GERAKAN DII/TII DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
Gerakan Islam militan telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak
tahun-tahun awal kemerdekaan. Beberapa aspek sejarah mereka telah diteliti
secara ekstensif dan cukup dipahami, namun masih banyak bagian yang samar dan
terlewatkan. Masa-masa awal gerakan Darul Islam, yang bermula sejak 1940-an
hingga “kekalahannya” dalam pemberontakan 1962, telah menjadi topik dalam
sejumlah buku dan artikel.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo atau
yang biasa disebut SM Kartosuwiryo mungkin bukanlah orang yang asing bagi kita,
terutama para sejarawan pasti sangat mengenal beliau. Kartosuwiryo memulai
karirnya di Serikat Dagang Islam (SDI), lalu melanjutkannya di Serikat Islam
(SI), dan setelah itu beliau mengikuti Partai Islam Indonesia (PII), Masyumi,
baru akhirnya membentuk DI/TII.
Gagasan Negara Islam tumbuh dalam
diri Kartosuwirjo pada akhir 1920-an saat ia bergabung dengan Syarikat Islam,
partai politik Islam pertama di Indonesia yang bercita-cita menegakkan syari’at
Islam di Indonesia. Sementara itu gagasan jihad Kartosuwirjo lahir di zaman
revolusi dimana saat itu, Republik Indonesia yang baru merdeka pada 17 Agustus
1945 sedang berperang melawan Belanda. Semangat mengobarkan jihad melawan
Belanda ini bukan monopoli orang-orang DI saja. Seluruh golongan umat Islam
menyerukan perang sabil melawan belanda. Semuanya memfatwakan bahwa jihad
melawan pemerintah Belanda hukumnya fardlu ain bagi setiap muslim di
Indonesia dan mereka yang mati karena peperangan dihukumi mati syahid.
Ajaran jihad memang mudah tumbuh dalam situasi abnormal seperti perang. Namun
kelompok-kelompok Islam berbeda dengan DI, setelah Belanda terusir dari
Indonesia, mereka kembali berjuang melalui jalur politik formal sementara
Kartosuwirjo dan kawan-kawan melanjutkan jihad melawan pemerintah Republik
Indonesia (RI) yang dianggap murtad karena menolak menerapkan syari’at Islam.
Di zaman perang melawan pemerintah RI, paham jihad DI/TII menjadi semakin
ekstrim. Mereka tidak hanya memerangi tentara Indonesia, tapi juga warga sipil.
Dalam makalah ini penulis akan
membahas tiga pokok bahasan yaitu: Gagasan Darul Islam Kartosuwirjo, Pemahaman
Jihad Kartosuwirjo, dan Hari-hari terakhir Kartosuwirjo.
BAB II
GERAKAN DI/TII DI INDONESIA
A. Gagasan
Darul Islam Kartosuwirjo
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 7
januari 1907 di Cepu, sbuah kota kecil antara blora dan bojonegoro yang menjadi
daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Berbeda dengan tokoh Islam
lainnya, ia tak punya latar belakang pendidikan agama. Pendidikan formalnya
memang dihabiskan dalam sistem pendidikan Belanda. Kartosoewirjo beruntung,
posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah kolonial Belandi di bidang distribusi
penjualan candu, membuat orang tuanya bisa menyekolahkan dirinya di sekolah
Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan SMA nya di ELS (Europeesche Legere School)
di bojonegoro. Pada 1923 ia melanjutkan kuliah pada sekolah kedokteran NIAS
(Nederlandsch Indische Artsen School). Disana ia ikut kelas persiapan selama
tiga tahun. Pada 1926, ia mulai kuliah kedokteran. Namun Kartosoewirjo hanya
sekolah setahun, karena ia dikeluarkan dari NIAS dikarenakan memiliki buku-buku
sosialis dan komunis. Pemerintah colonial memang sangat sensitive dengan
sesuatu yang berbau komunis, karena pada 1926, gerakan komunis di Indonesia
melakukan pemberontakan (Dangel; 8, 1986).
