TAFSIR AL KASYSYAAF KARYA AL-ZAMAKHSYARI
BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir Al-Kasysyaf, siapa yang tidak mengenal tafsir fenomenal karya ulama Mu’tazilah Az-Zamakhsyari tersebut. Tafsir yang sangat kaya dengan gaya bahasa, yang menjadi rujukan semua ulama khususnya mengenai gramatika Arab. Tafsir yang menjadi kebanggan golongan Mu’tazilah, serta mendapatkan banyak pujian dari lawan maupun kawan. Belum ada seorang penafsir pun segiat Az-Zamakhsyari dalam menerangkan kemu’jizatan balaghah (al-I’jaz al-balaghi) atas susunan Al-Qur’an. Ibnu Khaldun membuktikan bahwa fenomena sastra historis yang muncul dalam perhatian yang diberikan penduduk Timur terhadap seni bayan Arab ternyata lebih banyak daripada orang Barat. Bahkan orang Timur, berbeda dengan orang Barat, sangat memperhatikan tafsir Az-Zamakhsyari, karena semuanya itu dibangun atas seni ini, dan inilah sebenarnya pokoknya (Goldziher; 2003: 149).
Berikut ini adalah ulasan penulis tentang riwayat hidup dan aqidah dari Imam Zamakhsyari dan kitabnya Al-Kasyf yang sangat dikenal oleh umat Islam. . Semoga usaha kecil ini bisa menambah ilmu bagi kita untuk lebih kena pada sosok fenomenal Imam Az Zamakhsyari beserta tafsir dan ilmunya. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengurai pokok bahasan sebagai berikut:
1. Siapakah Imam Az Zamakhsyari itu ?
2. Bagaimana Metode Tafsir Kitab Al Kasyf karya Iman Az Zamakhsyari ?
3. Bagaimana Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf ?
BAB II
IMAM AL – ZAMAKHSYARI
A. Biografi Imam Zamakhsyari
Nama lengkap imam al Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud Ibnu Umar ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Umar al -Khuwarizmi al Zamakhsyari. ia lahir pada hari Rabu 27 Rajab 467 H tepatnya pada tahun 1074 M di Zamakhsyar, Suatu desa yang bertempat di daerah Khuwarzmi, sekarang terletak di negara Turkestan, Rusia. Al-Zamakhsyari hidup ditengah-tengah lingkungan yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu (Al-Qaththan; 2013: 480).
Tidak banyak yang diketahui tentang latar belakang keluarga al-Zamakhsyari. Yang jelas bahwa keluarganya adalah keluarga yang taat terhadap ilmu juga taat dalam beribadah. Ayahnya adalah seorang imam di desa Zamakhsyar. Meskipun ayahnya tergolong orang yang miskin alias hidupnya pas-pas'an, ia adalah seorang yang alim, memiliki sifat yang warak, dan zuhud. Sedangkan nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan al-Zamakhsyari. Walaupun begitu al Zamakhsyari menggambarkan bahwa ibunya adalah sorang yang memiliki watak kepribadian yang sangat lembut ((Al-Qaththan; 2013: 479).
Az-Zamakhsyari mulai belajar di negerinya sendiri. Kemudian melanjutkan ke Bukhara, dan belajar sastra kepada Syaikh Mansur Abi Mudhar. Lalu pergi ke Makkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jar Allah (tetangga Allah). Di sana pula ia menulis tafsirnya, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil. Meninggal dunia pada 538 H. di Jurjaniah, Khawarizm, setelah kembali dari Makkah. Sebagian orang meratapinya dengan menggubah beberapa bait syair, antara lain, “Bumi Makkah pun meneteskan air mata dari kelopak matanya, karena sedih ditinggal Mahmud Jar Allah (Al-Qaththan; 2013: 481).
Masa kehidupannya dapat kita lihat dari tiga sisi, yaitu:
1. Dari sisi politik
Zamakhsyari hidup ketika masa senggang antara dua pemerintahan yaitu pada tahun 467-538 H, ketika masa ini negara Islam banyak mengalami pergolakan politik, negara Islam terpecah menjadi negara-negara kecil dan munculnya kerajaan-kerajaan yang terkenal dalam Islam, dan hal ini semua akan mempengaruhi diri az-Zamakhsyari dalam tsaqafah dan adabnya. Di antara negara-negara yang muncul ketika maza az-Zamakhsyari adalah:
a. Khilafah Abbasiyah
b. Daulah Aznawiyah di India
c. Daulah Fatimiyah di Mesir dan Syam
d. Daulah Murabithun di Marakis
e. Daulah al-Asraf al-Husainiyyin di Makkah.
