USHUL FIQH SETELAH IMAM SYAFI'I
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam,
ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan
Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah
ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman
Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan
beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum
semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode masalah atau metode
qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa
tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika
itu.
Namun lain halnya pada masa imam madzhab, Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum
Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada
kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai
perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam
konsepushul fiqh.
Dari para imam madzhab salah satunya yang sangat
terkenal adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai
sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan
dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas oleh para
pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang
dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat
Islam, tidak cukup ijma’ orang
Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat
saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar
dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan. Gagasan demikianlah yang
kemudian melahirkan madhab Syafi‘i. Salah
satu karya Imam Syafi’i yang sangat fenomenal yaitu al-Risalah, adalah
kitab ushul
fiqh yang pertama
ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para
ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak
dan Pendiri ilmu ushul fiqh.
Sesudah masa Imam Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh
semakin berkembang dan meluas dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu,
karena sistematika yang dipergunakan oleh Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu
Ushul Fiqh dalam kitab Ar Risalah, kitab Jima’ul Ilmi dan
kitab Ibthalul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh merupakan
suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar dan yang
salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan dijadikan
pedoman dalam usaha penggalian hukum-hukum syara’ pada setiap masa. Imam
Syafl’i telah mempergunakan metode ushul fIqh ini untuk mendiskusikan
pendapat-pendapat fuqaha yang berkembang luas pada saat itu. Seperti
pendapat Imam Maliki, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik,
begitu juga terhadap pendapat-pendapat ulama Iraq serta pembahasan dan
kritiknya terhadap kitab Imam Al Auza’i yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf.
Dengan demikian semua pendapat-pendapat fiqh mengikuti kaidah-kaidah ushul fiqh
ini.
Dalam makalah ini akan di
uraikan dengan singkat tentang perkembangan Ushul Fiqh Setelah masanya Imam
Syafi’i dengan rumusan masalah: Sekilas Tentang Imam Syafi’i, Tajdid Ushul Fiqh
Pasca Imam Syafi’i, Sekilas Para Tokoh Ushul Fiqh Setelah Imam Syafi’i, dan
Solusi Alternatif Tajdid.
BAB II
USHUL FIQH SETELAH IMAM SYAFI’I
A.
Sekilas Tentang Imam
Syafi’i
Imam Syafi’i dikenal dengan salah
satu imam madzhab empat, Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As
Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal
dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari
ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah)
dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam
kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya
di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau
diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba
kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota
inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih
intensif.[1]
Saat berusia 9 tahun, beliau telah
menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali
khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun
kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis
pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan
sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau
kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti
kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.[2]
Kecerdasannya inilah yang membuat
dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota
Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena
semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau
mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak
jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun
Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal
sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang
ilmu tersebut, pembelaannya
yang besar
terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah
Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi,
malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan
sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu,
menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya
merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al
Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu
ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal
(penalaran) sebagai dasar hukum islam.[3]
Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat
bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan sesat,
dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan prinsip prinsip Al Quran
dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau selalu memberikan
perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat
pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya bertaklid
buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk bersikap
kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana ungkapan
beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih
baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.[4]
Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al
Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga buku Al Musnad berisi
tentang hadis hadis rasulullah yang dihimpun dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al
hadis.
Imam
Syafi’i dalam menggali hukum-hukum syara’ telah menggunakan metode ushul fiqh secara
konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan demikian, ushul fiqh juga
merupakan landasan bagi mazhab Syafi’i. Hal itu, bukan hanya sekedar untuk
mempertahankan mazhabnya, karena sebelum memproklamirkan mazhabnya di Irak dan
Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya.
Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka
teoritis saja, akan tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.
B.
Tajdid Ushul Fiqh Pasca
Imam Syafi’i
Wacana
rekonstruksi Ushul Fiqih adalah tema yang menarik untuk dikaji. Selain usianya
sudah 13 abad, terhitung sejak Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah,
Ushul Fiqih sebenarnya banyak telah mengalami perubahan mendasar, seperti
metodologi penulisan maupun pembahasan materinya. Urgensi memperbarui ilmu ini
memiliki implikasi terhadap konstelasi hukum Islam dan karena Ushul Fiqih
adalah ilmu ciptaan manusia yang tidak sakral.