Buku-buku itu
diperoleh daripamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang
dikenal juga sebagai tokoh komunis. Interaksinya dengan sang paman inilah yang
menumbuhkan kesadaran politik Kartosoewirjo. Sebenarnya sejak 1923 ia sudah
aktif digerakan politik dengan bergabung dengan jong jaya organisasi nasionalis
kaum pemuda jawa, di Surabaya. Kemudia pada 1925, pindah organisasi ke Jong
Islamieten Bond (JIB), Organisasi pemuda Islam di Jawa. Dan tak lama kemudia
menjadi ketua cabang JIB di Surabaya. Di organisasi inilah ia mulai berkenalan
dengan tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin
PSI (Partai Syarikat Islam). Lulus sekolah pada 1927. Tjokroamintoto menawari
Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadinya. Tak lama kemudia ketua PSI itu
pindah ke Cimahi, Bandung. Ia pun ikut. Masih ditahun yang sama dalam kongres
PSIHT (Partai Serikat Islam Hindia Timoer) di pekalongan ia diangkat jadi
sekretaris umum PSIHT.
Saat aktif di
PSI inilah. Kartosoewirjo mulai aktif mempelajari Islam. Namun karena tidak
fasih berbahasa Arab. Pengetahuan keislamannya lebih banyak didapati dari
belajar buku-buku Islam berbahasa Belanda. Selain itu, pada 1930 saat ia
istirahat di Malangbong, Garut-karena sakit beri-beri ia sempat menimba ilmu
agama kepada beberapa ulama di Garut. Yang juga para aktivis PSI, yaitu Kyai
Ardiwisastera yang kelak menjadi mertuanya. Kyai Yusuf Tauziri, Kyai Mustofa
Kamil, Kyai Ramli. Kesemua gurunya adalah ulama-ulama tradisional, bukan ulama
modernis, atau penganut faham salafi (Gunawan; 21, 2000). Dari mereka
juga Kartosoewirjo mempelajari ilmu tarekat dan tasawuf, yang kelak
pemahaman soal mistik Islam ini akan sangat mempengaruhi pemikirannya. Diduda
saat itu ia juga menjadi pengikut tarekat Qadiriyah (Suradi; 166, 1997).
Interaksi
dengan Tjokroaminoto, keterlibatannya dengan PSI dan pelajaran agama dari
guru-gurunya di Garut inilah yang membangun pemahaman keislaman Kartosoewirjo.
Ia terinspirasi gagasan Negara Islam yang diperjuangkan oleh PSI dan berusaha
memperjuangkannya (Anhar; 242,2004). PSI memang sebuah partai yang menuntut
akan berlakunya syari’at Islam’ di dalam arti kata yang seluas-luasnya dan
sempurna-sempurnanya. Menurut contoh dan teladan yang nyata di dalam Sunnah
Rasulullah,” PSI sendiri tak sekedar berniat mendirikan Negara Islam di
Indonesia, tapi juga menganut paham pan-islamisme. Pan-islamisme adalah gagasan
untuk menyatukan umat islam sedunia dalam satu sistem kekhalifahan. Dari
pengertian ini. Perjuangan umat Islam di Indonesia adalah bagian dari
perjuangan umat Islam sedunia dalam rangka membebaskan diri dari penjajahan
bangsa asing. Awalnya PSI cukup serius memperjuangkan ide ini. Setelah
kejatuhan khilafah Turki Usmani pada 1924, PSI ikut membentuk komite khilafah,
semacam komite untuk memperjuangkan kembali khilafah dan tokoh PSI Wondoamiseno
menjadi ketuanya. Sementara itu, 1926 Tjokroaminoto bersama KH. Mas Mansyur
dari Muhammadiyah datang ke kongres Muktamar Alam Islami di Mekkah, Arab Saudi
untuk membicarakan kekhalifahan. Tak hanya itu H. Agus Salim, tokoh PSI, juga
memimpin semacam cabang dari Muktamar Alam Islamy di Surabaya. Namun semangat
PSI memperjuangkan pan-islamisme ini belakangan meredup, karena kurangnya
perhatian dari negeri-negeri Islam lainnya (Chaedar; 465, 1999).
