YAQDHAH
DAN TAUBAT
BAB
I
PENDAHULUAN
Tahukah anda bahwa
manusia menjalani beberapa proses perjalanan kehidupan. Perjalanan pertamanya
adalah kelahiran, kedua adalah kematian, berikutnya dibangkitkan untuk hidup
kembali, dan kemudian sesudahnya adalah perhitungan amal (hisab). Kelak ada
manusia yang beruntung dan tempat kembalinya adalah syurga, tetapi ada pula
manusai yang merugi sehingga tempatnya adalah neraka. Mereka yang beriman dan
beramal shalehlah yang mendapatkan jaminan kebahagiaan kehidupan diakhirat
kelak.
Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun
manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama
sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat
kesalahan dia langsung kembali sadar/Yaqdhah dan bertaubat kepada Allah dengan
sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk
mengulang dosa kembali. Kemudian apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Yaqdhah
dan taubat itu? bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?
Dalam makalah ini akan dibahas tentang Yaqdhah dan Taubat
serta beberapa masalah yang Insya Allah bisa menjawab tentang permasalahan Yaqdhah
dan taubat, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Mudah-mudahan bermanfaat bagi
para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin.
BAB
II
YAQDHAH
DAN TAUBAT
A.
YAQDHAH
Yaqdhah
berarti Terbangun/kembali sadar (Cahaya terbangun atau Cahaya yang membangunkan
hati). Allah berfirman dalam Surat As-saba’ ayat 46 :
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا
Ø£َعِظُÙƒُÙ…ْ بِÙˆَاØِدَØ©ٍ ۖ Ø£َÙ†ْ تَÙ‚ُومُوا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ
Artinya
: Bahwasanya aku ajarkan akan kamu dengan yang satu bahwa kamu berdiri untuk
Allah.(Qs. As-saba’ ayat 46).
Berdiri
yang dimaksud ialah bangun dari kelalaian. Manusia lalai dengan penghidupan
duniawi dari mengingat Allah dan dari cahaya fitrah atau melihat asal
kejadiannya. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Annasu niyamu
faiza matu intabahu“. Artinya : Manusia itu tidur, apabila mati barulah mereka
terbangun (Zainul, 2007: 56).
Maka
Allah memperingatkan agar kita tidak boleh lalai, agar kita selalu mengingat
hidup yang hakiki, yaitu hidup setelah mati. Agar kita menyadari bahwa cahaya hidup
kita ada pada hati kita, yaitu cahaya yang berhubungan dengan Haq itulah yang
dimaksud dengan Yaqdhah atau terbangun (Murtadha, 1996: 44).
1.
Orang-orang yang terbangun itu mempunyai 3
sifat :
a.
Dia melihat nikmat-nikmat yang tidak dapat
dihinggakan dan dibatasi banyaknya dan lemah baginya untuk mensyukurinya. Sebab
mensyukuri itu adalah dengan taufiq atau dengan bantuan Allah juga. Maka nikmat
itu terus bertambah dan berganda-ganda yang menghendaki kepada syukur, dan
nikmat yang didapatkannya adalah merupakan pemberian semata-mata tidak sebagai
imbalan yang merupakan hak kita. Dan dia yakin bahwa dia lalai dari mensyukuri
dengan hak nikmat itu.
b.
Dia melihat dosa dan bahaya-bahaya dosa dan
bersungguh-sungguh untuk menghilangkan dosa, membersihkan diri dari
kotoran-kotoran dosa dan menuntut lepas atau kemenangan dari azab. Dosa adalah
pekerjaan yang menentang hukum disebut juga dengan maksiat. Dosa menyebabkan
tertutupnya pintu hidayah atau nur petunjuk Allah. menghilangkan dosa ialah
dengan beristighfar dan mengembalikan yang didhalimi, mengkadha kewajiban yang
tertinggal, melaksanakan kafarat/tebusan dan siap untuk membayar diad/qisas menurut
ketentuan rukun syariat. Adapun mensyukuri nikmat adalah merupakan penyebab memperolehnya
mamfaat atau faedah didalam kehidupan, menghilangkan dosa adalah penyebab
tertolaknya mudharat, terhindar dari kesulitan dalam kehidupan.
c.
Mengenal hari bertambah atau hari
berkurang / hari berlaba atau hari rugi dan membersihkan diri dari tersia-sianya
hari yang telah terlalui dengan melakukan kebhatilan, agar dia dapat menjemput
barang yang telah lalu dan tertinggal, yang merupakan kewajiban dan melakukan
taat, bersyukur pada waktu –waktu yang akan dating (Abudin, 2010: 112).