Kredo
pembaruan Ushul Fiqih yang diyakini para intelektual Muslim termanifestasikan
dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan
mengutus setiap 100 tahun untuk umat ini orang yang akan memperbarui
(pemahaman) agamanya.” Para ulama setidaknya mengatakan bahwa mujaddid era
pertama dalam Islam adalah Umar bin Khattab, kemudian datang seratus tahun
kedua Imam Syafi’i yang diklaim para ulama menduduki posisi tersebut. Pada abad
20 datang mujaddid kenamaan dari Nejd bernama Muhamad bin Abdul Wahab yang
terkenal dengan purifikasi dalam bidang tauhid. Perlu diketahui bahwa mujadid
yang didatangkan Allah SWT pada seratus tahun sekali tidak hanya terwakili oleh
personal saja, melainkan juga bisa berbentuk dalam sebuah lembaga atau
organisasi.[5]
DR
Yusuf Qardawi mengatakan bahwa ilmu yang muncul dari rahim umat ini sangat
memungkinkan untuk direkonstruksi. Kalau ilmu seperti Fiqih, Tasawuf, dan
Tafsir bisa diperbarui, kenapa ilmu Ushul Fiqih tidak?[6]
Hal
senada juga dikuatkan oleh Dr. Ali Jum’ah Muhamad dalam bukunya, Aliyat
al-Ijtihad, dia mengatakan bahwa alangkah ironisnya bagi orang yang
menguasai Ushul Fiqih dan Fiqih secara bersamaan, akan tetapi dia hanya
mengetahui teori dan sistem pengajaran dan tidak lebih dari itu. Dia juga
mengatakan bahwa Ushul Fiqih harus menjadi problem solver-nya umat ini
dalam memecahkan persoalan kontemporer. Ulama yang pernah mengkritisi Ushul
Fiqih supaya terjadi adanya tinjauan ulang adalah Imam Asnawi. (Kutipan kedua)[7]
Geliat
ide pembaruan memang marak dilakukan oleh para akademisi dalam bidang ini,
salah satunya pembaru Mesir, Refa’at Tahtawi. Meskipun secara umum disematkan
pada pembaruan yang bersifat untuk semua cabang ilmu, namun bukunya yang
berjudul al-Qaulu Sadid fi Tajdid wa Taqlid cukup mencengangkan banyak
kalangan. Belum ditambah tuntutan rekonstruksi di kalangan para dosen
Universitas Kairo pada awal abad ke-20. Tema yang diusung dalam wacana
rekonstruksi memang baru berkisar seputar penulisan ulang sistematika Ushul
Fiqih, karena hal ini akan mempermudah siswa dalam pembelajaran Ushul Fiqih.[8]
Lain
halnya dengan apa yang dilontarkan Hasan Turabi. Menurutnya, Ushul Fiqih saat
ini sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Menurut Hasan Turabi,
Ushul Fiqih klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang
pada saat itu. Tokoh yang satu ini termasuk yang sangat gencar dalam
menyuarakan tajdid Ushul Fiqih. Baginya, Ushul Fiqih harus lebih akomodatif
terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer. Mandeg-nya ruh ijtihad Islam
semakin mengernyitkan dahi para orientalis yang berujung pada kesimpulan
asumtif bahwa ilmu ini tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas problematika
umat terdahulu. Untuk merekonstruksi ilmu Ushul Fiqih demi tercapainya
pembaruan Islam haruslah ada suplemen ilmu-ilmu sosial Barat yang sejatinya
akan merekonstruksi epistemologi Islam dalam Ushul Fiqih.[9]
Wacana
tersebut kemudian dibantah oleh Muhamad Said Ramadhan Buthi yang mengatakan
Ushul Fiqih dan ilmu-ilmu Islam tidaklah muncul sebagai jawaban atas
persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, seperti persoalan ekonomi, politik,
sosial, dan sebagainya. Ilmu Ushul Fiqih lahir secara aksiomatik, dan merupakan
hasil pemahaman para ulama terhadap nash-nash. Muncullah pertanyaan, kalau
permasalahan kontemporer tersebut terus berkembang, apakah Ushul Fiqih juga
harus menyesuaikan? Ilmu ini, menurut Muhamad Said Ramadhan Buthi, sangat sulit
untuk direkonstruksi, terutama jika ditinjau dari segi isinya karena
landasannya sendiri adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Merekonstruksi ilmu ini sama
saja dengan melakukan tahsilul hasil.[10]
Di
antara penyebab maraknya gagasan rekonstruksi Ushul Fiqih, menurut Syeikh Abdul
Fadhil Abdu Salam, adalah bahwa ilmu ini terlihat tidak produktif jika
dihadapkan dengan persoalan baru karena beberapa faktor: pertama, terputusnya
rangkaian kitab mutaakhirin dengan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salaf.