Belakangan
bersamaan dengan meningkatnya pemahaman keagamaan Kartosoewirjo-terutama
setelah belajar agama kepada para kiai di Garut-ia semakin yakin pentingnya
umat Islam mendirikan sebuah Negara Islam dimana masyarakatnya dapat
melaksanakan syari’at Islam, baik syari’at yang bersifat pribadi (Syaksiyah)
maupun syari’at yang bersifat sosial (Ijtima’iyah). Ia juga meyakini Negara Islam
yang ia sebut Darul Islam bisa menaikkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Menurutnya, “Sepanjang ajaran Agama Islam, maka naiknya derajat seseorang
Indinesia baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan manusia dan sesuatu
umat atau bangsa, hanyalah disebabkan karena suka melakukan hukum-hukum Islam
menurut perintah Allah dan Sunatirosul, dalam arti kata yang
sempurna-sempurnanya. Sebaliknya dari pada itu, maka turunnya harkat martabat
manusia dalam pandangan Allah dan pandangan manusia cuma lantaran
membelakangnkan dan membohongi Agama Allah yang diturunkan kepada nabi penutup,
Muhammad SAW. “Ada yang menarik dengan istilah Darul Ilsam. Dalam sejarah
Indonesia Modern, bisa dikatakan Kartosoewirjo lah yang menggunakan istilah dan
menyamakannya dengan Negara Islam, menurut Muhammad Natsir pada 1930-an istilah
itu belum dikenal. Negara Islam belum dikenal. Negara Islam sering disebut dengan
Istilah Negara berdasarkan Islam (Chaedar; 420, 1999).
Lebih jauh
Kartosoewirjo juga merumuskan bagaimana caranya untuk menegakkan Darul Islam di
Indonesia. Ia belajar dari tarikh (Sejarah) perjuangan Muhammad, menurut kunci
kemenangannya ada dua yaitu, hijrah dan jihad.
“Syahdan, maka
hijrah itu adalah suatu perbuatan nabi yang teramat penting, karena sesudah
hijrah kaum muslimin dizaman baru, zaman yang terang cuaca. Karena sorotnya Nur
Illahi ke tanah madinah. Namun untuk meraih kemenangan hijrah saja tidak cukup.
Hijrah harus digandengkan dengan jihad. Soalnya setiap kata hijrah dalam
ayat-ayat Al Qur’an selalu berdampingan dengan kata jihad, oleh karena itu
hijrah dan jihad merupakan dua hal yang harus dilakukan sekaligus. Menurutnya
“Hijrah yang tidak memakai jihad adalah berarti negatif, ibara “Nahi munkar,
(mencegah keburukan) dengan tidak disertai “Amar ma’ruf, (menyerukan
kebaikan).”. Namun jihad yang dimaksud disini tidak sekedar diartikan perang
tetapi juga jihad melawan hawa nafsu, dengan hijrah dan jihad umat Islam di
Indonesia bisa meraih kemenangan (Dangel; 36, 2000).
Apa yang
dipahami Kartosoewirjo cukup mengesankan di zamannya, terutama soal
pandangannya terhadap sejarah Nabi. Ia melihat bahwa tarikh nabi tidak sekedar
sejarah, tapi juga sebuah contoh yang harus ditiru oleh setiap pergerakan
Islam. Nampaknya bagi Kartosoewirjo merujuk pada sunnah Nabi tak sekedar
merujuk tata peribadatan menurut hadis shoheh yang saat itu banyak
diperjuangkan oleh organisasi modernis seperti Muhammadiyah. Al Irsyad atau
Persis. Lebih jauh Kartosoewirjo melihat bahwa merujuk pada sunnah perjuangan
Nabi. Karena dia mencoba meletakkan sunnah perjuangan nabi dalam konteks
perjuangan umat Islam di Indonesia. Misalnya saat menyebut bahwa keberhasilan
perjuangan nabi karena hijrah, maka umat Islam di Indonesia juga harus
melakukan hijrah, hijrah dari Makkah Indonesia menuju Madinah Indonesia. Bila
disimpulkan Makkah Indonesia adalah Indonesia yang masih meninggalkan
hukum-hukum Allah sementara Madinah Indonesia adalah Indonesia yang sudah
menerapkan hukum Allah. Hal itu disebutkan HM. Kartosoewirjo dalam tiga bukunya
“Sikap Hijrah PSII 1” “Sikap Hijrah PSII 2” dan “Daftar Oeseha Hijrah” (Al
Chaidar, 1999) cara pandang terhadap sejarah ala Kartosoewirjo ini kelak menjadi
cara pandang banyak tokoh gerakan Islam dibelahan bumi yang lain. Hal ini
misalnya bisa dilihat dari buku Manhaj Haraki karya Syaikh Munir Ghadban, Ulama
Ikhwanul Muslimin, yang mengadopsi sejarah Nabi sebagai strategi gerakan Islam
untuk meraih kemenangan (Suradi; 166, 1997).