Kemudian tentang kota tempat tinggal dari az-Zamakhhsyari, yaitu Khawarizmi, kota ini telah dikuasai oleh setidaknya tiga kekuasaan, yaitu:
a. Daulah as-Samaniyah (261-389 H)
b. Daulah Siljukiyah (429-552 H)
c. Daulah Khawarizmiyah (491-628 H)
2. Sisi Kemasyarakatan
Pada masa Zamakhsyari terjadi puncak ketegangan antara orang Turki dan orang Persia, hal ini disebabkan karena beralihnya pemerintahan dari Persia ke Turki serta dengan berpindahnya Ibu kota. Selain itu, tedapat perselisihan yang amat sengit ketika masa Zamakhsyari, yaitu antara sunni dan syiah, kebanyakan orang Buwaih adalah syiah dan orang Salahiqah dan Khawarizmi adalah sunni.
Khawarizmi ketika itu menjadi kota yang subur dengan pemikiran, seperti pemikiran muktazilah dan filsafat, lalu di daerah timur faham muktazilah menjadi paham yang mendarah daging, kebanyakan mereka adalah syiah, dan fuqaha’ mereka adalah muktazili (berfahaman muktazilah) sehingga paham ini menjalar kepada orang awam dan menjadi hal biasa. Di tengah pergolakan di daerah khawarizm tersebut, orang awam secara umunya dalam keadaan miskin dan hidup bermasyarakat dalam keadaan terpetak-petak ada yang khusus dan ada yang umum selain itu para penyeru jama’ah dan mazhab juga tak kalah santernya, dan sebagai akibat dari hal itu adalah berkembangnya perilaku tasawuf dan tawakul, menyeruak sihir dan pengagungan pada wali (al-Ghamidi; 1977: 3).
Peraturan negara ketika itu sangat jelek, para sultan dan umara’ banyak melakukan korupsi, adapun kalangan ulama ketika itu, terbagi menjadu dua, yaitu ulama yang condong dengan khalifah, sehingga banyak ketika masa itu para ulama yang mengarang kitab karena perintah dari khalifah, dan kelompook ulama kedua, adalah ulama yang bertempat jauh dari keramaian atau tinggal di pedesaan, kebanyakan mereka dalam keadaan miskin (Mathew; 1990: 157).
3. Sisi Ilmiyah
Zamakhsyari hidup dalam masa yang penuh dengan ilmu dan adab, ketika masanya banyak bertebaran ulama, ahli syair, penulis, terutama di daerah Khawarizmi, dan kebudayaan yang demikian banyak dimotofasi oleh pemerintah kala itu sehingga manusia saling berlomba-lomba dalam setiap cabang keilmuan, buku dan madrasah semakin banyak (Mathew; 1990: 158).
Akan tetapi daerah Khawarizmi adalah daerah yang menjadi basis pertumbuhan dan pergerakan muktazilah, sehingga tidak akan didapatkan seorang pun di Khawarizmi, kecuali bermazhab Muktazilah, mazhab ini telah menyebar luas, sampai orang awam pun meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk (Mathew; 1990: 159).
