Komunitas Pecinta Suluk (KUCLUK) - MJM Bersemangat - Abah Eko Wardoyo As-Syadzily - Motivation of Juharuddin Muhammad

Selasa, 12 April 2016

USHUL FIQH SETELAH IMAM SYAFI'I

1:05:00 PM Posted by M. Juharuddin Mutohar No comments
USHUL FIQH SETELAH IMAM SYAFI'I



BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode masalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
Namun lain halnya pada masa imam madzhab, Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsepushul fiqh.
Dari para imam madzhab salah satunya yang sangat terkenal adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua.  Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas oleh para pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau  menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.  Salah satu karya Imam Syafi’i yang sangat fenomenal yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.
Sesudah masa Imam Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang dan meluas dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu, karena sistematika yang dipergunakan oleh Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh dalam kitab Ar Risalah, kitab Jima’ul Ilmi dan kitab Ibthalul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh merupakan suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar dan yang salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan dijadikan pedoman dalam usaha penggalian hukum-hukum syara’ pada setiap masa. Imam Syafl’i telah mempergunakan metode ushul fIqh ini untuk mendiskusikan pendapat-pendapat fuqaha yang berkembang luas pada saat itu. Seperti pendapat Imam Maliki, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik, begitu juga terhadap pendapat-pendapat ulama Iraq serta pembahasan dan kritiknya terhadap kitab Imam Al Auza’i yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Dengan demikian semua pendapat-pendapat fiqh mengikuti kaidah-kaidah ushul fiqh ini.
Dalam makalah ini akan di uraikan dengan singkat tentang perkembangan Ushul Fiqh Setelah masanya Imam Syafi’i dengan rumusan masalah: Sekilas Tentang Imam Syafi’i, Tajdid Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i, Sekilas Para Tokoh Ushul Fiqh Setelah Imam Syafi’i, dan Solusi Alternatif Tajdid.

 
BAB II
USHUL FIQH SETELAH IMAM SYAFI’I

A.    Sekilas Tentang Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dikenal dengan salah satu imam madzhab empat, Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.[1]
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.[2]
Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.[3]
Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.[4]
Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga buku Al Musnad berisi tentang hadis hadis rasulullah yang dihimpun dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al hadis.
Imam Syafi’i dalam menggali hukum-hukum syara’ telah menggunakan metode ushul fiqh secara konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan demikian, ushul fiqh juga merupakan landasan bagi mazhab Syafi’i. Hal itu, bukan hanya sekedar untuk mempertahankan mazhabnya, karena sebelum memproklamirkan mazhabnya di Irak dan Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.