Keterlibatkan
Kartosoewirjo di PSI juga membangun watak anti kompromi pada dirinya. Saat
Kartosoewirjo bergabung dengan Syarikat Islam, PSI sedang bersemangat
menerapkan politik non-kooperasi terhadap pemerintah colonial Belanda.
Non-kooperasi artinya tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda,
baik dalam dinas pemerintahanan, maupun semacam rakyat seperti Volksraad yang
dibentuk pemerintah Belanda. Termasuk menolak bantuan dari pemerintah.
Penerapan politik non-kooperasi ini menjadi salah satu alasan pecahnya hubungan
antara Muhammadiyah dengan PSI. Pada akhir 1920-an, Muhammadiyah dikeluarkan
dari PSI. Salahsatu alasannya karena Muhammadiyah menerima subsidi dana dari
pemerintah kolonial Belanda. Watak anti komprominya terlihat ketika terjadi
pertikaian di tubuh PSI antara kubu Abikusno melawan Haji Agus Salim pada 1936.
Agus Salim berpendapat bahwa politik non-kooperatif PSI harus diakhiri karena
akan merugikan partai, sebaliknya Abikusno yang mengambilalih kepemimpinan
partai selepas Tjokroaminoto wafat pada 1934 tetap bersikukuh untuk menolak
politik kooperasi dengan Pemerintah Belanda. Kartosoewirjo berada dikubu Abikusno
yang akhirnya memenangkan pertarungan ini dengan memecat Haji Agus Salim dan
para pengikutnya dari PSI. Namun tiga tahun kemudian, giliran Kartosoewirjo
yang berselisih dengan Abikusno. Ia menolak kebijakan pimpinan tertinggi partai
yang ingin melibatkan PSI dalam gerakan kemerdekaan yang menuntut Indonesia
Parlemen, yaitu suatu gerakan yang menekan Pemerintah Belanda agar mendirikan
lembaga perwakilan rakyat yang punya kekuasaan penuh. Tak hanya itu, ia juga menolak
PSI bergabung di dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), suatu federasi dari
partai-partai politik Indonesia yang didirikan pada 1938. Sikap oposisinya itu
menyebabkan ia dipecat dari partai pada 1939. Bagi Kartosuwirjo tuntutan GAPI
membentuk parlemen Indonesia, merupakan sikap kooperasi juga dengan corak yang
lain. Sikap Kartosoewirjo ini didukung para aktivis PSI Garut, yang juga guru
dan temannya, seperti Kyai Jusuf Taujiri dan Kamran (Abas; 90, 2009).
Selepas
dikeluarkan dari PSI pada 1939, Kartosuwirjo pindah ke Malangbong, Garut.
Bersama Kyai Jusuf Taujiri dan Kamran, ia mendirikan komite pertahanan
Kebenaran PSII. Komite ini menggunakan anggaran dasar dan peraturan-peraturan
PSII dan menganggap dirinya sebagai Sarekat Islam yang sebenarnya. Pada 1940,
ia membentuk lembaga pengkaderan yang disebut Institut Suffah. Institut Suffah
ini awalnya adalah program PSI yang tak sempat direalisasikan yang
tujuannya:”tempat pendidikan, pengajaran, dan latihan bagi pemimpin-pemimpin
partai untuk menjalankan hukum dan perintah-perintah Islam. Lembaga ini dibentuk
dalam sebuah gaya pesantren tradisional, di mana para siswanya bertempat
tinggal disana. Di sana para siswa diajarkan ilmu pengetahuan umum, ilmu agama
dan ilmu politik. Pendidikan ini berlangsung selama empat hingga enam bulan,
dan setiap angkatan diikuti peserta antara 30 sampai 50 orang. Kelak, sebagian
para alumni Institut Suffah ini menjadi pengikut setia Kartosoewirjo saat mendirikan
gerakan Darul Islam (Suradi; 156, 1997).
B.