Selama hidupnya, al Zamakhsyari hidup membujang. Banyak komentar para ilmuan mengenai keadaan ini. jika dipahami dari bait syair di unagkapkannya sendiri, kata Abdul majid Dayyad, pentahkiq kitab RAbi' al Abrar, akan ditemukan kehidupan membujangnya karena pandangannya bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak mendirikan Rumah. Pernyataan ini menurut al Dayyad adalah basa basi belaka. Sebenarnya masih banyak lagi yang tidak terungkap yang menyebabkan beliau hidup dalam keada'an demikian. Diantaranya menurut al Dayyad adalah kefakirannya, ketidak stabilan hidupnya, karena keadaan materi yang demikian, serta penyakit jasmani yang dimilikinya. Cacat kakinya adalah salah satu sebab yang menjadikan ia lemah dan tidak sanggup dalam menaggung perkawinan dan tanggungjawab keluarga. Ini juga yang menjadi penyebab menjauhnya wanita dari al Zamakhsyari. Mungkin sebab lainnya ialah kesibukannya dalam menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menjadikan dirinya menjauh dalam persoalan perkawinan (Lazuardi; 2014: 3)
Hal diatas jelas bahwa sejak kecil, sudah tertanam dalam diri al Zamakhsyari rasa cinta terhadap bangsa arab dan bahasa arab dan ilmu pengetahuan. bahkan dalam usia remaja ia sudah bercita-cita dan berkeinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. ia ingin mendapatkan kedalaman ilmu yang memadai bagi kehidupannnya . Hal ini didukung oleh kondisi yang mengitari kehidupannya. Untuk mengenal beliau lebih jauh tentu kita juga harus mengenal tentang guru-guru dan murid-murid beliau, intelektual beliau dan madzhab serta akidah beliau. Berikut adalah penjelasan singkatnya :
1. Guru-guru dan murid beliau
Kecintaan al Zamakhsari terhadap ilmu pengetahuan diwujudkan dalam mencari dan menuntut ilmu dari berbagai guru dan syeikh. Ia tidak hanya berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup yang semasa dengan beliau, tetapi juga menimba ilmu dengan cara menelaah dan membaca berbagai buku yang ditulis oleh para syeikh seperti :
a. Abu Mudhar Mahmud ibnu Jarir al-Dhabi al-Ashbahani ( W. 507 H ).
b. Abu bakar Abdullah ibnu Thalhah al-Yaribi al Andalusi. ( W. 518 H).
c. Abu Mansur Nashr al-Haritsi.
d. Abu said al saqani.
e. Abu al khattab abnu Abu al-batr.
f. Abu ali al-Hasan al Muzhfir al-Naisaburi al-Dharir al-Lughawi ( W. 473 H ).
g. Qhadi al-Qudah Abi Abdillah Muhammad ibnu Ali al-Damighani ( W. 478).
h. dan al-Syarif ibnu al-Syajari
Ilmu pengetahuan yang ia dapat dari para gurunya diberikan kepada murid-muridnya yang sangat banyak jumlahya. Kadang syekh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu menjadi murid pula baginya. Dalam keadaan seperti ini, ia saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyari dengan beberapa ulama, misalnya dengan al-Syayid Abu al-Hasan Ali ibnu isa ibnu Hamzah al Hasan, salah seorang tokoh terkemuka di Mekkah. Diantara murid-muridnya yang lain ialah:
a. Abu al-Mahasin Abdurrahim ibnu Abdullah al-Bazzaz di Abyurad.
b. Abu Umar Amir ibnu al Hasan al-Sahhar di Zamakhsyar.
c. Abu Sa'id Ahmad ibnu Muhammad al-Sadzili di Samarqan.
d. Abu Tahir Saman ibnu Abdul malik al-Faqih al -Quwarizmi.
e. Muhammad ibnu al-Qasim.
f. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad ibnu Ahmad al Quwarizmi (Al-Qaththan; 2013: 483).
2. Intelektual Ilmu dan Karyanya
Az-Zamakhsyari termasuk salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan bayan. Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah, tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab Az-Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya “menurut Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf, atau “dalam Asas Al-Balaghah…” Ia adalah orang yang memiliki pendapat dan argumentasi sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti pendapat orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya dan diikuti orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Di antara karyanya:
a. Al-Kasysyaf (tentang tafsir)
b. Al-Fa’iq (tentang tafsir hadits)
c. Al-Minhaj (tentang ushul)
d. Al-Musfashshal (tentang ilmu nahwu)
e. Asas Al-Balaghah (tentang bahasa)Ru’us Al-Masa’il Al-Fiqhiyah (tentang fikih). (Al-Qaththan; 2013: 482).
Dari kitab kitab yang disusun beliau, beliau adalah seseorang yang mempunyai wawasan yang sangat luas dalam berbagai bidang ilmu, yang tidak hanya mengenai ilmu agama tetapi juga terhadap ilmu bahasa. kemampuan dan kedalamannya terhadap ilmu inilah yang membuatnya lebih terkenal dikalangan para ulama dimasa masa sesudahnya, terutama ketika ia menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan kaidah-kaidah dan balaghah.
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra’-yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-alusi, Abus Su’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya. bahkan mahasiswa jurusan tafsir banyak mengambil dari kitb tafsirnya untuk dijadikan bahan dlam mata kuliahnya, dan sangat baik dalam mempelajari kitab beliaiu.