B.     Tajdid Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i
Wacana rekonstruksi Ushul Fiqih adalah tema yang menarik untuk dikaji. Selain usianya sudah 13 abad, terhitung sejak Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah, Ushul Fiqih sebenarnya banyak telah mengalami perubahan mendasar, seperti metodologi penulisan maupun pembahasan materinya. Urgensi memperbarui ilmu ini memiliki implikasi terhadap konstelasi hukum Islam dan karena Ushul Fiqih adalah ilmu ciptaan manusia yang tidak sakral.
Kredo pembaruan Ushul Fiqih yang diyakini para intelektual Muslim termanifestasikan dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap 100 tahun untuk umat ini orang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya.” Para ulama setidaknya mengatakan bahwa mujaddid era pertama dalam Islam adalah Umar bin Khattab, kemudian datang seratus tahun kedua Imam Syafi’i yang diklaim para ulama menduduki posisi tersebut. Pada abad 20 datang mujaddid kenamaan dari Nejd bernama Muhamad bin Abdul Wahab yang terkenal dengan purifikasi dalam bidang tauhid. Perlu diketahui bahwa mujadid yang didatangkan Allah SWT pada seratus tahun sekali tidak hanya terwakili oleh personal saja, melainkan juga bisa berbentuk dalam sebuah lembaga atau organisasi.[5]
DR Yusuf Qardawi mengatakan bahwa ilmu yang muncul dari rahim umat ini sangat memungkinkan untuk direkonstruksi. Kalau ilmu seperti Fiqih, Tasawuf, dan Tafsir bisa diperbarui, kenapa ilmu Ushul Fiqih tidak?[6]
Hal senada juga dikuatkan oleh Dr. Ali Jum’ah Muhamad dalam bukunya, Aliyat al-Ijtihad, dia mengatakan bahwa alangkah ironisnya bagi orang yang menguasai Ushul Fiqih dan Fiqih secara bersamaan, akan tetapi dia hanya mengetahui teori dan sistem pengajaran dan tidak lebih dari itu. Dia juga mengatakan bahwa Ushul Fiqih harus menjadi problem solver-nya umat ini dalam memecahkan persoalan kontemporer. Ulama yang pernah mengkritisi Ushul Fiqih supaya terjadi adanya tinjauan ulang adalah Imam Asnawi. (Kutipan kedua)[7]
Geliat ide pembaruan memang marak dilakukan oleh para akademisi dalam bidang ini, salah satunya pembaru Mesir, Refa’at Tahtawi. Meskipun secara umum disematkan pada pembaruan yang bersifat untuk semua cabang ilmu, namun bukunya yang berjudul al-Qaulu Sadid fi Tajdid wa Taqlid cukup mencengangkan banyak kalangan. Belum ditambah tuntutan rekonstruksi di kalangan para dosen Universitas Kairo pada awal abad ke-20. Tema yang diusung dalam wacana rekonstruksi memang baru berkisar seputar penulisan ulang sistematika Ushul Fiqih, karena hal ini akan mempermudah siswa dalam pembelajaran Ushul Fiqih.[8]
Lain halnya dengan apa yang dilontarkan Hasan Turabi. Menurutnya, Ushul Fiqih saat ini sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Menurut Hasan Turabi, Ushul Fiqih klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu. Tokoh yang satu ini termasuk yang sangat gencar dalam menyuarakan tajdid Ushul Fiqih. Baginya, Ushul Fiqih harus lebih akomodatif terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer. Mandeg-nya ruh ijtihad Islam semakin mengernyitkan dahi para orientalis yang berujung pada kesimpulan asumtif bahwa ilmu ini tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas problematika umat terdahulu. Untuk merekonstruksi ilmu Ushul Fiqih demi tercapainya pembaruan Islam haruslah ada suplemen ilmu-ilmu sosial Barat yang sejatinya akan merekonstruksi epistemologi Islam dalam Ushul Fiqih.[9]