2.
Penyebab adanya terbangunnya hati untuk
mensyukuri nikmat itu ada 3 :
a.
Nur akal, akalnya bercahaya dengan cahaya
petunjuk iman penyebab sah bidayatnya dan sampai nihayatya artinya keinginannya
dan tujuannya untuk berma’rifat dengan Allah/bersama Allah dalam kehidupannya.
b.
Menanti cahaya-cahaya, nikmat bhatin yaitu
ma’rifah rahasia yaitu waridat-waridat yang ghaib yang datang pada hatinya
penyebab dia dekat dengan Allah SWT.
c.
Memahami dan mengambil pelajaran dari ahlul
bala untuk membesarkan orang yang memberi nikmat dan mendirikan hak-hak-Nya
agar supaya bertambah nikmat.
Allah
Berfirman : Ù„َئِÙ† Ø´َÙƒَرْتُÙ…ْ لأَزِيدَÙ†َّÙƒُÙ…ْ
Artinya: Jika kamu bersyukur sungguh Aku tambahkan akan nikmat-Ku (Qs. Ibrahim
ayat 7).
Ahlul
bala adalah orang-orang yang terhijab hatinya/lupa kepada Allah dan lesu dalam
melakukan ta’at kepada-Nya, maka inilah yang dimaksud bala menurut tasawuf
(Abudin, 2010: 122).
3.
Penyebab adanya kemauan untuk bertaubat dari
dosa juga ada 3 :
a.
Mengenal kebesaran Allah penybebab dia takut
pada dosa siksaan Allah dan kelemahan dirinya tidak sanggup untuk menerima azab
Allah.
b.
Mengenal dirinya orang yang hina dibandingkan
semulia-mulia orang yang mulia yaitu Allah. Dia tidak sanggup untuk menerima
azab Allah.
c.
Dia mempercayai janji cerca/waid bahwa orang
yang menentang Allah akan diberikan azab dunia dan akhirat.
4.
Penyebab-penyebab dapat mengenal hari yang
bertambah dan hari yang kurang itu ada 3 perkara :
a.
Mendengar ilmu/hadir dalam majlis-majlis ta’lim
karena ilmu itu penyebab kita tahu apa-apa yang menyebabkan kita lepas dari
azab dan juga yang menyebabkan kita jatuh dalam maksiat/kerugian didalam hidup.
b.
Kita memelihara kehormatan/kewajiban waktu agar
kita dapat melakukan dengan sebaik-baiknya seperti shalat dan lainnya.
c.
Kita berteman dengan orang-orang salik yang
arif agar dapat merubah adat-adat (kebiasaan) nafsu yang jelek dan tabiat yang
jahat untuk dapat kita beramal shaleh dan mendekatkan diri pada Allah.
Demikian
sajalah, orang yang hatinya telah terbangun dia dapat hidup bahagia dunia dan
akhirat bilamana ada sifatnya seperti apa yang disebut diatas (Abudin, 2010:
134).
B.
TAUBAT
Kata Taubat
dalam bahasa arab adalah merupakan mashdar dari dari kalimat
“taba-yatuba-taubatan” yang artinya kembali (Abudin, 2010: 197). Sejalan dengan
pengertian secara bahasa, taubat menurut Al-Ghazali sebagaimana disebutkan
dalam bukunya Zainul Bahri “Taubat adalah kembali dari jalan yang menjauhkan
diri dari Allah yang mendekatkan diri kepada syetan. Selanjutnya, lebih rinci
lagi Al-Junaid menyebutkan bahwa taubat itu memiliki tiga makna ; pertama, menyesali
kesalahan, kedua, berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa yang
telah dilarang Allah, dan ketiga, menyelesaikan atau membela orang yang
teraniaya (Zainul, tt: 46).
1. Al-Ghazali sebagaimana tersebut
dalam buku “Ilmu Tasawuf” karangan Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar,
mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan : (Rosihan, 2004: 58).
a. Meninggalkan kejahatan dalam segala
bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada perintah Allah.
b. Beralih dari satu situasi yang sudah
baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering
disebut dengan “inabah”.
c. Rasa penyesalan yang dilakukan
semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut
“aubah”.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang
lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan
menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan,
dan tidak akan mengulanginya lagi.
2.
Ada
beberapa syarat sah atau diterimanya taubat, yaitu :
a. Harus menghentikan maksiat.
b.
