiri dari sekeda rmakanan kecil dan bunga, dalam rumah, dikebun dan dipinggir sawah (Sofwan; 2008: 80).
Ritus religious dalam masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan, suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan doa, adalah peristiwa yang sangat sederhana akan tetapi upacara ini setara dalam tatanan dan kepadatan simboliknya (Andrew; 2001: 35).
b.      Kepercayaan Dinamisme Jawa
Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu dunamos dan di-Inggriskan menjadi dynamis yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya. Dinamisme adalah kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau benda mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak, keris, cincin dan lain-lain) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat memancarkan kekuatan baik dan buruk kepada manusia dan alam sekitar. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dianggap mempunyai pengaruh baik dan buruk (Andrew; 2001: 69).
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan sepenuhnya.sebagai peninggalan sisa masa lalu adalah melalukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih Ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan puasa pada hari-hari wewaton atau hari kelahiran (Andrew; 2001: 87).
Usaha yang paling berat adalah melakukan pati geni, yaitu tindakan tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Untuk menambah kekuatan batin tersebut menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak, songsong Jerne, batu akik, akar bahar dan kuku macan (Andrew; 2001: 101).
Penganutkepercayaan dinamisme sering meminta tolong kepada arwah-arwah nenek moyang untuk urusan mereka, juga terhadap arwah-arwah orang-orang yang mereka anggap besar, dan dihormati,  biasanya adalah tokoh masyarakat setempat.Mereka masih mempercayai benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib, seperti keris, batu hitam, batu merah delima dan lain-lain. Suatu kepercayaan yang mempercayai kekuatan abstrak yang berdiam pada suatu benda maupun tempat tertentu (Andrew; 2001: 102).
Masyarakat Jawa penganut dinamisme percaya bahwa selain kehidupan fana ada kehidupan dunia lain yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Sisi baik dari kepercayaan dinamisme jawa adalah mereka dapat memahami konsep pluralism, sikap toleransi dan menghormati kepercayaan lain juga keterbukaan mereka terhadap lingkungan sekitar. Beberapa upacara tradisi para penganut dinamisme jawa yang masih rutin sampai saat ini adalah larungan, perayaan tahun baru sura, tedhak siten, ruwatan dan lain-lain. Di Kraton Yogyakarta dan Solo masih rutin diadakan upacara kirab pusaka pada tahun baru jawa sura, sedangkan upacara larungan yang paling terkenal adalah di daerah pesisir Cilacap (Andrew; 2001: 70).
c.       Keagamaan Orang Jawa Pada Masa Hindu Buddha
Masuknya Bangsa India yang membawa agama dan peradaban baru diterima dan berkembang menjadi bagian kehidupan masyarakat Jawa. Masuknya agama Hindu-Budha bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum brahmana India, serta untuk memperkenalkan peradaban intelektual serta kesejahteraan Hindu di kalangan istana. Para Brahmana bertindak sebagai penasehat kerajaan, memberi petunjuk mengenai sistem organisasi dan upacara kerajaan sebagai sendi dasar sebuah kerajaan.
Pengaruh Hindu-Budha untuk beberapa abad, yang sudah meninggalkan warisan-warisan budaya, berupa sistem pemerintah, tempat-tempat pemujaan, dan upacara-upacara keagamaan sangatlah kuat. Tradisi dan budaya Jawa mulai berpadu dan mengadopsi budaya India tersebut, agama menjadi pendukung kekuasaan, pengkultusan Dewa-Raja (raja titisan dewa), raja menjadi pusat pengabdian dan penyembahan. Kerajaan menempatkan nilai-nilai agama sebagai sesuatu yang sakral, tradisi kerajaan yang menempatkan agama sebagai sendi dasar ini semakin membuat wibawa dan keramatnya sebuah kerajaan, sehingga pihak istana mendapat perlakuan yang istimewa dari semua kalangan (Darori; 2000: 71).
Kebudayaan Jawa menerima pengaruh Hindu-Budha tidaklah membuat jati dirinya hilang atau musnah, justru yang terjadi adalah kebangkitan budaya Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama Hindu-Budha. Agama Hindu dan Budha berhasil diserap dan dicerna, atau bahkan di-Jawakan (Simuh, 1996:115). Lahirlah agama atau kepercayaan Hindu-Kejawen, Budha Kejawen, yang merupakan bentuk-bentuk kepercayaan yang dipraktekan oleh pihak kerajaan dan diteruskan kepada masyarakat. Kerajaan-kerajaan Hindu Kejawen atau Budha-Kejawen inilah yang membuat semakin kuatnya tradisi dan kepercayaan masyarakat Jawa, yang serba animis-dinamis (Darori; 2000: 76).
1)      Masuknya agama Hindu di Jawa
Terdapat tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan tradisi Jawa dengan hindu atau India.
a)      Asal usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seseorang bernama Aji Saka. Legenda ini menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh Jawa, yaitu tarikh saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.
b)      Penafsiran indianisasi yang kurang bersifat historis diberikan naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Tulisan ini menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (Siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi penghuni.
c)      Kelanjutan dari teori mutasi perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di Pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat itu (Hadiwijoyo; 1999: 17).