Wacana tersebut kemudian dibantah oleh Muhamad Said Ramadhan Buthi yang mengatakan Ushul Fiqih dan ilmu-ilmu Islam tidaklah muncul sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, seperti persoalan ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Ilmu Ushul Fiqih lahir secara aksiomatik, dan merupakan hasil pemahaman para ulama terhadap nash-nash. Muncullah pertanyaan, kalau permasalahan kontemporer tersebut terus berkembang, apakah Ushul Fiqih juga harus menyesuaikan? Ilmu ini, menurut Muhamad Said Ramadhan Buthi, sangat sulit untuk direkonstruksi, terutama jika ditinjau dari segi isinya karena landasannya sendiri adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Merekonstruksi ilmu ini sama saja dengan melakukan tahsilul hasil.[10]
Di antara penyebab maraknya gagasan rekonstruksi Ushul Fiqih, menurut Syeikh Abdul Fadhil Abdu Salam, adalah bahwa ilmu ini terlihat tidak produktif jika dihadapkan dengan persoalan baru karena beberapa faktor: pertama, terputusnya rangkaian kitab mutaakhirin dengan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salaf. Sehingga menyebabkan tersebarnya kitab-kitab mereka (mutaakhirin) dan harus memulai pembahasan dari awal. Kedua, menyebarnya taklid buta dan fanatisme dalam permasalahan Ushul Fiqih itu sendiri. Ketiga, tidak adanya perhatian yang nyata terhadap ilmu ini dikarenakan perkataan “tertutupnya pintu ijtihad” dan hal itu menyebabkan kemandulan intelektual dan perasaan yang cepat puas para pengkaji ilmu Ushul Fiqih. Keempat, terbebasnya pembahasan Usul Fiqih dengan Fiqih, dan masing-masing ushuliyyun berbeda pandangan terhadap para Fuqaha, sehingga tersebarlah pameo “tidak setiap ushuli itu faqih” dan “tidak setiap faqih itu ushuli”, seperti yang terjadi pada Mutakallimin. Kelima, ilmu Ushul Fiqih pada kenyataannya lebih menguasai hal-hal yang bersifat teoritis daripada tataran praktis seperti dalam Fiqih. Hal itu sesungguhnya mengakibatkan ilmu ini mandul dan tidak menghasilkan produk Fiqih, sehingga menjadi beban bagi para pelajar untuk mendalami ilmu ini. Keenam, terjadi banyak sekali pengulangan materi dalam Ushul Fiqih sehingga sering kita jumpai pembahasan yang sama dalam mengambil contoh. Ketujuh, kenyataannya ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu tersulit di antara ilmu-ilmu Islam lainnya, hal ini diakui sendiri oleh para pakar dan pengajar Ushul Fiqih. Kedelapan, Ushul Fiqih terlalu bertele-tele dalam membahas permasalahan kalamiyah, juga pembahasan seperti bahasa yang tidak ada keterkaitannya dengan ilmu ini, sehingga semakin menyulitkan orang yang belajar Ushul Fiqih. Kesembilan, lemahnya perhatian terhadap qaidah ushuliyah sehingga sering terjadinya kesalahan dalam menerapkan qaidah ushuliyah dengan qaidah fiqihiyah.[11]
Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang disusun oleh Imam Syafi’i, tetapi setelah periode Imam Syafi’i, mereka berbeda pandangan, diantara perbedaan pandangan itu adalah sebagai sebagai berikut:
  1. Diantara mereka ada yang memberikan penjelasan (syarah) terhadap ushul fiqh Imam Syafi’i dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global.
  2. Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, dan tidak menyetujui bagian yang lain, sambil menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini ialah ulama Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh lmam Syafi’i dengan menambah kaidah lain, yaitu istihsan dan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik, di mana hal ini tentang oleh Imam Syafi’i. Mereka juga menambah istihsan, mashalih mursalah dan adzd zarai’ yang dibatalkan oleh Imam Syafi’i.[12]