Pemahaman Jihad Kartosuwirjo
Pengkaderan di
Institut Suffah berhenti karena dibubarkan Jepang yang datang ke Indonesia pada
1942. Pendudukan Jepang di Indonesia selain mema\bawa kesengsaraan juga membuka
peluang bagi Kartosuwirjo untuk melanjutkan apa yang dikerjakannya di Institut
Suffah. Namun kali ini berbeda, bukan pembentukan kader-kader partai tapi
kader-kader militer. Saat itu jepang memang mengijinkan umat Islam membentuk
Hizbullah, semacam milisi Islam. Tujuannya membantu jepang ketika melawan pihak
Sekutu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh umat Islam. Mereka beramai-ramai membentuk
korps militer. Tak terkecuali Kartosuwirjo yang sudah lama menunggu kesempatan
untuk mendirikan organisasi militer sendiri. Pada 1945 ia segera mengaktifkan
kembali lembaga suffah untuk menggembleng para pemuda yang bergabung dengan
Hizbullah. Para pemuda dipersenjatai dan diberi pelatihan militer (Suradi; 156,
1997).
Pelatihan
lascar Hizbullah ini terus dilakukan oleh Kartosuwirjo dan kawan-kawannya pasca
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tepat tiga hari setelah jepang menyerah
kalah dalam perang dunia kedua. Kartosuwirjo memang memperhitungkan akan
terjadi perjuangan bersenjata pasca merdeka. Perhitungan ini cukup beralasan.
Pada September 1945, pasukan Inggris datang ke pulau jawa untuk mengawasi
penarikan mundur pasukan Jepang. Bersamaan dengan pasukan Inggris ikut datang
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang akan berwenang mengelola
pemerintahan sipil di Indonesia. Bersama NICA, tentara belanda juga menyelinap
masuk ke Indonesia, denga hasrat kembali mengukuhkan kekuasaan colonial
Belanda. Kedatangan tentara Inggris dan Belanda ini mendapat perlawanan keras
dari umat Islam (Dangel; 37, 2000).
Umat Islam
mendeklarasikan perang sabil alias perang suci. Pada 21-22 Oktober 1945,
wakil-wakil dari cabag Nahdlatul Ulama (NU) diseluruh Jawa dan Madura berkumpul
di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin oleh Kyai Haji Hasyim Asyary, ketua NU
saat itu, menghasilkan fatwa yang menyatakan perang mempertahankan kemerdekaan
adalah jihad fisabilillah dan hukumnya fardhu ain alias wajib bagi setiap
Muslim. Fatwa itu kemudia popular dengan sebutan Resolusi Jihad. Segera setelah
Resolusi Jihad keluar para kiyai bersama santrinya dari berbagai daerah
memobilisasi laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah. Mereka kemudia bergerak ke
Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945 meletuskan peperangan
sengit selama tiga minggu antara pasukan Inggris melawan laskar Hizbullah dan
Sabilillah. Resolusi Jihad ini kemudian diikuti fatwa-fatwa serupa berbagai
organisasi Islam. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam sidangnya di
Yogyakarta pada 12 November 1945 mengeluarkan fatwa soal wajibnya umat Islam
mempertahankan kemerdekaan dan berjihad fisabilillah. Beberapa buku soal yang
ditulis dalam bahasa Indonesia yang sengaja diterbitkan saat itu sebagai
pegangan para laskar-laskar Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah. Di
antaranya buku Penuntuk Perang Sabil karya M Arsjad Th Lubis. Ulama asal
medan dan buku Ilmu Pertahanan Negara dan Kemiliteran Dalam Islam yang
dikarang oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiy, ulama asal Aceh. Kedua buku itu
terbit pada awal 1946. Isi kedua buku ini sangat mirip dengan ajaran salafy
jihadi yang berkembang puluhan tahun kemudian (Solahudin; 30, 2011).
Dibukunya,
Arsyad Lubis menjelaskan hukum berperang melawan Belanda. Menurutnya hukum
jihad menjadi fardhu ain (kewajiban setiap muslim), ketika musuh memasuki
negeri kaum Muslimin. Menurutnya kewajiban jihad itu tidak hanya untuk warga
setempat saja, namun juga wajib bagi orang-orang yang ada disekelilingnya untuk
membantu sampai musuh bisa terusir. Kalau belum terusir juga, maka wajib bagi
warga muslim yang lebih jauh untuk membantu hingga akhirnya musuh-musuh bisa
terusir. Kewajiban ini mengenai semua orang, tak terkecuali wanita, orang tua
hingga anak-anak. Saat jihad menjadi fardhlu
ain, anak tak perlu ijin orang tua untuk berperang, perempuan tak perlu
ijin suami begitupun orang yang punya utang tidak perlu ijin kepada pemberi
piutang. Nah, belanda dihukumi sebagai kafir harbi yang datang untuk menjajah
negeri muslim yaitu Indonesia. Oleh karena itu hukum berperang melawan Belanda
menjadi fardhlu ain. Karenanya menurut penulis, “siapa saja yang turut
dalam perang tersebut dengan niat yang ikhlas, niat akan meninggikan kalimatullah,
niat menuntut pahala dan keridhoan Allah dan niat membinasakan musuh-musuh
Allah adalah ia berperang itu di dalam sabilillah apabila mati terbunuh,
matinya syahid fi sabilillah, syurga menjadi tempatnya.” (Solahudin; 32,
2011).