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Ada beberapa teori masuknya agama Hindu ke Indonesia, diantaranya:
a)    Teori Brahmana
Di kemukakan oleh J.C Van Leur. Menurutnya para Brahmana sangat berperan dalam penyebaran agaman Hindu di Indonesia. Para Brahmana diundang oleh penguasa nusantara untuk menobatkan raja, memimpin upacara-upacara keagamaan, dan mengajarkan ilmu pengetahuan.
b)   Teori Ksatria
Dikemukakan oleh C.C Berg. Menurutnya agama Hindu disebarkan oleh para prajurit perang yang kalah dan melakukan migrasi ke nusantara.
c)    Teori Waisya
Dikemukakan oleh N.J Krom. Menurutnya agama Hindu disebarkan oleh para pedagang yang datang ke nusantara.
d)   Teori Arus Balik
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Menurutnya agama Hindu Budha dibawa oleh para pemuda yang khusus belajar agama di India dan kemudian pulang untuk disebarkan di nusantara (Hadiwijoyo; 1999: 20).
Pada zaman ini hidup keagamaan orang Hindu didasarkan atas Kitab-kitab yang disebut: Weda Samhita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berarti: pengetauan (wid = tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah buahciptaan Dewa Brahmana sendiri. Isinya diwahyukan Dewa Brahmana kepada para rsi atau pendeta dalam bentuk mantera-mantera, yang kemudian disusun sebagai pujian-pujian oleh para rsi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya (Hadiwijaya; 1999: 17).
2)      Masuknya Agama Buddha di Jawa
Agama Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama pada tahun ± 531 SM. Ayahnya seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya bernma Dewi Maya. Agama Buddha banyak disebarkan oleh para pedagang dari india dan china ke jawa. Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya “Tiga Keranjang” yang ditulis dengan bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang adalah:
a)      Winaya Pitaka, yang berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha  atau jemaat, hidup sehari-hari para bhiksu atau bhikku ( rahib ) dan sebagainya.
b)      Sutra Pitaka, yang berisi dharma (dhamma).
c)      Abhidamma Pitaka, yang berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu atau pengetahuan yang membawa kepada kelepasan dan lain sebagainya. (Hadiwijaya; 1999: 18)
Masyarakat jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan. Yang disebut orang jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa (Suseno; 2003: 11).
Orang Jawa terdiri dari 2 golongan social: (1) wongcilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2) kaumpriyayi dimana termasuk kaum pegawai dan orang – orang intelektual (Suseno; 2003: 12).
Selain itu masih ada kelompok ketiga yang kecil tapi tetap mempunyai prestise yang tidak cuku ptinggi, yaitu kaum ningrat (ndara), yang dalam gaya hidup dan pandangan dunia, mereka tidak begitu berbeda dari kaum priyayi (Suseno; 2003: 13).
Semboyan saiyeg saka paya atau gotong oyong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan fondasi patembayan yang kuat dan mendasar (Darori; 2000: 80).

B.     Bagaimana Islamisasi di Jawa ?
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit (Sofwan; 2004: 25).
Menurut cerita rakyat dan pandangan umum berlaku dalam sastra jawa, Islam datang dan menyebar di jawa adalah berkat jasa sembilan pendakwah yang bergabung dalam suatu dewan yang disebut Walisongo.
Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati masyarakat dan sampai sekarang makam mereka masih tetap penting bagi peziarah muslim di jawa bahkan di seluruh Indonesia. Kisah perjuangan kehebatan perjuangan mereka masih terus diceritakan ulang, dicetak dalam buku dikisahkan dalam ceramah-ceramah keagamaan. Pada tahun 1980 bahkan sejumlah film dibuat, mengisahkan kejadian ajaib serta kegiatan mereka dalam menyebarkan agama.
Meskipun kisah tentang kehidupan kesembilan orang yang suci ini sangat populer hidup dikalangan masyarakat, tetapi sebuah penelitian yang lebih bersifat ilmiah tentang asal-usul serta kegiatan mereka dalam menyebarkan Islam belum pernah dilaksanakan.
Dalam pandangan para sejarawan terdapat dua pendapat tentang kisah kisah itu. Kelompok pertama antara lain dikemukakan oleh C.C. Berg, berpendapat bahwa kisah-kisah tentang walisongo itu tumbuh dari keyakinan umum masyarakat dan tidak mempunyai dasar sejarah sama sekali.  Kelompok kedua antara lain yang dikemukakan oleh H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud menyatakan bahwa banyak aspek dalam kisah itu dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan pengetahuan modern serta tidak memuat hal-hal yang ajaib (Sofwan; 2004: 2).
Kisah rakyat tentang Walisongo ini amat populer dikalangan masyarakat. Banyak buku dicetak mengisahkan kehidupannya dan hampir seluruhnya memuat kejadian-kejadian ajaib yang tentu saja dianggap aneh para ilmuwan dan orang-orang modern. Kisah-kisah yang penuh misteri itu perlu didudukkan pada fungsinya yang tepat sehingga kisah-kisah walisongo tidak hanya dongeng yang bernilai sebagai pelipur lara, melainkan kisah-kisah yang sesungguhnya bernilai sejarah apabila dimaknai. Bila semua ini dilaksanakan maka sesungguhnya sebagian besar dari kisah Walisongo yang beredar di masyarakat jawa pada hakikatnya mengandung nilai sejarah yang tinggi juga.