3. Madzhab dan Akidahnya
Az-Zamakhsyari bermadzhab fikih Hanafi dan penganut teologi Mu’tazilah. Ia mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan madzhab dan teologinya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli. Ia menyebut kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil. (Al-Qaththan; 2013: 481-482).
B. Kitab Tafsir Al-Kasysyaf
Adalah Az-Zamakhsyari seorang ulama jenius yang sangat mumpuni dalam bidang gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu nahwu diakui dan menjadi rujukan penting para pakar bahasa, karena dianggapnya kritis dan orisinil.
Dalam teologi, dia penganut paham Mu’tazilah. Dalam bidang fikih bermadzhab Hanafi. Untuk mendukung “Mu’tazilaisme”-nya, ia menyusun kitab tafsirnya yang besar itu. Di samping itu kitab tersebut sebagai bukti akan kecerdasan, dan kepakarannya. Dalam pembelaannya terhadap madzhab itu, Ia mampu mengungkap isyarat-isyarat ayat secara dalam dan jauh. Hal itu dilakukan dalam rangka menghadapi lawan-lawan polemiknya. Tetapi dalam aspek kebahasaan ia berjasa menyingkap keindahan Al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya. Yang demikian karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu balaghah, ilmu bayan, sastra, nahwu dan tashrif. Sebab itulah Az-Zamakhsyari menjadi rujukan kebahasaan yang kaya. Di dalam mukaddimah tafsirnya, Ia mengindikasikan hal tersebut. Menurutnya orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir dan tidak akan dapat menyelami hakikatnya sedikitpun kecuali jika ia telah menguasai betul dua ilmu khusus Al-Qur’an; ilmu ma’ani dan ilmu bayan yang didorong oleh cita-cita luhur demi memahami kelembutan hujjah Allah, serta mu’jizat Rasul-Nya. Di samping itu semua, ia sudah memiliki bekal cukup dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain dan mampu melakukan dua hal; penelitian dan pemeliharaan, banyak menelaah, sering berlatih, lama merujuk dan akhirnya menjadi rujukan. Namun demikian ia tetap memiliki prilaku sederhana dan kreativitas yang mandiri (Al-Qaththan; 2013: 459).
Menurut Ibnu Khaldun, Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari tersebut, dalam hal bahasa, I’rab dan balaghahnya, termasuk di antara kitab tafsir paling baik. Hanya saja penulisannya termasuk pengikut fanatic aliran Mu’tazilah. Karena itu ia selalu memberikan argumentasi-argumentasi yang dapat membela madzhabnya yang menyimpang setiap kali menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi balaghahnya. Cara demikian bagi para peneliti Ahlusunnah dipandang sebagai penyimpangan. Sedang menurut jumhur merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan Al-Qur’an. Namun secara obyektif, mereka tetap mengakui kepakarannya dalam hal bahasa dan balagahahnya. Tetapi jika orang yang membacanya tetap berpijak pada madzhab Sunni dan menguasai hujjah-hujjahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Bagaimanapun kitab tersebut perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasa yang disajikannya (Al-Qaththan; 2013: 459-460).
Berikut adalah penjelasan singkat tentang riwayat Kitab Al Kasysyaaf :
1. Nama Kitab
Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, nama ini ditulis oleh Zamakhsyari dalam pendahuluan kitabnya. Dan pada cetakan yang lain tedapat tambahan “Ghawamidh”, sehingga judulnya menjadi “Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq Ghawamidh at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, judul inilah yang telah disebutkan oleh Borklemen dan selanjutnya diikuti banyak orang (al-Ghamidi; 1990: 824).
Tentang tanggal penulisannya, Zamakhsyari menyebutkan bahwa kitab ini selesai di Dar Sulaimaniyah pada waktu Dhuha, hari senin tanggal 23 Rabi’ul akhir pada tahun 528 H. Dan ia juga menyebutkan bahwa kitab ini selesai dalam jangka waktu masa kekhilafahan Abu Bakar, ia mulai menulis al-Kasyaf pada tahun 526 H yaitu tahun ketika ia kembali ke Makkah dan tinggal di sana selama tiga tahun (al-Ghamidi; 1990: 825).
2. Tema Kitab
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah (Abdillah; 2013: 16).
