Komunitas Pecinta Suluk (KUCLUK) - MJM Bersemangat - Abah Eko Wardoyo As-Syadzily - Motivation of Juharuddin Muhammad

Rabu, 01 Juni 2016

YAQDHAH DAN TAUBAT

12:29:00 PM Posted by M. Juharuddin Mutohar No comments


YAQDHAH DAN TAUBAT

BAB I
PENDAHULUAN

Tahukah anda bahwa manusia menjalani beberapa proses perjalanan kehidupan. Perjalanan pertamanya adalah kelahiran, kedua adalah kematian, berikutnya dibangkitkan untuk hidup kembali, dan kemudian sesudahnya adalah perhitungan amal (hisab). Kelak ada manusia yang beruntung dan tempat kembalinya adalah syurga, tetapi ada pula manusai yang merugi sehingga tempatnya adalah neraka. Mereka yang beriman dan beramal shalehlah yang mendapatkan jaminan kebahagiaan kehidupan diakhirat kelak.
Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung kembali sadar/Yaqdhah dan bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Kemudian apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Yaqdhah dan taubat itu? bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?
Dalam makalah ini akan dibahas tentang Yaqdhah dan Taubat serta beberapa masalah yang Insya Allah bisa menjawab tentang permasalahan Yaqdhah dan taubat, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin.