Literatur Jawa yang memuat hampir keseluruh peristiwa sejarah disebut babad. Hampir semua raja memerintahkan untuk menulis kembali peristiwa sejarah berdasarkan kejadian dan menurut kondisi sosial dan politik yang terakhir. Sebagian naskah Babad ini mencapai 6000 halaman. Naskah sejarah utama itu berasal dari kerajaan Mataram (Sekarang Yogyakarta dan Solo). Penelitian tentang wali yang bersumber pada babad telah dimulai oleh Dr. Ringkes yang pada tahun 1910 mulai menginventarisasi subjek-subjek yang berkaitan dengan para wali ini. Antara tahun 1911 dan 1913 beliau mempublikasikan enam artikel panjang dari sumber yang berharga. Terjemahan dan komentarnya dilakukan dengan bahasa Belanda. Komentar, terjemahan dan metode yang telah dilaksanakannya pantas untuk dilanjutkan (Sofwan; 2004: 4).
        1.      Peranan Wali Songo dan Metode Pendekatannya
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim).
Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim dipanggil juga Syekh Maghribi yang dalam Babad Tanah Jawi disebut Makdum Brahim Asmara. Beliau adalah saudara Maulana Ishak, dan dengan putri campa, melahirkan dua orang putra, yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Aki Murtadla atau Raden Santri. Beliau adalah Putra dari Raden Jumadil Qubro (Khalid; 2000: 14).
Maulana Maghribi datang ke jawa tahun 1404 M. Yang menurut Babad Tanah Jawi bukan datang dari Campa. Sedang menurut namanya beliau berasal dari Samarkandi di Asia Kecil. Dengan pernyataan dari Babad Tanah Jawi tidak bertentanngan, sebab dari Asia kecil beliau bermukim dulu di Campa dan kemudian datang ke Jawa Timur. Kedatangan beliau jauh sesudah Agama Islam masuk di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari Batu Nisan seorang wanita muslim bernama Fatimah Binti Maimun yang wafat pada tahun 476 H. Atau 1087 M (Sofwan; 2004: 23).
Maulana Malik Ibrahim Wafat tahun 1419 M dan dimakamkan di Gresik. Pada nisannya terdapat tulisan arab yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang penyebar agama yang cakap dan gigih. Dalam bahasa Indonesia tulisan itu kurang lebih: “Inilah makam almarhum Almagfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, sendi para sultan dan para menteri, penolong para fakir miskin, yang berbahagia dan syahid cemerlangnya simbol negara dan agama”. Maulana Malik Ibrahinm terkenal dengan nama Kake Bantal. Allah meliputinya dengan rahmat dan keridhaannya serta dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal 822 H (Khalid; 2000: 18).
Dalam menebarkan Islam Syekh Maulana Malik Ibrahim melalui jalur pemenuhan kebutuhan dasar manusia, tidak langsung mengajarkan apa Islam itu. Maulana Malik Ibrahim berdakwah dengan cara diplomasi yang ulung yang bisa diterima oleh akal pikiran masyarakat sehingga Agama Islam dapat diterima masyarakat (Khlid; 2000: 17).
b.      Sunan Ampel (Raden Rahmat).
Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak. Nama Asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau nama Denta, atau juga Ngampel Denta (Menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsma), itu dinisbahkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya. Ditempat itulah Raden Rahmat Membuka pondok pesantren, yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa.  Ditempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat diseluruh pulau Jawa, antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi Sultan pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim, putranya yang dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, kemudian Syarifuddin, putra kedua yang belakangan dikenal dengan sebutan Sunan Drajat (Salam; 1998: 28).
Raden Rahmat diperkirakan lahir pada awal abad ke-15 dicampa, sebagai putra raja Campa. Tentang nama Campa ini, menurut Ensiklopedia Van Nederlandish Indie, adalah suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja (Indocina) yang kemudian dikuasai oleh bang Khmer dari Vietnam. Sedangkan menurut Raffles yang dimaksud adalah Jempat, suatu negeri di Aceh (Salam; 1998: 20).
Di Ampel Denta, menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmad berhasil menjadikan daerahnya yang semula berair dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Didirikan pula pesantren, sehingga Ampel menjadi pusat dakwah Islam. Dia menerima gelar dari pengikutnya Sultan Makhdum. Ia meninggal pada tahun 1482 tahun Jawa, ditandai dengan candra sengkala Ngulama Ngampel Lena Mesjid, sedang jenazahnya dimakamkan di Ngampel Gading. Ia meninggalkan dua orang putra yang belakang hari dikenal dengan wali Bonang dan Drajat (Salam; 1998: 30).
c.       Sunan Giri (Raden Paku).
Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain atau dolanan. Dari pihak ayah Sunan Giri nama mudanya adalah Raden Paku atau dijuluki juga dengan nama Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri adalah putra Maulana Ishak, putra Ali Musa, putra Ibrahim Zainal Akbar, Putra Jamaluddin Al Husien, Putra Alamin Syekh Jalaluddin, Putra Abdullah Khannudin, putra Maulana Abdul Malik, putra Alawi, putra Amir Faqih, putra Muhammad, putra Ali Al Gayam, putra Alwi, putra Muhammad, putra Ubaidillah, putra Ahmad al-Muhajiir, putra Isa al-Bisari, putra Muhammad an-Nagib, putra Kasim al-Kamil, putra Ja’far Shadiq, putra Muhammad al-Baqir, putra Zainal Abidin, putra Husein as-Sabti, putra Fatimah Ajjaro, putra Muhammad SAW (Sofwan; 2004: 10).
Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo dan namanya tersebut dalam ketiga versi, baik versi Jawa Barat, Jawa Tengan mapun Jawa Timur. Sebagaimana telah disebut bahwa pada setiap versi berbeda nama Wali yang termasuk kelompok Walisongo. Ada seorang wali yang termasuk dalam versi tertentu tetapi tidak dalam versi yang lain. Hanya wali yang besar saja yang disebut dalam ketiga versi, dan Sunan Giri masuk dalam kelompok ini (Kasdi; 1998: 26).
d.      Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Raden Makdum Ibrahim adalah Putra Sunan Ampel. Ia adalah cucu Maulana Malik Ibrahim. Dengan demikian silsilah Sunan Drajat, saudaranya. Sunan Bonang masih mewarisi darah kerajaan Majapahit sebab ibunya adalah Dewi Candrawati yang dalam sumber lain disebut Nyi Ageng Malaka. Dewi Candra Wati adalah putrid Raja Brawijaya (Sofwan; 2004: 74).
Sunan Bonang menyiarkan islam di daerah Tuban, Pati, Madura dan Pulau Bawean. Daerah tempat beliau tinggal adalah Bonang. Konon desa Bonang disebut demikian karena beliau pencipta alat music Jawa yang disebut Bonang. Sebagaimana telah disebut bahwa Sunan Bonang, sebagaimana para wali lainnya, membuat gending-gending Jawa untuk berdakwah. Beliau menciptakan tembang dan gending-gending itu sangat disenangi rakyat. Bila beliau membunyikan Bonang, masyarakat sekeliling yang mendengarnya tertarik dan datanglah mereka ke masjid. Di depan masjid dibuat kolam, sehingga setiap pengunjung yang datang sudah dengan sendirinya mereka membersihkan kakinya. Bila mereka berkumpul, Sunan Bonang mengajar tembang. Tembang itu berisikan ajaran Islam sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi pelajaran agama Islam (Aksono; 1990: 154).
Dari khasanah naskah tentang ajaran para wali hanya naskah Sunan Bonang yang kini baru terungkap. Ajaran Sunan Bonang yang tertuang dalam Het Boek Van Bonang,yakni teks primbon wejangan Sunan Bonang sebagai bahan disertasi DR. B.J.O Schrieke yang tertuang dalam Een Javanche Geschrift nit de 16 de Eeuw bahan disertasi DR. J.G.H. Gunning. Dua buah naskah itu secara ilmiah diakui setidaknya sebagai karya yang memuat tentang ajaran yang berlaku luas abad ke-16, masa ketika Sunan Bonang hidup. Ajaran yang termuat dalam kedua naskah itu mewakili ajaran Wali Sembilan mengingat bahwa semua Wali yang ada itu bersatu darah dengan Syekh Jumadil Kubro, jadi berasal dari sumber yang sama. Syekh Jumadil Kubro adalah ayah dari Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan wali-wali: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga dan Muria. Sedangkan Maulana Ishaq menurunkan Sunan Gunung Jati, Sunan Giri dan Sunan Kudus. Disamping itu Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel, teman seamamater dengan Sunan Giri dan Sunan Drajat yang bersama-sama telah berguru pada Maulana Ishaq. Sunan Bonang adalah guru pertama Sunan Kalijaga sehingga akan dapat dikirakan kesamaan diantara mereka. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati adalah murid dari Maulana Ishaq sehingga dapat dibayangkan pula persamaannya dengan Sunan Bonang (Aksono; 1995:158).
Atas dasar pertimbangan itu maka ajaran Sunan Bonang merupakan corak dari ajaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Adapun kitab yang dikirakan sebagai sumber ajaran Sunan Bonang adalah :
1.      Ihya  Ulumuddin dari al-Ghazali
2.      Tahmid dari Abu Syakur bin Su’aib - As Salami
3.      Talkis al-Minhad dari Nawawi
4.      Quth al-Qulub dari Abu Thalib al-Maki
5.      Risalah al-Makiyah fi Tharig al-Sad al-Sufiyah dari al-Tamami
6.      Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki
7.      Hayatul Auliya dari Abu Nu’aim al-Isfahani
Juga tulisan dari Abu Yazid al-Busthami, Ibnu Arabi Ibrahim al-Iraqi dan Syekh Abdul Qodir Jaelani (Aksono; 1995:154).
e.       Sunan Kalijaga
Pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said. Kemudian dia disebut juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman dan Pangeran Tuban. Di dalam Babad Tanah Jawi disebut bahwa Raden Said adalah putra Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban. Sedangkan Arya Wilatikta, ayah Sunan Kalijaga, menurut Babad Tuban, adalah putra Arya Teja. Disebutkan pula bahwa Arya Teja bukanlah seorang pribumi Jawa. Ia berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama. Ia berhasil mengislamkan Raja Tuban, Arya Dikara, dan memperoleh seorang putrinya. Dengan jalan ini ia akhirnya berhasil menjadi kepala negeri Tuban, menggantikan kedudukan orang mertuanya. Akan tetapi Babad Tuban tidak menjelaskan mengenai asal-usul Arya Wilatikta, ayahanda Sunan Kalijaga (Budiman; 1998: 69).
Tahun kelahiran serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia mencapai usia lanjut. Diperkirakan ia lahir ± 1450 M berdasarkan atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan Ampel pada usia ± 20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan Sunan Ampel lahir pada Tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh Sunan Kalijaga, pada waktu itu ia Sunan Ampel berusia 50 tahun (Budiman; 1998: 70).