Demikianlah para fuqaha itu menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh yang cocok bagi mereka, meninggalkan yang tidak cocok dan menambah kaidah-kaidah yang mereka perlukan yang tidak ada dalam ushul fiqh imam Syafi’i. Barang kali metode ushul fiqh yang paling dekat dengan ushul fiqh Imam Syafi’i adalah metode ushul fiqh mazhab Hanafi. Sedang dilihat dari segi jumlah nara sumber dan materi fiqh, mazhab Hanbali lebih dekat kepada rnadzhab Maliki.
Sebenarnya para fuqaha dan keempat mazhab itu tidak ada yang menentang dalil-dalil yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, yakni Al Qur’an, Sunnah (Hadits), Ijma’ dan Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara Imam Syafi’i dengan ulama mazhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.[13]
Para fuqaha mazhab Syafi’i telah banyak mensyarah, menjabarkan dan menjelaskan ushul fiqh. Dengan demikian, makin lama ushul fiqh di kalangan mazhab Syafi’i semakin hidup dan berkembang, bertambah jelas dan rinci, terutama selama periode ijtihad. Para ulama di luar mazhab Syafi’i juga memperoleh tambahan penjelasan terhadap ushul fiqh tersebut.[14]
Meskipun beberapa ulama telah menutup pintu ijtihad, baik ijtihad secara muthlaq maupun ijtihad pada dasar-dasar mazhab tertentu, namun hal itu tidak melemahkan ilmu Ushul Fiqh. Bahkan banyak dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap bab-bab ushul fiqh, untuk menguji masalah-masalah fiqh yang tidak dietapkan melalui istinbath dan bertentangan dengan ketetapan-ketetapan mazhab yang mereka ikuti. Dengan meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh, orang-orang yang fanatik terhadap mazhabnya akan memperoleh pegangan yang dapat rnemperkokoh mazhabnya dan meyakinkan mereka cara pengambilan dalil dalam mazhab tersebut.
Oleh karena itu, pada masa taqlid, ilmu Ushul Fiqh juga tidak kehilangan nilai relevansinya karena ia merupakan kaidah yang dijadikan pedoman untuk menguji beberapa pendapat yang berbeda-beda pada saat terjadi perdebatan, yang masing-masing pihak mempergunakan ushul fiqh.
Setelah mazhab-mazhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul fiqh terbagi menjadi dua aliran yaitu;
  1. Aliran Teoritis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai mazhab. Aliran teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk menguatkan atau membatalkan praktek-praktek berbagai mazhab.
  2. Aliran Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legimitasi terhadap hasil-hasil ijtihad terhadap masalah-masalah furu’. Artinya, setiap ulama mazhab berijtihad untuk memberikan legitimasi terhadap masalah-masalah fiqh yang telah ditetapkan oleh ulama mazhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-kaidah yang menguatkan mazhabnya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan, bahwa lafazh yang ‘am itu menunjukkan hukum qath’i(pasti). Dengan demikian mereka menunjukkan secara berulang-ulang lemahnya hadits ahad yang menyalahi dilalah qat’iyah (penunjukan yang pasti), karena hadits ahad itu sifatnya zhanni. Para fuqaha yang memulai menggunakan metode ini adalah ulama mazhab Hanafi, meskipun pada setiap mazhab ada ulama lain yang juga memakainya.[15]
C.    Sekilas Para Tokoh Ushul Fiqh Setelah Imam Syafi’i