Harus
menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.
c. Niat bersungguh-sungguh tidak akan
mengulangi perbuatan itu kemali. Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan
hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat, yaitu :
d. Menyelesaikan urusan dengan orang
yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan apa yang
harus dikembalikannya (Fadholi, tt: 387).
3. Tingkatan
Taubat
Mengenai tingkatan taubat, Zainul
Bahri menyebutkan dalam bukunya mengutip dari pendapat Al-Sarraj, taubat
terbagi kepada beberapa bagian ;
a. Taubatnya orang-orang yang
berkehendak (muriddin), para pembangkang (muta’aridhin), para pencari
(thalibin), dan para penuju (qashidin).
b. Taubatnya ahli hakikat atau khawash
(khusus). Yakni taubatnya orang-orang yang ahli hakikat, yakni mereka yang
tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah, telah memenuhi
hati mereka dan mereka senantiasa ingat (dzikir) kepadanya.
c. Taubatnya ahli ma’rifat, dan
kelompok istimewa. Pandangan ahli ma’rifat, wajidin (orang-orang yang mabuk
kepada Allah), dan kelompok istimewa tentang pengertian taubat adalah engkau
bertaubat (berpaling) dari segala sesuatu selain Allah (Zainul, 2007: 49-50).
Terlepas dari mengenai tingkatan
taubat, perlu diketahui bahwa taubat yang diperintahkan kepada orang-orang
mukmin adalah taubat an-nasuha, seperti yang disebutkan dalam firman
Allah : QS. At-Tahrim : 8 yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. At-Tahrim : 8). Taubatan
Nasuha artinya taubat yang sebenar-benarnya dan pasti, yang mampu menghapus dosa-dosa sebelumnya, menguraikan kekusutan orang yang bertaubat, menghimpun
hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukannya.
Muhammad bin Ka’ab al-Qurthuby
berkata : “Taubatan nasuha menghimpun empat perkara ; memohon ampun dengan
lisan, membebaskan diri dari dosa dengan badan, tekat untuk kembali
melakukannya lagi dengan sepenuh perasaan dan menghindari teman-teman yang
buruk (Yusuf, 1998: 36-37).
4. Taubat
yang Diterima dan Taubat yang Tidak Diterima
Siapa yang
bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha dan menghimpun semua
syarat-syarat taubat sesuai dengan haknya, maka bisa dipastikan bahwa taubatnya
diterima oleh Allah. Namun diantara ulama ada yang mengatakan, diterimanya
taubat itu belum bisa dipastikan, tapi hanya sebatas harapan. Orang yang
bertaubat ada di bawah kehendak Allah sekalipun ia sudah bertaubat. Mereka
berhujjah dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 48 yang artinya :
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
Pendapat
lain mengatakan bahwa, seseorang yang telah melakukan taubat hakiki jika dia
benar-benar telah berpaling dan kembali dari dosa-dosa menuju kebajikan dan
petunjuk. Apabila berpaling dari dosa dilakukan dengan kesungguhan dan bukan
semata-mata karena menyaksikan hukuman, dengan kekuasaan dan rahmat-Nya Allah
Swt akan menerima taubatnya (Murtadha, 1996: 50). Hal ini ditilik dari janji
dan Sunnatullah yang berlaku pada makhluknya, Allah Swt berfirman dalam QS.
Asy-Syura ayat 25 yang artinya:
“ Dan Dialah
yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ada dua
macam taubat yang tidak akan diterima, yang pertama yaitu taubat atas kesalahan
yang dilakukan di dunia tatkala hukuman telah mengenai dirinya. Sesungguhnya
dalam keadaan ini tampak seolah-olah dia bertaubat, padahal tidak demikian.
Allah Awt berfirman dalam QS. Al-Mukmin ayat 84-85 yang artinya:
"Kepunyaan
siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Maka iman
mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami.
Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu
itu binasalah orang-orang kafir.
Yang kedua
adalah taubat yang dilakukan seorang hamba di akhirat kelak. Ketika seorang
hamba telah sampai ke alam akhirat, maka taubat dan penyesalannya tidak berguna
lagi. Taubat itu tidak diterima lagi bukan hanya karena ketika itu hukuman
balasan telah tampak jelas di hadapannya, akan tetapi karena di alam akhirat
amal perbuatan dan aktivitas menuju kesempurnaan sudah tidak mempunyai arti
(Murthadha, 1996: 51).