Masa hidupnya mengalami 3 masa pemerintahan, yaitu masa akhir majapahit, zaman Kasultanan Demak dan Kasultanan Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian di susul Kasultanan Demak berdiri pada tahun 1481 – 1546, dan disusul pula Kasultanan Pajang yang diperkirakan berakhir pada tahun 1568 M. Diperkirakan pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga Wafat. Hal ini dapat dihubungkan dengan gelar Kepala Perdikan Kadilangu semula adalah Sunan Hadi, tetapi pada masa Mas Jolang di Mataram (1601-1603), gelar itu digantikan dengan sebutan Panembahan Hadi. Dengan demikian Sunan Kalijaga sudah diganti putranya sebagai Kepala Perdikan Kadilangu sebelum zaman Mas Jolang yaitu sejak berdirinya Kasultanan Mataram pemerintah Panembahan Senopati atau Sutawijaya (1675-1601) (Budiman; 1998: 72).
Sebenarnya pandangan Sunan Kalijaga jika dibandingkan dengan pandangan Sunan Ampel maupun Sunan Giri terhadap sisa-sisa keyakinan agama lama itu lebih toleran, dalam arti tidak mau memberantasnya seketika. Sunan Kalijaga berpendirian, bahwa rakyat akan lari begitu dihantam dan diserang pendiriannya. Dakwah harus di sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat jangan terus diberantas, tetapi hendaknya dipelihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara merubahnya adalah sedikit demi sedikit, member warna yang baru kepada yang lama, mengikuti sambil mempengaruhi yang nanti diharapkan bila rakyat telah mengerti dan paham akan agama akhirnya mereka akan membuang sendiri mana yang tidak perlu dan merombak atau menghilangkan sendiri mana yang tidak sesuai dengan agama. Para wali sebaiknya bertindak mengikuti dari belakang sambil mempengaruhi, atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi jiwa Islam.
Sikap seperti itu terlihat dari berbagai karyanya yang kalau dilihat dari kacamata kebudayaan cenderung mengarah pada akulturasi antara kebudayaan yang lama dengan kebudayaan yang baru hasil kreasinya kearah yang lebih Islami. Sementara itu kalau dilihat dari segi akidah, Sunan Kalijaga cenderung pada sinkritisme. Sebagai contoh, pendirian seperti itu tampak salah satunya pada penciptaan lambang bulus di mihrab Masjid Agung Demak yang bida dipandang pada sebagai hasil karyanya, sebagai man aide pembuatan soko tatal. Bulus adalah hewan yang hidup di dua alama yaitu daratan dan air, dan menurut masyarakat Islam hukumnya haram, tetapi mengapa gambarnya ditempatkan pada mihrab masjid yang justru tempat suci bagi umat Islam. Ternyata itu juga suatu bentuk kebijaksanaan berdakwah ketika itu pemeluk agama lama di ingatkan bahwa di dalam masjid juga ada suatu lambang kesucian dan keabadian, sebagai kepercayaan agama lama (Buddha) bulu sebagai binatang suci. Hanya saja, kesucian dan keabadian dalam islam diperoleh dengan cara melaksanakan shalat berbakti kepada Allah Yang Maha Esa, biar hidup abadi di alam baqa nanti dengan bahagia (MachFoed; 1990: 23).
Dalam media dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam penciptaan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan termasuk juga kesenian wayang. Bahkan terhadap kesenian wayang Sunan Kalijaga dianggap sebagai tokoh yang telah menghasilkan bentuk kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkat gamelannya. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari wayang beber yang memang sudah ada sejak zama Erlangga. Diantara wayang ciptaan Sunan Kalijaga besama dengan Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah wayang Punakawan Pandawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong (MachFoed; 1990: 24).
Wayang itu sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijaga dalam kesempatan dakwahnya diberbagai daerah, dan ternyata wayang ini merupakan media yang efektif, dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (memainkan wayang) begitu memikat, sehingga terkenallah berbagai nama samaran baginya di berbagai daerah, seperti jika mendalang di daerah Pajajaran dikenal dengan nama Ki Dalang Sida Brangti, bila mendalang di tegal dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok, tetapi bila mendalang di daerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki Dalang Kumendung (MachFoed; 1990: 25).
f.       Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung yang dalam tradisi Cirebonan disebut Sunan Undung. Undung Muda adalah puteras saudara Sultan Mesir, dia adalah adik dari Rara Dampul. Dikisahkan bahwa undung pergi ke Ampel Denta berguru kepada Sunan Ampel, dia menjadi murid kesayangan Sunan Ampel. Sunan Ampel kemudia mengawinkan Undung dengan cucunya yang bernama Syarifah, anak Sunan Ampel yang bernama Ny. Ageng Maloka, Adik Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq, atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus setelah meninggal (Sulandraningrat; 1998: 22).
Setelah ayahnya wafat Ja’far Shadiq menggantikan kedudukan ayahnya. Ia menjadi penghulu di Kadipaten Demak. Atas perintah dari Sunan Bonang, uwaknya yang menjadi Ketua Dewan Walisongo, Sunan Kudus diangkat menjadi panglima perang tertinggi bertugas menaklukkan Majapahit. Ia adalah seorang panglima yang cakap (Sulandraningrat; 1998: 23).
Kelihaian Sunan Kudus sebagai Panglima Perang tidak saja terbukti ketika membuka majapahit tetapi juga waktu mengalahkan Adipati Handayaningrat yang berniat mendirikan kedaulatan sendiri bebas dari kekuasaan Demak (Ridwan; 1998: 86).
g.      Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Dengan demikian, beliau masih bersaudara dengan Sunan Bonang, ipar Sunan Giri, serta ipar Raden Patah dan Ipar Sunan Kalijaga. Seperti diketahui Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Nyi Ageng Manila, membuahkan lima orang putra, yakni Siti Muntasiyah, yang menjadi istri Sunan Giri, Raden Qosim (Sunan Drajat), Sunan Bonang (Makdum  Ibrahim), seorang putrid yang kawin dengan Sunan Kalijaga serta Nyi Ageng Maloka yang menjadi istri Raden Patah. Raden Rahmat (Sunan Ampel) adalah putra Maulana Malik Ibrahim Asmara, putra Zainal Kubro, Putra Zainal Alim, Putra Zainal Abidin, putra Sayidina Husein, putra Fatimah, putra Nabi Muhammad SAW (Nagari; 2000:20).