Setelah Imam Syafi’i meletakkan dasar ilmu Ushul Fiqh, para ulama yang datang kemudian berusaha menyarah kitab Risalah. Tercatat, Ibnu Sirij, Abu Bakar Muhamad bin Abdullah Soirofi, Abi Walid Hasan bin Muhamad Naisaburi, Ibnu Qaththan, Imam bin Muhamad Ali Qaffal. Setelah itu, muncul dua nama besar yang menurut para ulama sangat mempengaruhi kitab-kitab Ushul Fiqh dalam segi kepenulisan, yaitu Qadhi Baqilani al-Asy’ari dan Qadhi Abdul Jabbar Mu’tazili. Al-Baqilani mempunyai peranan yang sangat besar dalam membangun metodologi Mutakallimin, salah satu contohnya adalah menentang Mu’tazilah dalam memasukkan doktrin ilmu kalam, juga perananya menyelisihi dua metode Syafi’i dan Hanafi yang mengkooptasi ilmu kalam sebagai trandmark--nya.[16]
Abad ke-5 Ushul Fiqh sempat mulai marak semenjak Imam Haramain al-Juwaini banyak mengambil faedah dari kitab al-Baqilani yang berjudul at-Taqrib wal Irsyâd. Al-Juwaini sendiri memiliki tiga karya: Al-Waraqât (disyarah Jalal al-Mahali, Talkhis), dan al-Burhân (disyarah oleh al-Mazridalam kitab Fi Kasyfi Idhohil Mahsul min Burhânil Ushûl). [17]
Qadhi Abdul Jabar mempunyai kitab al-Amd yang disyarah oleh muridnya sendiri, Abul Husain al-Basri dan melahirkan karya al-Mu’tamad. Kitab Mu’tamad juga direspon baik oleh Qadhi Abu Ya’la dalam kitabnya, al-’Udah min al-Mu’tamad. Abu al-Hitab dan Abu al-Wafa’ bin Aqil adalah murid dari Abi Ya’la yang masing masing mengarang kitab al-Tamhid dan al-Wadhi fî Ushûl al-Fiqh. Di antara murid Ibnu Aqil yang cukup produktif adalah Ibnu al-Barhan, pengarang kitab al-Wushul ilal Ushul yang juga menginspirasi Syaikul Islam Ibnu Taimiyah untuk mengarang kitab al-Musawadah.[18]
Setelah era Imam Juwaini, muncullah nama seperti Imam Ghazali yang sedikit banyak terpengaruh Qadhi Baqilani, Qadhi Abdul Jabar, Abul Husain al-Basri, dan Imam Juwaini dalam karyanya al-Mustasyfâ. Ibnu Khaldun memuji al-Mustasyfâ sebagai kitab terbaik yang pernah ditulis dalam Ushul Fiqh di samping al-Burhân karya Imam Juwaini. Kitab Mustasyfa sendiri diringkas oleh Abu Walid bin Rusyd (595), cucu dari Ibnu Rusyd, dalam kitabnya, Dharuratu fi Ilmi Ushûl dan Ibnu Rashiq (632) dalam Lubâbul Mahsûl fil Ilmi Ushûl. Di samping kedua ulama ini, Ibnu Qudamah mentashihnya dalam Raudhatunnâdhir dan disyarah oleh Soffiyuddin al-Hanbali dalam Qawâ’idul Ushûl wa Maâqidul Fushûl. Syamsuddin Ba’lidan muridnya, Tufi, lebih istimewa lagi karena mampu merangkumnya selama 10 hari dalam matan Ghayatul Itqân. Matan Gayatul Itqân menjadi bahan rujukan Ala’udin Kanani Asqalani dalam Sawadunnâdhir wa Siqâqu Raudatunnâdhir.Tidak ketinggalan Ibnu Badran dan Amin Syanqiti menyarah karangan Tufi dalam Nujhatu Khatir.[19]
Kitab al-Mustasyfâ karya Ghazali mendapat perhatian besar generasi sesudahnya, seperti Khatib Bagdhadi dalam karyanya, Faqih wal Mutafaqih, meskipun isinya juga banyak mengandung pembahasan hadits, namun kaidah Ushuliyah juga tidak jarang kita jumpai pada kitab ini. Sandaran Bagdhadi dalam Faqih wal Mutafaqih adalah al-Risalah karya Syafi’i dan Tabshîrah karya Syairozi yang menjadi cikal bakal munculnya Allumâ’. Selain Khatib Bagdhadi, generasi ini juga memunculkan nama seperti Sam’ani dalam kitabnya, Qawâtiul Adilah sebagai tandingan terhadap kitab Taqwimul Adilah milik Abu Zaid Dabusi. Attankihât milik Syahrawardi juga muncul pada generasi ini.[20]