5. Macam-macam Dosa atau perbuatan
yang menuntut taubat
Taubat
diharuskan pada setiap melakukan dosa, Maka taubat adalah dari semua dosa
besar dan kecil. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada dosa kecil jika dilakukan
secara terus menerus dan tidak ada dosa besar bersama istighfar (Ghazali, 1997:
313).
Yusuf
Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah
sebagai berikut: (Yusuf, 1999: 51-53).
a. Dosa karena meninggalkan perintah
dan mengerjakan larangan.
Kedurhakaan
yang pertama terhadap Allah adalah meninggalkan apa yang diperintahkan.
Ini merupakan kedurhakaan iblis. Sebagaimana di dalam surah Al-Baqarah ayat 34,
yang artinya sebagai berikut:
Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Kedurhakaan
yang kedua adalah mengerjakan apa yang dilarang Allah swt, yaitu merupakan
kedurhakaan Adam. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 35 yang artinya:
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh
kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi
baik dimana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang zalim.”
Tetapi
Adam dikalahkan oleh kelemahannya sebagai manusia, sehingga diapun lalai dan
tekadnya menjadi lemah karena mendapat bujukan iblis.
b. Dosa anggota tubuh dan dosa hati
Banyak
orang yang tidak tahu macam-macam kedurhakaan dan dosa selain dari apa yang
ditangkap indranya atau yang berkaitan dengan anggota tubuh zhahir, seperti
kedurhakaan yang lahir dari tangan, kaki, mata, telinga, lidah hidung dan
lain-lainnya yang berhubungan dengan syahwat perut, kemaluan, birahi dan naluri
keduniaan yang ada pada diri manusia.
Kedurhakaan
mata adalah memandang apa yang diharamkan Allah. Kedurhakaan telinga adalah
mendengar apa yang diharamkan oleh Allah, seperti kata-kata yang menyimpang
yang diucapkan lisan. Kedurhakaan lisan adalah mengucapkan perkataan yang
diharamkan oleh Allah, yang menurut Imam al-Ghazali ada dua puluh macam,
seperti, dusta, ghibah, adu domba, olok-olok, sumpah palsu, janji dusta,
kata-kata batil, omong kosong, tuduhan terhadap wanita-wanita muslimah yang
lalai, ratap tangis, kutukan, caci maki dan sebagainya.
c. Dosa yang berupa kedurhakaan dan bid’ah
Dalam
hadits Rasulullah bersabda yang artinya: “Jauhilah oleh kalian urusan-urusan
yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah
kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi). “Barang siapa yang
mengada-ngadakan sesuatu yang baru dalam agama kami yang bukan termasuk darinya
maka dia tertolak” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Artinya
urusan yang baru itu tidak diterima, karena itu merupakan taqarrub kepada Allah
dengan cara yang tidak menurutnya perintahnya dan tidak seperti yang
disyari’atkan dalam agama serta tidak diizinkannya.
Bahkan
pada hakikatnya bid’ah itu merupakan salah satu jenis kedurhakaan, hanya
saja dengan sifat yang lebih khusus. Pelakunya mendekatkan diri kepada Allah
dengan melakukan bid’ah dan dia yakin bahwa dengan bid’ah ini menjadikan
dirinya lebih dekat kepada Allah dari pada orang lain yang tidak melakukannya
(Anwar, 2004: 114).
Namun
menurut sebagian besar ulama salaf Dalam kitab Risalah
Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah
“bid’ah” ini disandingkan dengan istilah “sunnah”. Seperti dikutip Hadratusy
Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara
syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan
bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun
hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa
memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian
dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap
perkara baru adalah bid’ah”. (Nuril, 2013: 34).
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti
bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena
mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh
syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Adapun bid’ah dalam hukum Islam
ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman
Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh
ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar,
belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah
itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;
(Faridi, 2009: 180).
“Bid’ah
ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah
itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang
tercela”.
Selain
itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan,
apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama,
jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka
perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama
sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang
digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah.
Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka
dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat
mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’
(cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang
mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum.
Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh,
khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu,
berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak
demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam
tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu
bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah,
makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan
menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski
bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi
tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional),
yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun,
praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh
memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan
bid’ah. Ketiga,
bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua
sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu
sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah,
maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk
bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau
soal administrasi (Khalidi, 2009: 134).