Sisi keindahan dan balaghah dalam al-Quran adalah hal yang sangat ditekankan dalam tafsirnya, dan ia banyak berusaha dalam tafsirnya untuk mengarahkan maknanya pada ‘Majaz’, ‘Isti’arah’, ‘Tamtsil’ atau Isykal Balaghiyah. Ini semua untuk meunjukkan uslub dan syair al-Quran, oleh karena itu kitab ini termasuk kitab tafsir yang paling luas menyebutkan sisi bayan dan balaghah al-Quran (Abdillah; 2013: 17).
3. Nilai Ilmiah dalam Kitab Al Kasysyaaf
a. Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya. Ia bermazhabkan Hanafi dalam masalah furu’ dan bermazhab Muktazilah dalam masalah ushul tanpa berta’ashub terhadap mazhab Hanafi, dan penulis Thabaqat Hanafiah mengatakan: “Imam besar dalam masalah adab dan namanya sering disebut-sebut.” (Abdillah; 2013: 16).
b. Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’. ia juga memiliki diwan syair yang banyak dipuji oleh para penulis, Borklemen, dalam bukunya al-Adab al-Islami, menyebutkan salah satu dari syairnya (Abdillah; 2013: 17).
4. Model Tafsirnya
Tafsir al-Kasyaf, karya Az-Zamakhsyari ini merupakan sebuah kitab tafsir paling masyhur di antara sekian banyak tafsir yang ditulis dengan metodologi tafsir bi al-ra’yi, dan bahasa. Al-Alusi , Abu As-Su’ud, An-Nasafi dan para mufassir lain banyak menukil dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya.
Mu’tazilaisme dalam tafsirnya telah diungkap dan diteliti oleh Allamah Ahmad An-Nayyir. Lalu dituangkan dalam bukunya, Al-Intishaf. Dalam kitab itu An-Nayyir menyerang Az-Zamakhsyari dengan mendiskusikan pemikiran Mu’tazilah yang dikemukakannya. Ia mengemukakan pandangan berlawanan dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan yang ada dalam Al-Kasysyaf. Mustafa Husain Ahmad melalui Al-Maktabah At-Tijariah Mesir, telah menerbitkan tafsir Az-Zamakhsyari ini pada cetakan yang terbaru, dengan empat buah buku sebagai lampiran:
a. Al-Intishaf oleh An-Nayyir;
b. Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani;
c. Hasyiah tafsir Al-Kasysyaf, oleh Syaikh Muhammad Ulyan Al-Marzuq;
d. Masyahid Al-Inshaf ala Syawahid Al-Kasysyaf, oleh Al-Marzuqi. Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa tafsir Al-Kasysyaf, banyak mengandung faham Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat (al-Khattan; 2013: 482).
5. Contoh Tafsir Kitab Al Kasysyaaf
QS. Al-Baqarah Ayat 115
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُ
Artinya :”Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatNya) lagi Mahamengetahui”. (QS.al-Baqarah: 115).
Walillahi al-masyriqu wa al-maghribu menurut Az-Zamaksyari maksudnya adalah Timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya milik Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam. Fainama tuwallu maksudnya ke arah manapun manusia mengahadap Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat Al Baqoroh ayat 144 yang berbunyi:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144).
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. Fatsamma wajhullahu menurut Az-Zamaksyari maksudnya di tempat (Masjid al-Haram) itu adalah Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk mengahadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah apabila seorang Muslim akan melaksanakan shalat dengan menghadap Masjid al-Haram dan bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk mengahadap ke arah tersebut. Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kiblat ke arah manapun dalam shalat dan di tempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu (Zamakhsyari; 1977: 306).
Menurut Ibnu Umar turunnya ayat ini berkenaan dengan shalat musafir di atas kendaraan, ia menghadap ke mana kendaraannya menghadap. Akan tetapi menurut Atho’ ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Kemudian pagi harinya, ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa bolehnya menghadap ke arah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam shalat.
Al-Hasan membaca ayat (فأينما تولوا) dengan memberi harokat fathah pada huruf ta’ sehinngga bacaannya menjadi tawallau karena menurutnya kata itu berasal dari tawalli, yang berarti ke arah mana saja kamu menghadap kiblat (Zamakhsyari; 1977: 307).
Q.S. Al Baqoroh Ayat 23
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[1] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q.S. Al Baqoroh Ayat 23).
Menurut Az-Zamaksyari kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada kata mitslihi, adalah pada kata ma nazzalna atau pada kata abdina, tatapi yang lebih kuat dhamir itu kembali pada kata ma nazzalna, sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Quran, bukan nabi Muhammad SAW (Zamakhsyari; 1977: 307).