Imam Fakhrurazi dan Saifuddin al-Amidi adalah dua nama besar setelah Ghazali, masing-masing mempunyai karya al-Mahsûl yang karakteristiknya adalah istidlal dan mu’aradah dan hampir mempunyai manhaj yang berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya. Al-Mahsûl membidani kitab milik Tajuddin Armawi, al-Hâsil minal Mahsûl dan at-Tahsil minal Mahsûl karangan Sirajuddin Armawi. Di antara murid Armawi yang mengambil metode gurunya adalah Abdullah Muhamad bin Abad al-Asfahani, Najmuddin Qaswani, dan Tibrizi. Imam Qarafi al-Maliki juga mempunyai karangan Nafâisul Ushûl, Tankihkul Fushûl fi Ihtisaril Mahsûl. Saifudin al-Amidi mempunyai karya terkenal dalam Ushul Fiqh, di antaranya al-Ihkam fi Usulil Ahkam sebagai telaah dari kitab Mustasyfâ, Mu’tamad, dan Mahsûl.[21]
Setelah Amidi dan Fakhrurazi muncullah Ibnu Hajib dengan kitabnya Muntahasûl wal Amal fi Ilmi Ushûl wa Jadal. Imam Baidhawi yang menyarah al-Hasil dan Mukshtasar kemudian melahirkan kitab Minhajul Ushul yang menjadi diktat di berbagai universitas Islam di dunia. Sedangkan yang menyarah kitab Minhaj milik Baidhawi adalah murid Fakhruddin Jaribridi dalam Siraj al-Wadaj. Imam al-Asnawi dalam Zawâidul Ushûl ‘ala Minhajil Ushûl yang menjadi diktat di fakultas syariah Islam al-Azhar. Tajuddin Subhi menyarah kitab milik Ibnu Hajib yang terbagi dalam dua kitab, Raf’ul Hajib anibni Hajib dan Ibhaj fi Syarhil Minhâj.[22]
Setelah al-Subhi datang Imam Badrudin Zakarsyi dengan bukunya yang sangat komprehensif terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Ushul Fiqh, muridnyalah sendiri yang melanjutkan estafetnya, yaitu Barmawai dalam kitabnya, Nabdhah Alfiyah Ushûlil Fiqh dan kitabnya yang berjudul Tahrir. Imam Syaukani dari San’a, Yaman, melahirkan karya Irsyâdul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmi Ushûl (disyarah oleh Sadiq Hasan Khan yang notabene adalah teman sendiri dalam kitab Ikhtisharil Irsyâdul Fukhul fi Khusûlil Ma’mul.[23]
Metode Hanafiyah atau dikenal sebagai metode fuqaha memunculkan nama Isa bin Aban dalam karyanya, Istbatul Qiyas, Khabarul Wakhid, Ijtihad ar-Ra’yu, Ishaq Syasi dalam kitab Ushûl Asyâsi, Abu Manshur al-Maturidi dalam kitabnya, Min Akhdi Syara’i fil Ushûl, Abdullah Karakhi dalam kitab Risalah fi Ushûl. Adapun kitab yang paling masyhur di antaranya adalah: Ushul Karakhi karya Abidillah bin khusain al-Kharahi (340), Ushûl al-Jasas karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Rozi. Muncul juga kitab Ushûl Bazdawi dan Kanzul Wushul ila Ma’rifatil Ushul karangan Bazdaw. Abi Zaid Abdullah bin umar al-Dabusi mempunyai karangan fenomenal yaitu Taqwîmul Adillah yang sempat mendapat pujian oleh Ibnu Khaldun sebagai kitab terbaik dalam Ushul Fiqh selain mustasyfâ karangan Ghazali.[24]
Pada abad ketujuh banyak sekali dijumpai sistem penulisan menggunakan metodologi akomodatif. Dinamakan akomodatif lantaran sistem kepenulisan kitab-kitab ini membahas kaidah-kaidah ushuliyah yang ditopang dengan argumentasi logis, kemudian melakukan studi analisis komparatif. Di antara kitab yang ditulis oleh para ulama ini seperti: Badi’unnidham al-Jami’ baina Ushulûl Bazdawi wal Ahkâm karangan Mudfiruddin bin Ali Aaati, Tankhihul Ushûl karangan Abdullah bin Mas’ud al-Hanafi, Jam’ul Jawami’ karangan Tajuddin bin Subkhi, dan Taqrir wa Tahbir karangan Muhamad Amirul Haj Halbi. Datang generasi setelahnya Muhibudin bin Abdussukur dalam kitab Muslim al-Subut, dan ‘Allamah Abdul Ali bin Nidhamuddin dalam kitabnya Fawatihurrahmah bi Syarhil Muslim ats-Tsubût.[25] 
 