Sehingga menyebabkan tersebarnya kitab-kitab mereka (mutaakhirin) dan harus
memulai pembahasan dari awal. Kedua, menyebarnya taklid buta dan fanatisme
dalam permasalahan Ushul Fiqih itu sendiri. Ketiga, tidak adanya perhatian yang
nyata terhadap ilmu ini dikarenakan perkataan “tertutupnya pintu ijtihad” dan
hal itu menyebabkan kemandulan intelektual dan perasaan yang cepat puas para
pengkaji ilmu Ushul Fiqih. Keempat, terbebasnya pembahasan Usul Fiqih dengan
Fiqih, dan masing-masing ushuliyyun berbeda pandangan terhadap para
Fuqaha, sehingga tersebarlah pameo “tidak setiap ushuli itu faqih” dan “tidak
setiap faqih itu ushuli”, seperti yang terjadi pada Mutakallimin. Kelima, ilmu
Ushul Fiqih pada kenyataannya lebih menguasai hal-hal yang bersifat teoritis
daripada tataran praktis seperti dalam Fiqih. Hal itu sesungguhnya
mengakibatkan ilmu ini mandul dan tidak menghasilkan produk Fiqih, sehingga
menjadi beban bagi para pelajar untuk mendalami ilmu ini. Keenam, terjadi
banyak sekali pengulangan materi dalam Ushul Fiqih sehingga sering kita jumpai
pembahasan yang sama dalam mengambil contoh. Ketujuh, kenyataannya ilmu Ushul
Fiqih adalah ilmu tersulit di antara ilmu-ilmu Islam lainnya, hal ini diakui
sendiri oleh para pakar dan pengajar Ushul Fiqih. Kedelapan, Ushul Fiqih
terlalu bertele-tele dalam membahas permasalahan kalamiyah, juga pembahasan
seperti bahasa yang tidak ada keterkaitannya dengan ilmu ini, sehingga semakin
menyulitkan orang yang belajar Ushul Fiqih. Kesembilan, lemahnya perhatian
terhadap qaidah ushuliyah sehingga sering terjadinya kesalahan dalam menerapkan
qaidah ushuliyah dengan qaidah fiqihiyah.[11]
Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan
meneliti ushul fiqh yang disusun oleh Imam Syafi’i, tetapi setelah periode Imam
Syafi’i, mereka berbeda pandangan, diantara perbedaan pandangan itu adalah sebagai sebagai berikut:
- Diantara mereka ada yang memberikan penjelasan (syarah) terhadap ushul fiqh Imam Syafi’i dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global.
- Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, dan tidak menyetujui bagian yang lain, sambil menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini ialah ulama Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh lmam Syafi’i dengan menambah kaidah lain, yaitu istihsan dan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik, di mana hal ini tentang oleh Imam Syafi’i. Mereka juga menambah istihsan, mashalih mursalah dan adzd zarai’ yang dibatalkan oleh Imam Syafi’i.[12]
Demikianlah
para fuqaha itu menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh yang cocok bagi mereka,
meninggalkan yang tidak cocok dan menambah kaidah-kaidah yang mereka perlukan
yang tidak ada dalam ushul fiqh imam Syafi’i. Barang kali metode ushul fiqh
yang paling dekat dengan ushul fiqh Imam Syafi’i adalah metode ushul fiqh
mazhab Hanafi. Sedang dilihat dari segi jumlah nara sumber dan materi fiqh,
mazhab Hanbali lebih dekat kepada rnadzhab Maliki.