BAB II
YAQDHAH DAN TAUBAT


A.      YAQDHAH

Yaqdhah berarti Terbangun/kembali sadar (Cahaya terbangun atau Cahaya yang membangunkan hati). Allah berfirman dalam Surat As-saba’ ayat 46 :
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا Ø£َعِظُÙƒُÙ…ْ بِÙˆَاحِدَØ©ٍ ۖ Ø£َÙ†ْ تَÙ‚ُومُوا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ
Artinya : Bahwasanya aku ajarkan akan kamu dengan yang satu bahwa kamu berdiri untuk Allah.(Qs. As-saba’ ayat 46).
Berdiri yang dimaksud ialah bangun dari kelalaian. Manusia lalai dengan penghidupan duniawi dari mengingat Allah dan dari cahaya fitrah atau melihat asal kejadiannya. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Annasu niyamu faiza matu intabahu“. Artinya : Manusia itu tidur, apabila mati barulah mereka terbangun (Zainul, 2007: 56).
Maka Allah memperingatkan agar kita tidak boleh lalai, agar kita selalu mengingat hidup yang hakiki, yaitu hidup setelah mati. Agar kita menyadari bahwa cahaya hidup kita ada pada hati kita, yaitu cahaya yang berhubungan dengan Haq itulah yang dimaksud dengan Yaqdhah atau terbangun (Murtadha, 1996: 44).
      1.      Orang-orang yang terbangun itu mempunyai 3 sifat :
a.       Dia melihat nikmat-nikmat yang tidak dapat dihinggakan dan dibatasi banyaknya dan lemah baginya untuk mensyukurinya. Sebab mensyukuri itu adalah dengan taufiq atau dengan bantuan Allah juga. Maka nikmat itu terus bertambah dan berganda-ganda yang menghendaki kepada syukur, dan nikmat yang didapatkannya adalah merupakan pemberian semata-mata tidak sebagai imbalan yang merupakan hak kita. Dan dia yakin bahwa dia lalai dari mensyukuri dengan hak nikmat itu.
b.      Dia melihat dosa dan bahaya-bahaya dosa dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkan dosa, membersihkan diri dari kotoran-kotoran dosa dan menuntut lepas atau kemenangan dari azab. Dosa adalah pekerjaan yang menentang hukum disebut juga dengan maksiat. Dosa menyebabkan tertutupnya pintu hidayah atau nur petunjuk Allah. menghilangkan dosa ialah dengan beristighfar dan mengembalikan yang didhalimi, mengkadha kewajiban yang tertinggal, melaksanakan kafarat/tebusan dan siap untuk membayar diad/qisas menurut ketentuan rukun syariat. Adapun mensyukuri nikmat adalah merupakan penyebab memperolehnya mamfaat atau faedah didalam kehidupan, menghilangkan dosa adalah penyebab tertolaknya mudharat, terhindar dari kesulitan dalam kehidupan.
c.       Mengenal hari bertambah  atau hari berkurang / hari berlaba atau hari rugi dan membersihkan diri dari tersia-sianya hari yang telah terlalui dengan melakukan kebhatilan, agar dia dapat menjemput barang yang telah lalu dan tertinggal, yang merupakan kewajiban dan melakukan taat, bersyukur pada waktu –waktu yang akan dating (Abudin, 2010: 112).
      2.      Penyebab adanya terbangunnya hati untuk mensyukuri nikmat itu ada 3 :
a.       Nur akal, akalnya bercahaya dengan cahaya  petunjuk iman penyebab sah bidayatnya dan sampai nihayatya artinya keinginannya dan tujuannya untuk berma’rifat dengan Allah/bersama Allah dalam kehidupannya.
b.      Menanti cahaya-cahaya, nikmat bhatin yaitu ma’rifah rahasia yaitu waridat-waridat yang ghaib yang datang pada hatinya penyebab dia dekat dengan Allah SWT.
c.       Memahami dan mengambil pelajaran dari ahlul bala untuk membesarkan orang yang memberi nikmat dan mendirikan hak-hak-Nya agar supaya bertambah nikmat.
Allah Berfirman : Ù„َئِÙ† Ø´َÙƒَرْتُÙ…ْ لأَزِيدَÙ†َّÙƒُÙ…ْ Artinya: Jika kamu bersyukur sungguh Aku tambahkan akan nikmat-Ku (Qs. Ibrahim ayat 7).
Ahlul bala adalah orang-orang yang terhijab hatinya/lupa kepada Allah dan lesu dalam melakukan ta’at kepada-Nya, maka inilah yang dimaksud bala menurut tasawuf (Abudin, 2010: 122).
      3.      Penyebab adanya kemauan untuk bertaubat dari dosa juga ada 3 :
a.       Mengenal kebesaran Allah penybebab dia takut pada dosa siksaan Allah dan kelemahan dirinya tidak sanggup untuk menerima azab Allah.
b.      Mengenal dirinya orang yang hina dibandingkan semulia-mulia orang yang mulia yaitu Allah. Dia tidak sanggup untuk menerima azab Allah.
c.       Dia mempercayai janji cerca/waid bahwa orang yang menentang Allah akan diberikan azab dunia dan akhirat.
     4.      Penyebab-penyebab dapat mengenal hari yang bertambah dan hari yang kurang itu ada 3 perkara :
a.       Mendengar ilmu/hadir dalam majlis-majlis ta’lim karena ilmu itu penyebab kita tahu apa-apa yang menyebabkan kita lepas dari azab dan juga yang menyebabkan kita jatuh dalam maksiat/kerugian didalam hidup.
b.      Kita memelihara kehormatan/kewajiban waktu agar kita dapat melakukan dengan sebaik-baiknya seperti shalat dan lainnya.
c.       Kita berteman dengan orang-orang salik yang arif agar dapat merubah adat-adat (kebiasaan) nafsu yang jelek dan tabiat yang jahat untuk dapat kita beramal shaleh dan mendekatkan diri pada Allah.
Demikian sajalah, orang yang hatinya telah terbangun dia dapat hidup bahagia dunia dan akhirat bilamana ada sifatnya seperti apa yang disebut diatas (Abudin, 2010: 134).