Sunan Drajat atau Raden Qasim, dan ada yang menyabutnya Raden Syaifuddin, diperintahkan oleh ayahnya Sunan Ampel untuk berdakwah di sebelah barat Gresik. Sayang, perahunya diserang badai besar sehingga kapalnya hancur berkeping-keping. Dikisahkan, bahwa beliau ditolong ikan cakalang, beliau naik dipunggung ikan cakalang sehingga bebas dari amukan ombak dan sampai pada tujuannya. Ikan itu membawa beliau ke tepi pantai yang terletak di dusun Jelog, termasuk dalam wilayah Banjarwati, kecamatan Paciran. Di dukuh itu beliau membuka pesantren yang kemudian orang berdatangan untuk berguru kepadanya (Wahyudi; 2000: 73).
Kira-kira satu tahun kemudian di Jelog, kemudian beliau pindah ke arah lebih selatan, kira-kira 1 kilometer dari tempat semula. Tiga tahun kemudian beliau mendirikan tempat berdakwah yang lebih strategis, yakni pada tempat yang lebih tinggi. Tempat itu kemudian di kenal dengan dengan Dalem Duwur yang kini didirikan museum yang cukup megah dekat makam beliau. Di tempat itulah dawah Raden Qosim lebih berhasil lagi. Metodenya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Muria, yakni juga melalui lagu-lagu Jawa. Di antara ajarannya yang tertulis orang adalah:
-          Berilah tongkat pada orang yang buta.
-           Berilah makan pada orang yang lapar.
-          Berilah pakaian pada orang yang telanjang.
-          Berilah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan.
Maksud dari ajaran tersebut adalah:
-          Beri petunjuk bagi orang yang tidak tahu.
-          Sejahterakan kehidupan rakyat yang miskin.
-          Ajarkan budi pekerti bagi orang yang tidak/belum beradab.
-          Berilah perlindungan bagi orang-orang yang tertindas.
Sebagai anggota Dewan Walisongo, konon beliau juga ikut berpastisipasi dalam pendirian Masjid Demak. Sunan Drajat dimakamkan di desa Drajat, Kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan, Jawa Tengah (Khalid; 2000:76).
h.      Sunan Muria
Ada dua versi yang menyatakan asal-usul Sunan Muria. Versi pertama menyatakan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Sedang versi kedua beliau adalah putra Sunan Ngudung. Implikasi dari dua versi ini tentunya saja mendudukan Sunan Muria dalam hubungan yang berbeda dengan wali yang ada. Jika mengikuti versi pertama, maka Sunan Muria adalah ipar Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) dan menantu Sunan Ngudung. Sedangkan jika mengikuti versi kedua, maka Sunan Muria adalah saudara kandung Sunan Kudus dan kemenakan Sunan Kalijaga. Meskipun versi itu berbeda, tetapi tetapi dengan mengikuti keduanya Sunan Muria akan bertemu moyang dengan Sunan Kudus pada Syekh Jumadil Kubro. Syekh Jumadil Kubro adalah putra Zainal Khusein, putra Zainal Kubro, putra Zainal Alim, putra Zainal Abidin, putra Husein, putra Fatimah, putra Nabi Muhammad SAW (Hasyim; 1993: 22).
Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di Jawa, menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan di babad, melainkan diberi warna Islam. Hal ini terlihat antara lain dalam upacara selamatan yang dilaksanakan orang  Jawa pada waktu itu tetap dipelihara. Sunan Muria menyebarkan Islam pada wilayah Jepara, Tayu, Juana dan sekitar Kudus. Ini bisa diketahui dengan legenda dan cerita rakyat di daerah-daerah tersebut yang dikaitkan dengan kehidupan Sunan Muria. Dalam berdakwah beliau sebagaimana wali-wali yang lainnya, juga menciptakan lagu-lagu jawa (Hasyim; 1993: 23).
i.        Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati lahir dari keturunan darah yang sangat terhormat, baik dari jalur ibu maupun dari jalur Bapaknya. Ibunya adalah putrid dari Raja Pajajaran dan bapaknya adalah Raja Mesir yang masih keturunan Nabi Muhammad. Ia juga mempunyai hubungan darah yang dekat dengan para Walisongo.
Pada ringkasnya masa penyebaran ilmu dimulai setalah Sunan Gunung Jati mendapatkan ilmu yang lengkap dari para gurunya. Pertama kali ia bermusyawarah ihwal pelbagai ilmu dengan Syekh Nuruljati dalam berbagai agama. Ia kemudian member pelajaran nasihat kepada Pangeran Kendal, Pangeran Kajoran dan Pangeran Makdum. Ia juga bermusyawarah dengan Syekh Ampel Denta mengenai berbagai macam ilmu. Ia memberi pelajaran kepada penyebar agama yang terkenal, Syekh Nataullah, di Nusakambangan. Ia kemudian pergi ke Madura member pelajaran kepada Pangeran Kajoran dan member dakwah kepada Raja Keling yang masih beragama Buddha. Selanjutnya ia berdakwah di negeri Campa, memberi pelajaran kepada Sunan Kalijaga. Ia memberi pelajaran kepada Syekh Bentong yang masih mempunyai darah Majapahit. Ia juga bersama wali yang lain menyelesaikan penyelewengan pengajaran agama oleh Syekh Siti Jenar, memimpin sidang-sidang agama dan para wali sembilan. Di samping kegiatan penyebaran agama, sebagai seorang sultan, Sunan Gunung Jati terus menyebarkan kekuasaan demi perluasan kekuasaan Islam dengan mengalahkan Galau Kuningan dan Telaga (Sulendraningrat; 1997: 75).
Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.
  
C.    Bagimana Akulturasi  antara Islam dan Budaya Jawa ?
Masyarakat jawa atau tepatnya suku bangsa jawa, secara antropologi budaya adalah orang yang didalam kehidupan kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Dalam hal ini penulis akan memaparkan secara singkat Proses akulturasi budaya jawa dan Islam, Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan, Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek ritual.
a.       Proses Akulturasi Budaya dan Islam.
Dalam proses akulturasi secara garis besar ada dua pendekatan mengenai bagaimana cara yang ditempuh oleh penyebar Islam di Jawa supaya nilai-nilai Islam dapat diserap menjadi bagian dari kebudayaan jawa yaitu :
1)      Islamisasi Kultur
Pendekatan ini budaya jawa diupayakan agar tampak bercorak islam baik secara formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan, peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum , norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
2)      Jawanisasi Islam
Sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan terhadap budaya-budaya jawa. Maksudnya disini adalah meskipun istilah dan nama jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai Islam sehingga islam menjadi menjawa.
Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang jawa islam cenderung mengarah kepada polarisasi islam kejawaan atau jawa yang keislaman sehingga timbul istilah jawa atau islam kejawen (Amin; 2000:119).
b.      Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan.
Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek kepercayaan dan memiliki keyakinan, terutama kepercayaan terhadap suatu yang sakral, yang suci atau yang gaib. Dalam agama islam aspek fundamental terumuskan dalam aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang harus dipercaya oleh orang islam. Kemudian dalam budaya jawa pra islam yang bersumberkan ajaran hindhu terdapat kepercayan adanya pulau dewata, terhadap kitab-kitab suci. Orang-orang (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup hukum abadi (muksa). Dalam agama budha terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebuah penderitaan), nirodha (pemadam keinginan) dan morga (jalan kelepasan). Adapun pada agama primitif sebaga orang jawa sebelum kedatangan hindhu atau budha terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan dari agama hindhu, budha maupun animisme dan dinamisme ini dalam proses pengembangan islam berinteraksi dalam kepercayaan dalam islam, yang meliputi aspek ketuhanan, prinsip ajaran islam telah tercampur dalam berbagai unsur kepercayaan hindhu, budha. Contohnya seperti sebutan Allah swt., orang kejawen biasa menyebutnya Gusti Allah. Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini bukan berarti mulia terhormat, tetapi memiliki memiliki gaya magis, sesuatu yang sakral bersifat ilahiyah. Dalam tradisi jawa terdapat berbagai jenis barang yang digunakan. Ada yang disebut azimat pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, batu, akik dan lain sebagainya.
Mistik kejawen sesungguhnya merupakan manifestasi Agama Jawa. Agama Jawa adalah akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam pandangan Jawa Geertz, agama Jawa memiliki tiga variasi yaitu Jawa Abangan, santri, dan priyayi. Dalam praktek religi tersebut sebagian orang meyakini terhadap pengaruh sinkretik dengan agama lain, sedikitnya agama Hindhu, Budha dan Islam. Sebaliknya ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik kejawen adalah milik masyarakat Jawa yang ada sebelum pengaruh lain. Masing-masing asumsi memiliki alasan yang masuk akal. Esensi Agama Jawa adalah pemujaan pada nenek moyang atau leluhur. Pemujaan tersebut diwujudkan melalui sikap mistik dan selametan. Meskipun secara lahiriyah mereka memuja para roh, namun esensinya tetap terpusat pada Tuhan. Jadi, agama jawa yang dilandasi sikap dan perilaku mistik tetap tersentral kepada Tuhan (Endraswara; 2006: 75).
Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal daru Tuhan oleh karena itu, harus bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia dengan Tuhan didunia biasa dicapai dengan penghayatan mistik, seperti pada umumnya seperti ajaran mistik. Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dengan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya ajal atau maut istilah kawulo Gusti yang terdapat dalam Wirid Hiayat Jati kaitannya dengan istilah ‘abdun dan rabbun’ dalam Islam. (Simuh; 1998: 278).
Dalam kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada agama Islam, tetapi ada juga dalam agama hindhu maupun kepercayaan primitif dan tampaknya telah saling mengisi. Namun setan, jin (islam) dan raksa (hindhu) telah dikategorikan sebagai jenis makhluk atau roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma seperti manusia atau hewan. Terdapat pula sejumlah makhluk halus, serta setan-setan berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan dharat, setan mbisu, setan mbelis, memedi, dan lain sebagainya. Adapun setan yang sejenis kelamin wanita seperti wewe, kuntilanak, sundel bolong, setan yang menyerupai anak kecil atau kerdil adalah tuyul.