QS. Al-Qiyamah Ayat 22-23
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ - إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah Ayat 22-23).
Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata nadzirah (melihat), sebab menurut Mu’tzilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nadzirah diartikan dengan al-raja’ (menunggu, mengaharapkan).
Az-Zamakshyari juga memeperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhakkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya (tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat muhakkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat, kemudian ditakwilkan agar sesuai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan ayat al-Quran surat al-An’am ayat 103:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (Q.S. Al-An’am ayat 103)
Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang ayat 22-23 surat al-Qiyamah dikelompokkan dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nadzirah dicarikan maknanya yang sesuai dengan paham Mu’tazilah, yaitu al-raja’ (menunggu, mengharapkan). (Zamakhsyari; 1977: 192).
6. Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf
Dikalangan Ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal dalam mengungkapkan keindahan balaghahnya. Disamping memiliki kelebihan, tafsir al-Kasysyaf juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Berikut penilaian ulama terhadap tafsir al-Kasysyaf sebagai berikut :
a. Imam Busykual
Imam Busykual meneliti dua tafsir yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir Az-Zamakhsyari, ia beropini: “Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan tafsir Az-Zamakhsyari lebih ringkas dan mendalam”. Hanya saja Az-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab Mu’tazilah.
b. Haidar al-Harawi
Haidar menilai bahwa tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan maupun pendalamannya.
Kekurangan-kekurangan pada tafsir al-Kasysyaf menurut Haidar, yaitu:
1) Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tanpa dipikir lebih mendalam.
2) Kurang menghormati ulama lain yang tidak sama golongannya. Sehingga Al-Razi ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 54, menunjukkannya pada penyusun al-Kasysyaf, karena Al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama.
3) Terlalu banyak menggunakan syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan yang jauh dari tuntunan syariat.
4) Sering menyebut Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah dengan tidak sopan. Bahkan sering mengkafirkan mereka dengan sindiran-sindiran.
c. Ibnu Khaldun
Ibnu Kaldun berpendapat bahwa tafsir diantara tafsir yang paling baik dan paling mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an dengan pendekatan bahasa dan balaghah serta i’rabnya adalah tafsir al-Kasysyaaf. Kekurangan tafsir Al-Kasysyaaf menurut Ibnu Kaldun yaitu Dalam tafsir Az-Zamakhsyari sering membela madzhabnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
d. Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Al-Sawi berpendapat bahwa Az-Zamakhsyari seorang ulama Mu’tazilah yang fanatik dalam membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada madzhab Mu’tazilah.
e. Ignaz Golziher
Dalam bukunya Madzahib tafsir al-Islam, Ignaz mengatakan bahwa tafsir al-Kasysyaaf sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.
f. Muhammad Husain al-Zahabi
Beliau berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-quran (Lazuardi; 2014:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab tafsir ini berjudul al-Kasysyaf an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam muqaddimah tafsir al-Kasysyafi disebutkan sebagai berikut: ..... mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Quran dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.
Kitab al-Kasysyaf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abu Su’ud an-nasafi dan para mufassir lannya banyak menukil dari kitab tersebut tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan telah diteliti oleh ‘Allamah Ahmad an-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intishaf. Dalam kitab ini an-Nayyir menyerang Az-Zamkhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah madzhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawananan dengannya sebagaimana ia mendiskusikan masalah kebahasaan.
Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan jelas sehingga para ulama’ Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyaf yang ada saat ini.
B. Penutup
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan. Saran dan kritik senantiasa penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan untuk semua teman mahasiswa pasca sarjana UIN Walisongo Kelas NR A pada umumnya. Semoga niat baik kita dalam menuntuk ilmu senantiasa mendapat Ridho dari Allah SWT. Amiin.
Gharamullah al-Ghamidi, Shalih, 1977, az-Zamakhsyari Lughawiyan wa Mufasiran, Kairo: Matba’ah ats-Tsaqafah.
Mathew, Adam, 1990, Al-Hadharah al-Islamiyah, Beirut: Dar kutub al-Arabi.
Al-Qaththan, Manna, 2013, Mabahits Fii ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Rafiq El-Mazni, Ainur, 2013, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Abdillah, Abu, 2012, al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, Beirut: Dar kutub al-Arabi.
Mahmud, Al-Qasim, 1997, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jakarta: Darul Fikr.
Lazuardi, Nabil, 2012, Dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html
0 komentar:
Posting Komentar