B.       TAUBAT
Kata Taubat dalam bahasa arab adalah merupakan mashdar dari dari kalimat “taba-yatuba-taubatan” yang artinya kembali (Abudin, 2010: 197). Sejalan dengan pengertian secara bahasa, taubat menurut Al-Ghazali sebagaimana disebutkan dalam bukunya Zainul Bahri “Taubat adalah kembali dari jalan yang menjauhkan diri dari Allah yang mendekatkan diri kepada syetan. Selanjutnya, lebih rinci lagi Al-Junaid menyebutkan bahwa taubat itu memiliki tiga makna ; pertama, menyesali kesalahan, kedua, berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa yang telah dilarang Allah, dan ketiga, menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya (Zainul, tt: 46).
     1.      Al-Ghazali sebagaimana tersebut dalam buku “Ilmu Tasawuf” karangan Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan : (Rosihan, 2004: 58).
a.       Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada perintah Allah.
b.      Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.
c.       Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi. 
     2.      Ada beberapa syarat sah atau diterimanya taubat, yaitu :
a.       Harus menghentikan maksiat.
b.      Harus menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.
c.       Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kemali. Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat, yaitu :
d.      Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya (Fadholi, tt: 387).
      3.      Tingkatan Taubat
Mengenai tingkatan taubat, Zainul Bahri menyebutkan dalam bukunya mengutip dari pendapat Al-Sarraj, taubat terbagi kepada beberapa bagian ;
a.       Taubatnya orang-orang yang berkehendak (muriddin), para pembangkang (muta’aridhin), para pencari (thalibin), dan para penuju (qashidin).
b.      Taubatnya ahli hakikat atau khawash (khusus). Yakni taubatnya orang-orang yang ahli hakikat, yakni mereka yang tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah, telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa ingat (dzikir) kepadanya.
c.       Taubatnya ahli ma’rifat, dan kelompok istimewa. Pandangan ahli ma’rifat, wajidin (orang-orang yang mabuk kepada Allah), dan kelompok istimewa tentang pengertian taubat adalah engkau bertaubat (berpaling) dari segala sesuatu selain Allah (Zainul, 2007: 49-50).