D.    Solusi Alternatif Tajdid
Ada beberapa tawaran alternatif untuk mengkaji ulang Ushul Fiqih, di antaranya apa yang ditulis oleh Abdussalam Balaji dan DR Ali Jum’ah Muhamad. Pertama, menyusun ulang sistem kepenulisan Ushul Fiqih dengan metode yang lebih simple dan mudah dipahami oleh khalayak umum mengingat ilmu ini salah satu ilmu terbesar yang pernah dilahirkan oleh umat Islam. Cara ini juga pernah dilakukan oleh DR Mustofa Syalbi kepada para mahasiswa di berbagai universitas Islam. Selain menyusun ulang sistem kepenulisannya, rekonstruksi isi materi pun perlu ditinjau ulang, seperti membuang perdebatan-perdebatan ahli kalam dan membuat definisi yang mudah dipahami. Unsur lain yang perlu ditambahkan adalah memasukkan ilmu-ilmu baru yang dianggap sangat penting, seperti maqashid syariah, qawaid furu’ dan takhrij. Kedua, perlunya memasukkan ilmu lain dalam Ushul Fiqih semacam ilmu yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan atau lebih dikenal dengan sosiologi. Ketiga, pembukuan Ushul Fiqih sebaiknya disesuaikan dengan pembukuan kontemporer dan membuang pembahasan yang tidak ada sangkut-pautnya terhadap Ushul Fiqih. Keempat, mengembangkan tema yang ada dalam Ushul Fiqih, seperti ijtihad dan ijma’ dibentuk dalam lembaga yang bersifat formal, penggunaan metodologi Ushul Fiqih dalam ilmu-ilmu sosial, menjadikan maqshid syariah sebagai landasan dalam berfatwa, dan mengembangkan kembali sumber-sumber hukum yang digunakan seperti (adawat, manahij dan mashadir) dan membingkainya dalam format yang lebih baik.[26]
DR Sya’ban Muhamad Ismail mempunyai beberapa gagasan mengenai rekonstruksi Ushul Fiqih yang secara substansi hampir sama seperti apa yang diwacanakan Ali Jum’ah dan Abdussalam Balaji. Pertama, tajdid berarti pengembangan dan perluasan terhadap ilmu Ushul Fiqih, serta menyisipkan ilmu yang mendukungnya. Jika menelisik akar geneologinya, Ushul Fiqih sebenarnya telah sampai pada taraf itu. Di samping telah menulis kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i juga telah mengarang kitab Jima’ul Ilmi, Ikhtilaful Hadits, Ibtalul Istihsân, sebagai perpanjangan tangan dari kitab ar-Risalah.[27]
Kedua, bentuk lain dari tajdid adalah purifikasi, mentarjih, dan menyeleksi pembahasan yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Hal ini penting mengingat jarang sekali ulama-ulama khalaf yang kritis terhadap karya para pendahulunya, sehingga tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Sampai muncullah Imam Syaukani (1255) dalam karyanya, Irsyadul Fuhul fi Tahqiqi Ilmi Wusûul, yang mencoba mengkritisi beberapa kitab kemudian mengatakan, “Jangan sampai ada yang beranggapan bahwa seluruh kaidah ushuliyah itu semuanya qhat’i yang tidak boleh tersentuh oleh ijtihad manusia. Dia juga menjelaskan mana saja masalah yang tidak boleh adanya khilaf dan yang memungkinkan khilaf.[28]
Sejarah terbentuknya Ushul Fiqih merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam, mengingat usaha ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari pengalaman, penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka. Sikap kita terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil. Kita mengapresiasikan karya-karya ulama masa lalu, namun tetap kritis terhadap apa yang mereka bangun, karena semua perkataan boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. Pengetahuan dan pembacaan sejarah yang baik tentu akan mengantarkan pada pemahaman yang baik pula. Mengutip perkataan Rajib Sarjani, “sejarah Islam adalah mutiara terpendam yang harus dikeluarkan oleh umat ini.” [29]