Menurut keyakinan orang islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhn ya tetap hidup dan tinggal sementara dialam kubur atau alam barzah, sebagai alam antara sebelum memasuki akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun anak-anak. Menurut orang jawa, arwah-arwah orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap dimakam. Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji, dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan disisi lain atas dasar kepercayaan islam bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi doa. (Simuh, 1997: 119).
c.       Hubungan antara budaya jawa dan Islam dalam aspek ritual
Ritual atau Ritualistik adalah kegiatan yanng meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun islam yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melakukan kegiatan – kegiatan ritualistik diatas. Dalam ritual sholat dan puasa, selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan Ramadhan, terdapat pula sholat dan puasa sunnah. Yang intisari dari sholat adalah doa yang ditunjukkan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
Dalam doa dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang jawa. Bagi orang jawa, hidup ini penuh dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keadaannya dalam perut ibu, lahir, anak – anak, remaja, dewasa, sampai kematiaanya.
Dalam kepercayaan lama upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya – daya kekuatan gaib tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah islam datang, secara luwes islam memberikan warna baru dalam kepercayaan itu dengan sebutan kenduren atau selamatan. Dalam upacara selamatan ini yang pokok adalah yang dipimpin oleh kiai. Dalam selamatan ini terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan pada peserta selamatan, serta makanan yang dibawa kerumah seperti berkat.
Berkaitan dengan lingkaran hidup orang jawa, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa jenis upacara yang dilakukan orang jawa diantaranya :
1)      Upacara tingkeban atau mitoni
Upacara ini dilakukan pada saat janin berusia 7 bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada upacara tingkeban ini seperti dilakukan di beberapa daerah di jawa dibacakan Sholawat atau MaulId Nabi dengan iringan alat musik tamburin kecil atau rebana.
2)      Upacara kelahiran
Upacara ini dilakukan pada saaat anak diberi nama dan pemotongan rambut pada bayi berumur 7 hari atau sepasar. Karena itu selamatan ini disebut juga slametan nyepasari.
3)      Upacara Sunatan
Upacara ini dilakukan pada saat anak laki – laki dikhitan. Namun pada usia mana anak itu dikhitan, pada berbagai masyarakat berbeda.
4)      Upacara perkawinan
Upacara ini dilakukan pada saat muda – mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Selamatan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan sering dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum akad nikah, pada tahap akad nikah dan sesudah akad nikah.
5)      Upacara kematian
Upacara ini dilakukan pada saat persiapan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. (Amin; 2000: 75).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan makalah diatas maka kesimpulannya adalah sebagai berikut :
     1.      Masyarakat Jawa sebelum Islam masih mempunyai kepercayaan pada agama yang dianut oleh nenek moyang. Diantaranya adalah animisme dan dinamisme sebagai akar spiritualitas dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial masyarakat Jawa lalu di susul dengan masuknya agama Hindu-Budha bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum brahmana India, serta untuk memperkenalkan peradaban intelektual serta kesejahteraan Hindu-Budha di kalangan istana.
     2.      Menurut cerita rakyat dan pandangan umum berlaku dalam sastra jawa, Islam datang dan menyebar di jawa adalah berkat jasa sembilan pendakwah yang bergabung dalam suatu dewan yang disebut Walisongo. Namun jauh sebelum itu sebenarnya Islam sudah masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik.
    3.      Ritual atau Ritualistik masayarakat Jawa adalah kegiatan yanng meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun islam yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melakukan kegiatan – kegiatan ritualistik diatas. Dalam ritual sholat dan puasa, selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan Ramadhan, terdapat pula sholat dan puasa sunnah. Yang intisari dari sholat adalah doa yang ditunjukkan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.

B.     Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi. Kami berharap para audiens mau memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis sebagai pemakalah dan khususnya juga kawan-kawan tercinta. Semoga apa yang telah penulis paparkan memberikan manfaat terhadap pembaca. Amin.


DAFTAR PUSTAKAN
Aksono, Wiji, Mengislamkan Tanah Jawa - Telaah Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 2002.
Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000.
Beatty, Andrew, Variasi Agama di Jawa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Budiman, Amen, Walisongo Antara Legenda dan Fakta Sejarah, Semarang: Penerbit Tanjung Sari Semarang, 1998.
Darori, Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Daradjat, Zakiah, Perbandingan Agama, Jakarta: Depag RI, 1983.
Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi, 2006.
Herusatoto, budiono, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : Hanindita Graha Widya, 2003.
Hadiwijoyo, Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 2000.
Hasyim, Umar, Sunan Muria Antara Fakta dan Legenda, Kudus: Menara Kudus, 1993.
Khalid Abu, Asnan Wahyudi, Kisah Walisongo, Surabaya: Karya Ilmu, 2000.
Khalid, Abu, Kisah Walisongo, Surabaya: Karya Ilmu, 2001.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2002.
Machfoed, Sunan Kalijaga, Jilid 2, Yogyakarta: Penerbit Yayasan An nur, 1990.
Pranowo, Bambang, Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009.
Ridwan, Muh, Kisah Walisongo, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1998.
Ridin, Sofwan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2004.
Sofan, Ririn, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Salam, Silichin, Sekitar Walisongo, Kudus: Penerbit Menara Kudus, 1960.
Suseno, Franz Magnis, EtikaJawa, Jakarta: PT GramediaPustakaUtama, 2003.
Sulandraningrat, Rachman, Sejarah Hidup Walisongo, Yogyakarta: Penerbit Kuching. 2000.
Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Jakarta: P&K, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1997.
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita, Jakarta:UI-Press, 1998.
Thohir, Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo Press, 2006.
Wahyudi, Asnan, Kisah Walisongo, Surabaya: Karya Ilmu, 2001.