Hukum
bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab
Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: (Nuril, 2014: 126). Pertama, bid’ah yang hukumnya
wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah
SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang
bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua,
bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan
Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun
pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada
periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi
masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah
yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar,
menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran
baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan
penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa
memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat
tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua
bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di
pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik
(Nuril, 2014: 190).
d. Dosa yang terbatas dan dosa yang
tidak terbatas
Di antara
ketaatan dan kebaikan, ada yang terbatas dan tidak berpengaruh kecuali
terhadapa dirinya sendiri, seperti shalat, puasa, haji, umrah, haji, dzikir,
membaca al-Qur’an, shadaqah, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada
tetangga, orang miskin dan ibnu sabil. Hal ini tidak berbeda dengan dosa dan
keburukan, yang sebagian diantaranya ada yang hanya berpengaruh kepada
pelakunya dan tidak menjalar kepada orang lain. Namun sebagian lain ada yang
berpengaruh kepada orang lain, sedikit atau banyak (Anwar, 2004: 57).
e. Dosa yang berkaitan dengan hak Allah
dan hak hamba
Cukup
banyak contoh dosa, kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti
meninggalkan sebagian perintah, mengerjakan sebagian yang dilarang, seperti
minum khamar, mendengarkan hal-hal yang tidak pantas, menyiksa binatang, menyiksa
diri sendiri, memboroskan harta dan sebagainya (Anwar, 2004: 68).
Sedangkan
dosa yang berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material, maka taubat
darinya, tetapi harus mengembalikan hak itu kepada pemiliknya atau meminta
pembebasan darinya atau minta maaf dan memohon pembebasan dari pemenuhan hak
karena Allah semata. Jika tidak hak itu sama dengan hutang yang harus
dilunasinya, hingga kedua belah pihak harus membuat perhitungan tersendiri pada
hari kiamat. Jika kebaikannya tidak mencukupi, maka keburukan-keburukan orang
yang memiliki hak itu dialihkan kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi (Murtadha,
1996: 89).
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan,
diantaranya: Taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang
lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan
menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan,
dan tidak akan mengulanginya lagi. Taubat terbagi kepada beberapa bagian; Taubatnya orang-orang yang berkehendak (muriddin), Taubatnya
ahli hakikat atau khawash (khusus), Taubatnya ahli ma’rifat, dan kelompok
istimewa.
Taubatan Nasuha artinya taubat yang sebenar-benarnya dan
pasti, yang mampu menghapus dosa-dosa sebelumnya, menguraikan kekusutan orang
yang bertaubat, menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukannya.
Siapa yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha dan menghimpun
semua syarat-syarat taubat sesuai dengan haknya, maka bisa dipastikan bahwa
taubatnya diterima oleh Allah. Namun diantara ulama ada yang mengatakan,
diterimanya taubat itu belum bisa dipastikan, tapi hanya sebatas harapan. Orang
yang bertaubat ada di bawah kehendak Allah sekalipun ia sudah bertaubat.
Ada dua macam taubat yang tidak akan diterima, yaitu : Yang
pertama taubat atas kesalahan yang dilakukan di dunia tatkala hukuman telah
mengenai dirinya.Yang kedua adalah taubat yang dilakukan seorang hamba di
akhirat kelak.
Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa
yang meminta taubat adalah sebagai berikut: Dosa karena meninggalkan perintah
dan mengerjakan larangan, Dosa anggota tubuh dan dosa hati, Dosa yang berupa
kedurhakaan dan bid’ah, Dosa yang terbatas dan dosa yang tidak terbatas, Dosa yang
berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu
Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Al-Qardhawi. Yusuf. Taubat,
Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999.
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, Bandung
: Mizan, 1997.
Al- Ansari Al-Harawi, Abu Ismail Abdullah. Manazil As-Sairin, Labuhan: Tauhid
Tasawuf, 1006-1089.
Bahri, Zainul. Menembus Tirai
Kesendiriannya, Jakarta: Prenada, 2007.
Fadholi, Muhammad. Keutamaan Budi
Dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, tt.
Muthahhari, Murtadha. Jejak-jejak
Rohani, Bandung : Pustaka Hidayah, 1996.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Qardawi, Yusuf. Taubat, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu
Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Wali Al-Khalidi, Amran. Terjemah Kitab Manazil As-Sairin, Aceh: Ponpes Darul Ihsan Labuhan
Haji Aceh Selatan, 2009.
Huda, Nuril. Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam
majalah Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab, diterbitkan oleh PP LDNU, 2013. dan Risalah Aswaja KH. Hasyim Asy’ari, diterbitkan oleh: PP LDNU, 2014.
0 komentar:
Posting Komentar