BAB III
PENUTUP

Imam Syafi’i dalam menggali hukum-hukum syara’ telah menggunakan metode ushul fiqh secara konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan demikian, ushul fiqh juga merupakan landasan bagi mazhab Syafi’i. Hal itu, bukan hanya sekedar untuk mempertahankan mazhabnya, karena sebelum memproklamirkan mazhabnya di Irak dan Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.
Tajdid Ushul Fiqih setelah Imam Syafi’i muncul dari berbagai kalangan ulama ushul fiqh. Namun pada dasarnya para fuqaha dan keempat mazhab itu tidak ada yang menentang dalil-dalil yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, yakni Al Qur’an, Sunnah (Hadits), Ijma’ dan Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara Imam Syafi’i dengan ulama mazhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.
Setelah Imam Syafi’i meletakkan dasar ilmu Ushul Fiqh, para ulama yang datang kemudian berusaha menyarah kitab Risalah.
Sejarah terbentuknya Ushul Fiqih merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam, mengingat usaha ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari pengalaman, penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka. Sikap kita terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil.
Demikian sedikit sketsa sejarah munculnya ilmu Ushul Fiqh dan kitab-kitab primer aliran Mutakallimin dan aliran lain setelah Imam Syafi’i. Karakteristik penulisan metode ini lebih mengedepankan analisa ataupun rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat perbedaan maupun persamaan terhadap masalah furu’iyah dan berusaha menghindarkan kefanatikan terhadap madzhab. Juga menjadi catatan bahwa thariqah Mutakallimin mempunyai metodologi kajian induktif terhadap nash. Di antara penganut metode ini Syafi’iyah, Mu’tazilah, dan Malikiyah.


Daftar Pustaka


Abdul, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo, 2002.

Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Cet. V, Jakarta: Amzah, 2008.

Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

Firdaus, Ushul Fiqh, Jakarta Timur : Zikrul, 2004.

Imam Syafi’i, Ar-Risalah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.

Karim, Syafi’i, .Fiqih Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2006.

Persada, http://rizkisaputro.blogspot.com ,Sejarah Ushul Fiqh, http:// sejarah perkembangan usul-fiqh.html 6-02-2016.

Syafi’e, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007.

Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Cet. XV, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006.

Syaikh Muhammad Syakir, Ar-Risalah Karya Imam Syafi’i, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.


[1] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Cet. V, (Jakarta: Amzah, 2008), 89.
[2] Ibid., hlm. 91.
[3] Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’I, Cet. XV,  (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006). 102
[4] Ibid., hlm.  97.
[5] Rachmat Syafi’I, “ Ilmu Ushul Fiqh”, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007), 116.
[6] Ibid., hlm. 128.
[7] Ibid., hlm. 132.
[8]  Nazar Bakry, “Fiqh dan Ushul Fiqh”. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003). 77.
[9] Ibid., hlm. 86.
[10] Ibid., hlm. 102.
[11] Syafi’i Karim, “Fiqih Ushul Fiqih”, (Bandung : Pustaka Setia. 2007). 86.
[12] Persada. http://rizkisaputro.blogspot.com, ”Sejarah Ushul Fiqh”,  2015. http:// sejarah-perkembangan-usul-fiqh.html. 6/4/2016.
[13] Syaikh Muhammad Syakir, Ar-Risalah Karya Imam Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008). 40.
[14] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002). 52.
[15] Abdul, “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam”, (Jakarta : Raja Grafindo, 2002). 107.
[16] Abdul. “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam”, Op. Cit., hlm. 186.
[17] Bakry, Nazar. “Fiqh dan Ushul Fiqh” Op. Cit., hlm. 234.
[18] Ibid., hlm. 260.
[19] Bakry, Nazar. “Fiqh dan Ushul Fiqh” Op. Cit., hlm. 260.
[20] Ibid., hlm. 125.
[21] Ibid., hlm. 187.
[22] Ibid. hlm. 191.
[23] Abdul. “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam”, Op. Cit., hlm. 189.
[24] Ibid., hlm. 192.
[25] Ibid., hlm. 210.
[26] Firdaus. “Ushul Fiqh”, Op. Cit. hlm. 177.
[27] Ibid., hlm. 183.
[28] Firdaus. 2004. Ushul Fiqh, Op. Cit. hlm. 184.
[29] Ibid., hlm. 196.