Apa yang
ditulis Arsyad Lubis sama persis dengan paham salafy jihadi soal jihad fardhlu
ain. Jihad menjadi kewajiban setiap muslim, ketika orang kafir memasuki
negeri-negeri Islam. Dan kewajiban mengenai setiap muslim, termasuk anak-anak
dan perempuan. Kedua buku juga menjelaskan bahwa larangan untuk membunuh binatang,
membunuh pendeta, wanita, anak-anak dan orang tua dalam kondisi tertentu
menjadi tidak berlaku. Salah satu kondisinya mereka yang dilarang untuk dibunuh
ikut berperang. Perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta yang turut
berperang dan melakukan perlawanan boleh dibunuh. Binatang-binatang yang
dilakukan untuk keperluan perang boleh dibunuh. Selain itu, seandainya
musuh-musuh menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai perisai, maka kita
diizinkan untuk membunuh mereka seandainya bila tidak dilakukan akan
menyebabkan kekalahan. Lebih jauh buku ini juga menjelaskan status orang Islam
yang membela musuh itu boleh diperangi. Lagi-lagi pemahaman ini sama persis
dengan pemahaman dengan kelompok Salafi Jihadi soal jihad teror yang
menganggap bahwa orang-orang yang haram dibunuh saat perang menjadi halal
darahnya, ketika mereka dianggap ikut berperang atau dijadikan tatarus [perisai]
untuk melindungi musuh (Dangel; 32, 2000).
Munculkan
euforia jiha ini seperti ada kesadaran baru yang tumbuh dikalangan umat Islam,
sebelum Indonesia merdeka gagasan ini tak cukup bergema. Padahal jelas yang
dilakukan Belanda sebelum jaman Jepang sama persis seperti yang dilakukan
dimasa revolusi, yaitu menduduki negeri-negeri muslim. Mungkin salah satu
alasan utama umat Islam belum jihad untuk berjihad dikarenakan karena lemahnya
pengetahuan soal militer dan serta minimnya persenjataan. Pasca kemerdekaan,
Indonesia mewarisi banyak persenjataan jepang dan juga orang-orang yang
terlatih kemiliteran cukup banyak. Sebelum merdeka, Kartosuwirjo sendiri
menghindar untuk berbicara soal jihad bi ma’na qital. Menurutnya
menyamakan jihad dengan perang adalah upaya Barat untuk mendiskreditkan Islami.
“Mereka mengatakan jihad itu, ialah perang atau perang sabil atau berbunuh-bunuhan
atau lain-lain yang serupa dan semaksud dengan makna itu, sehingga akhirnya
hanya punya perasaan dan anggapan bahwa agama Islam itu disiarkan dengan
pedang!” padahal menurutnya jihad bermakna lebih luas dari perang dan usaha
sungguh-sungguh dijalan Allah serta perang hanyalah jihad asghor [jihad
kecil], sementara jihad akbar [jihad besar] adalah berperang melawan hawa
nafsu. Namun pandangan Kartosuwirjo ini berubah 180 derajat setelah Indonesia
mereka (Dangel; 30, 2000).
Sejak 1947, ia
ikut terjun memimpin pasukan Hizbullah dari Garut melakkukan perang sabil
melawan Belanda. Saat itu ia sudah menganggap jihad sebagai kewajiban bagi
setiap muslim. Tak tanggung-tanggung ia bersama pasukannya juga menerapkan
prinsip jihad teror terhadap orang-orang yang dianggap musuh. Pada 1948, ia
memerintahkan anak buahnya melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap semua
penghianat agama, negara dan bangsa. Maret 1948, aksi ini dilakukan para
pengikutnya yang tergabung dalam PADI (Pahlawan Darul Islam). Pelaksanaan aksi
ini dijelaskan dalam laporan, “Sejak keluarnya perintah tersebut, maka
tiap-tiap tempat di seluruh priangan, pula diseluruh Jawa sebelah Barat.