Terlepas dari mengenai tingkatan taubat, perlu diketahui bahwa taubat yang diperintahkan kepada orang-orang mukmin adalah taubat an-nasuha, seperti yang disebutkan dalam firman Allah : QS. At-Tahrim : 8 yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. At-Tahrim : 8). Taubatan Nasuha artinya taubat yang sebenar-benarnya dan pasti, yang mampu menghapus dosa-dosa sebelumnya, menguraikan kekusutan orang yang bertaubat, menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukannya.
Muhammad bin Ka’ab al-Qurthuby berkata : “Taubatan nasuha menghimpun empat perkara ; memohon ampun dengan lisan, membebaskan diri dari dosa dengan badan, tekat untuk kembali melakukannya lagi dengan sepenuh perasaan dan menghindari teman-teman yang buruk (Yusuf, 1998: 36-37).
     4.      Taubat yang Diterima dan Taubat yang Tidak Diterima
Siapa yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha dan menghimpun semua syarat-syarat taubat sesuai dengan haknya, maka bisa dipastikan bahwa taubatnya diterima oleh Allah. Namun diantara ulama ada yang mengatakan, diterimanya taubat itu belum bisa dipastikan, tapi hanya sebatas harapan. Orang yang bertaubat ada di bawah kehendak Allah sekalipun ia sudah bertaubat. Mereka berhujjah dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 48 yang artinya :
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
Pendapat lain mengatakan bahwa, seseorang yang telah melakukan taubat hakiki jika dia benar-benar telah berpaling dan kembali dari dosa-dosa menuju kebajikan dan petunjuk. Apabila berpaling dari dosa dilakukan dengan kesungguhan dan bukan semata-mata karena menyaksikan hukuman, dengan kekuasaan dan rahmat-Nya Allah Swt akan menerima taubatnya (Murtadha, 1996: 50). Hal ini ditilik dari janji dan Sunnatullah yang berlaku pada makhluknya, Allah Swt berfirman dalam QS. Asy-Syura ayat 25 yang artinya:
“ Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ada dua macam taubat yang tidak akan diterima, yang pertama yaitu taubat atas kesalahan yang dilakukan di dunia tatkala hukuman telah mengenai dirinya. Sesungguhnya dalam keadaan ini tampak seolah-olah dia bertaubat, padahal tidak demikian. Allah Awt berfirman dalam QS. Al-Mukmin ayat 84-85 yang artinya:
"Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.
Yang kedua adalah taubat yang dilakukan seorang hamba di akhirat kelak. Ketika seorang hamba telah sampai ke alam akhirat, maka taubat dan penyesalannya tidak berguna lagi. Taubat itu tidak diterima lagi bukan hanya karena ketika itu hukuman balasan telah tampak jelas di hadapannya, akan tetapi karena di alam akhirat amal perbuatan dan aktivitas menuju kesempurnaan sudah tidak mempunyai arti (Murthadha, 1996: 51).
     5.       Macam-macam Dosa atau perbuatan yang menuntut taubat
Taubat diharuskan pada setiap melakukan dosa,  Maka taubat adalah dari semua dosa besar dan kecil. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus dan tidak ada dosa besar bersama istighfar (Ghazali, 1997: 313).
Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah sebagai berikut: (Yusuf, 1999: 51-53).
a.    Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan.
Kedurhakaan yang pertama terhadap Allah adalah meninggalkan  apa yang diperintahkan. Ini merupakan kedurhakaan iblis. Sebagaimana di dalam surah Al-Baqarah ayat 34, yang artinya sebagai berikut:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Kedurhakaan yang kedua adalah mengerjakan apa yang dilarang Allah swt, yaitu merupakan kedurhakaan Adam. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat  35 yang artinya:
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan  janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”
Tetapi Adam dikalahkan oleh kelemahannya sebagai manusia, sehingga diapun lalai dan tekadnya menjadi lemah karena mendapat bujukan iblis.
b.    Dosa anggota tubuh dan dosa hati
Banyak orang yang tidak tahu macam-macam kedurhakaan dan dosa selain dari apa yang ditangkap indranya atau yang berkaitan dengan anggota tubuh zhahir, seperti kedurhakaan yang lahir dari tangan, kaki, mata, telinga, lidah hidung dan lain-lainnya yang berhubungan dengan syahwat perut, kemaluan, birahi dan naluri keduniaan yang ada pada diri manusia.
Kedurhakaan mata adalah memandang apa yang diharamkan Allah. Kedurhakaan telinga adalah mendengar apa yang diharamkan oleh Allah, seperti kata-kata yang menyimpang yang diucapkan lisan. Kedurhakaan lisan adalah mengucapkan perkataan yang diharamkan oleh Allah, yang menurut Imam al-Ghazali ada dua puluh macam, seperti, dusta, ghibah, adu domba, olok-olok, sumpah palsu, janji dusta, kata-kata batil, omong kosong, tuduhan terhadap wanita-wanita muslimah yang lalai, ratap tangis, kutukan, caci maki dan sebagainya.
c.    Dosa yang berupa kedurhakaan dan bid’ah
Dalam hadits Rasulullah bersabda yang artinya: “Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi). “Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang baru dalam agama kami yang bukan termasuk darinya maka dia tertolak” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Artinya urusan yang baru itu tidak diterima, karena itu merupakan taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak menurutnya perintahnya dan tidak seperti yang disyari’atkan dalam agama serta tidak diizinkannya.
Bahkan pada hakikatnya  bid’ah itu merupakan salah satu jenis kedurhakaan, hanya saja dengan sifat yang lebih khusus. Pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan bid’ah dan dia yakin bahwa dengan bid’ah ini menjadikan dirinya lebih dekat kepada Allah dari pada orang lain yang tidak melakukannya (Anwar, 2004: 114).
Namun menurut sebagian besar ulama salaf Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah “bid’ah” ini disandingkan dengan istilah “sunnah”. Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”. (Nuril, 2013: 34).
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut; (Faridi, 2009: 180).
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah. Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi (Khalidi, 2009: 134).
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: (Nuril, 2014: 126). Pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik (Nuril, 2014: 190).
d.      Dosa yang terbatas dan dosa yang tidak terbatas
Di antara ketaatan dan kebaikan, ada yang terbatas dan tidak berpengaruh kecuali  terhadapa dirinya sendiri, seperti shalat, puasa, haji, umrah, haji, dzikir, membaca al-Qur’an, shadaqah, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, orang miskin dan ibnu sabil. Hal ini tidak berbeda dengan dosa dan keburukan, yang sebagian diantaranya ada yang hanya berpengaruh kepada pelakunya dan tidak menjalar kepada orang lain. Namun sebagian lain ada yang berpengaruh kepada orang lain, sedikit atau banyak (Anwar, 2004: 57).
e.       Dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba
Cukup banyak contoh dosa, kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti meninggalkan sebagian perintah, mengerjakan sebagian yang dilarang, seperti minum khamar, mendengarkan hal-hal yang tidak pantas, menyiksa binatang, menyiksa diri sendiri, memboroskan harta dan sebagainya (Anwar, 2004: 68).
Sedangkan dosa yang berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material, maka taubat darinya, tetapi harus mengembalikan hak itu kepada pemiliknya atau meminta pembebasan darinya atau minta maaf dan memohon pembebasan dari pemenuhan hak karena Allah semata. Jika tidak hak itu sama dengan hutang yang harus dilunasinya, hingga kedua belah pihak harus membuat perhitungan tersendiri pada hari kiamat. Jika kebaikannya tidak mencukupi, maka keburukan-keburukan orang yang memiliki hak itu dialihkan kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi (Murtadha, 1996: 89).


BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya: Taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi. Taubat terbagi kepada beberapa bagian; Taubatnya orang-orang yang berkehendak (muriddin), Taubatnya ahli hakikat atau khawash (khusus), Taubatnya ahli ma’rifat, dan kelompok istimewa.
Taubatan Nasuha artinya taubat yang sebenar-benarnya dan pasti, yang mampu menghapus dosa-dosa sebelumnya, menguraikan kekusutan orang yang bertaubat, menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukannya. Siapa yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha dan menghimpun semua syarat-syarat taubat sesuai dengan haknya, maka bisa dipastikan bahwa taubatnya diterima oleh Allah. Namun diantara ulama ada yang mengatakan, diterimanya taubat itu belum bisa dipastikan, tapi hanya sebatas harapan. Orang yang bertaubat ada di bawah kehendak Allah sekalipun ia sudah bertaubat.
Ada dua macam taubat yang tidak akan diterima, yaitu : Yang pertama taubat atas kesalahan yang dilakukan di dunia tatkala hukuman telah mengenai dirinya.Yang kedua adalah taubat yang dilakukan seorang hamba di akhirat kelak.
Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah sebagai berikut:  Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan, Dosa anggota tubuh dan dosa hati, Dosa yang berupa kedurhakaan dan bid’ah, Dosa yang terbatas dan dosa yang tidak terbatas, Dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba.

  

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Al-Qardhawi. Yusuf. Taubat, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999.
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, Bandung : Mizan, 1997.
Al- Ansari Al-Harawi, Abu Ismail Abdullah. Manazil As-Sairin, Labuhan: Tauhid Tasawuf, 1006-1089.
Bahri, Zainul. Menembus Tirai Kesendiriannya, Jakarta: Prenada, 2007.
Fadholi, Muhammad. Keutamaan Budi Dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, tt.
Muthahhari, Murtadha. Jejak-jejak Rohani, Bandung : Pustaka Hidayah, 1996.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Qardawi, Yusuf. Taubat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Wali Al-Khalidi, Amran. Terjemah Kitab Manazil As-Sairin, Aceh: Ponpes Darul Ihsan Labuhan Haji Aceh Selatan, 2009.
Huda, Nuril. Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam majalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab, diterbitkan oleh PP LDNU, 2013. dan Risalah Aswaja KH. Hasyim Asy’ari, diterbitkan oleh: PP LDNU, 2014.

0 komentar:

Posting Komentar