Mulailah PADI menjalankan aksinya terhadap penghianat-penghianat yang menjadi
mangsannya. Hama penduduk, kena sasarannya tukang rebab [pasukan khusus PADI],
tidak sedikit bangkai konyol yang berkaparan di tengah jalan begitu pula yang
dihanyutkan di kali-kali, seperti kali Citanduy, Cimanuk dan sungai-sungai
lainnya selalu mengalirkan bangkai-bangkai yang penuh berlumuran darah kena
terkaman mangsanya (Solahudin; 36, 2011).
Dua bulan
kemudian, tepat Mei 1948, ia juga memproklamirkan diri sebagai imam (pemimpin)
Negara baru yang ia beri nama Darul Islam. Inilah pemberontakan daerah pertama
yang terjadi setelah Indonesia merdeka. Pemberontakan ini dilatarbelakangi
ketidak puasan Kartosuwirjo terhadap pemerintah Indonesia yang ditudingnya
dikuasai orang-orang komunis dan sosialis. Lebih-lebih pemerintah baru ini juga
dituding telah menghancurkan negara Indonesia itu sendiri dengan menerima
perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang justru merugikan Indonesia. Salah
satunya yang membuatnya murka adalah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948,
yang salah satu butirnya adalah pemerintahan Indonesia mengakui kedaulatan
Belanda atas Indonesia sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Di
mata Kartosuwirjo dengan disepakatinya perjanjian Renville maka Republik
Indonesia sudah bubar, sehingga dia merasa punya hak untuk mendirikan Negara
baru yang sudah menjadi cita-citanya sejak lama, yaitu Negara Islam Indonesia (Chaedar;
122 1999).
C.
Hari-hari Terakhir Kartosuwirjo
Sejak Mei 1962
Kartosuwirjo sudah tahu bahwa perang yang dikobarkan selama 13 tahun bakal
berakhir dengan kekalahan. Pada 15 Mei 1962, Kartosuwirjo, mendapat laporan
bahwa pasukan-pasukan DI/TII yang tersebar digunung Cakrabuana, gunung Guntur
serta gunung Galunggung telah kocar-kacir. Tak hanya itu ia juga mendengar
kondisi fisik pasukannya kian lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh
beda dengan dirinya. Saat itu sang imam DI ini sedang sakit. Ia menderita
penyakit gula serta kurang gizi. Sembari tergolek lemah. Ia mendapat laporan
dari ajudannya bahwa TNI sudah dekat dengan rombongannya yang berjumlah 46 orang.
Muhammad Darda, Komandan Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah
bertekad akan perang matian-matian kalau musuh datang. “Kalau musuh datang,
kita akan tembak. Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal auy yaqlib
[membunuh atau terbunuh]”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar cucapan anaknya
itu, Kartosuwirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata, ”Kondisi saat ini sudah
tidak memenuhi syarat lagi untuk yuqtal au yaqlib.” Seorang pemimpin
bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur.
Kalau itu tidak ada yuqtal au yaqlib menjadi dzolim karena tidak
memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang
menghadapi. Urusan-urusan lain bira Bapak yang menyelesaikan. Yang penting
kalian taat kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha.” (Chaedar; 98, 1999).
Pada 4 Juni
1962, perjalanan rombongan Kartosuwirjo telah sampai disebuah lembah antara
Gunung Sangkar dan Gunung Geber, di sekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan
deras yang disertai angin kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun
memilih berteduh di tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan
dari bawah bukit. Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung
rombongan sng imam. Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada
disekitar sang imam bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan
berperang sampai mati. Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap
tembak. Ketika pasuka TNI sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati
Kartosuwirjo, tiba-tiba Kartosuwirjo yang sedang dalam keadaan berbaring
berkata. “Jangan menembak, kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal
habis.” Mendengar perintah ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakkan
senjatanya. Mereka keluar sambil angkat tangan. Di luar, mereka disambut oleh
Letda Suhanda yang didampingi dua anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda
kemudian menyalami keduanya sambil bertanya. “Mana Pak Imam?” “itu dia” kata
Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk kedalamnya. Kartosuwirjo pun
tampak dalam keadaan payah dan berbaring dilantai gubug itu dan mengenakan
jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi
dia kelihatan seperti seorang lelaki tua yang lebih dari umurnya (Abas; 92,
2009).
Penangkapan Kartosuwirjo
menandai berakhirnya huru hara politik selama 13 tahun yang mengakibatkan
kerusakan berat pada pembangunan Jawa Barat. Produk pertanian menurun tajam,
pengungsian besar-besaran terjadi, hancurnya infrastruktur di daerah-daerah
pedalaman. Jumlah korban penduduk sipil yang terbunuh, luka dan diculik
mencapai 22.895 jiwa. Sementara kerugian Negara akibat perang mencapai 650 juta
rupiah (Solahudin; 97, 2011).
Kartosuwirjo
dirawat selama dua bulan. Agustus 1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun
dimulai. Tiga kejahatan dituduhkan kepadanya. Pertama, makar untuk
merobohkan Negara Republik Indonesia. Kedua, pemberontakan terhadap
kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh Sukarno. Dalam sidang
yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosuwirjo terbukti bersalah. Pengadilan
menjatuhi hukuman mati. Pada 20 Agustus 1962, Kartosuwirjo mengajukan grasi.
Dalam permohonan grasinya dia menyatakan penyesalan sebesar-besaranha atas
perbuatannya dimasa lalu. Tapi, Sukarno menolak permintaan grasi bekas temannya
itu. (Abas; 92, 2009).
Pada 4
September 1962 Kartosuwirjo meminta diri kepada keluarganya. Esok harinya
dipagi buta 5 september 1962 Kartosuwirjo dibawa regu penembak ke sebuah pulau
di Kepualaun Seribu. Pukul 5.50 pagi tepat, regu tembak melakukan eksekusi
mati. Jenazah Kartosuwirjo pun dikebumikan di pantai pulau tersebut (Abas; 112,
2009).
BAB
III
PENUTUP
Kasus DI/TII
adalah contoh terbaik yang menunjukkan bahwa ajaran yang mirip salafi jihadisme
sudah lahir sejak usia Indonesia masih belia. Dari kasus ini kita juga bisa
belajar bahwa situasi perang menjadi lahan paling subur untuk tumbuhnya
gagasan-gagasan jihad. Hal ini bisa dimengerti karena jihad adalah ajaran suci
yang tentu saja habitat utamanya ada diwilayah perang.
Dalam situasi seperti ini, latar belakang keagamaan menjadi tidak
penting. Baik kelompok tradisionalis maupun modernis bisa dengan segera berubah
menjadi kelompok jihadi. Saat perang revolusi, semua kelompok agama menyerukan
perang sabil melawan belanda. Semuanya sepakat perang melawan Belanda
hukumnya fardhlu ‘ain.
Pada 1962 DI/TII berhasil ditumpas TNI (Tentara Nasional
Indonesia). Kartosuwirjo ditangkap dan dipersidangan dijatuhi hukuman mati atas
kesalahan yang telah diperbuatnya. Kartosuwirjo pun dieksekusi mati pada 5
september 1962 tepat pukul 05.50. Jenazahnya dikebumikan di kepulaian seribu.
Daftar Pustaka :
Anhar, Gonggong, Abdul Qahhar
Mudzakkar, Dari Patriot Hingga Pemberontak, Ombak, Jakarta, 1999.
Abas, Nasir, Memberantas Terorisme,
Grafindo, Jakarta, hlm 90. 2009.
Chedar, Pemikiran Politik
Proklamator Negara Islam Indonesia, Rabbani Pers, Jakarta, 2005.
Dangel, Harbi, Simpatisan DI/NII, Media Dakwah, Jakarta,
2000.
Gunawan, M. Natsir dan Darul Islam, Media Dakwah, Jakarta,
hlm 21, 2000.
Holk Dangel, Darul Islam dan Kartosuwirjo, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1986, hlm 8.
Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam,
Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
Solahudin, NII Sampai JI Salafi Jihadisme di Indonesia, Jakarta,
Komunitas Bambu, 2011
Abas, Nasir, Memberantas
Terorisme, Grafindo, Jakarta, hlm 90. 2009.
0 komentar:
Posting Komentar