Sebenarnya
para fuqaha dan keempat mazhab itu tidak ada yang menentang dalil-dalil yang
telah ditetapkan Imam Syafi’i, yakni Al Qur’an, Sunnah (Hadits), Ijma’ dan
Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara Imam
Syafi’i dengan ulama mazhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.[13]
Para
fuqaha mazhab Syafi’i telah banyak mensyarah, menjabarkan dan menjelaskan ushul
fiqh. Dengan demikian, makin lama ushul fiqh di kalangan mazhab Syafi’i semakin
hidup dan berkembang, bertambah jelas dan rinci, terutama selama periode
ijtihad. Para ulama di luar mazhab Syafi’i juga memperoleh tambahan penjelasan
terhadap ushul fiqh tersebut.[14]
Meskipun
beberapa ulama telah menutup pintu ijtihad, baik ijtihad secara muthlaq maupun
ijtihad pada dasar-dasar mazhab tertentu, namun hal itu tidak melemahkan ilmu
Ushul Fiqh. Bahkan banyak dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap bab-bab
ushul fiqh, untuk menguji masalah-masalah fiqh yang tidak dietapkan
melalui istinbath dan bertentangan dengan ketetapan-ketetapan
mazhab yang mereka ikuti. Dengan meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh,
orang-orang yang fanatik terhadap mazhabnya akan memperoleh pegangan yang dapat
rnemperkokoh mazhabnya dan meyakinkan mereka cara pengambilan dalil dalam
mazhab tersebut.
Oleh
karena itu, pada masa taqlid, ilmu Ushul Fiqh juga tidak kehilangan nilai
relevansinya karena ia merupakan kaidah yang dijadikan pedoman untuk menguji
beberapa pendapat yang berbeda-beda pada saat terjadi perdebatan, yang
masing-masing pihak mempergunakan ushul fiqh.
Setelah
mazhab-mazhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul fiqh terbagi
menjadi dua aliran yaitu;
- Aliran Teoritis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai mazhab. Aliran teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk menguatkan atau membatalkan praktek-praktek berbagai mazhab.
- Aliran Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legimitasi terhadap hasil-hasil ijtihad terhadap masalah-masalah furu’. Artinya, setiap ulama mazhab berijtihad untuk memberikan legitimasi terhadap masalah-masalah fiqh yang telah ditetapkan oleh ulama mazhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-kaidah yang menguatkan mazhabnya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan, bahwa lafazh yang ‘am itu menunjukkan hukum qath’i(pasti). Dengan demikian mereka menunjukkan secara berulang-ulang lemahnya hadits ahad yang menyalahi dilalah qat’iyah (penunjukan yang pasti), karena hadits ahad itu sifatnya zhanni. Para fuqaha yang memulai menggunakan metode ini adalah ulama mazhab Hanafi, meskipun pada setiap mazhab ada ulama lain yang juga memakainya.[15]
C. Sekilas Para Tokoh Ushul Fiqh Setelah Imam Syafi’i
Setelah
Imam Syafi’i meletakkan dasar ilmu Ushul Fiqh, para ulama yang datang kemudian
berusaha menyarah kitab Risalah. Tercatat, Ibnu Sirij, Abu Bakar Muhamad bin
Abdullah Soirofi, Abi Walid Hasan bin Muhamad Naisaburi, Ibnu Qaththan, Imam
bin Muhamad Ali Qaffal. Setelah itu, muncul dua nama besar yang menurut para
ulama sangat mempengaruhi kitab-kitab Ushul Fiqh dalam segi kepenulisan, yaitu
Qadhi Baqilani al-Asy’ari dan Qadhi Abdul Jabbar Mu’tazili. Al-Baqilani
mempunyai peranan yang sangat besar dalam membangun metodologi Mutakallimin,
salah satu contohnya adalah menentang Mu’tazilah dalam memasukkan doktrin ilmu
kalam, juga perananya menyelisihi dua metode Syafi’i dan Hanafi yang
mengkooptasi ilmu kalam sebagai trandmark--nya.[16]
Abad
ke-5 Ushul Fiqh sempat mulai marak semenjak Imam Haramain al-Juwaini banyak
mengambil faedah dari kitab al-Baqilani yang berjudul at-Taqrib wal Irsyâd.
Al-Juwaini sendiri memiliki tiga karya: Al-Waraqât (disyarah Jalal
al-Mahali, Talkhis), dan al-Burhân (disyarah oleh al-Mazridalam
kitab Fi Kasyfi Idhohil Mahsul min Burhânil Ushûl). [17]
Qadhi
Abdul Jabar mempunyai kitab al-Amd yang disyarah oleh muridnya sendiri,
Abul Husain al-Basri dan melahirkan karya al-Mu’tamad. Kitab Mu’tamad
juga direspon baik oleh Qadhi Abu Ya’la dalam kitabnya, al-’Udah min
al-Mu’tamad. Abu al-Hitab dan Abu al-Wafa’ bin Aqil adalah murid dari Abi
Ya’la yang masing masing mengarang kitab al-Tamhid dan al-Wadhi fî
Ushûl al-Fiqh. Di antara murid Ibnu Aqil yang cukup produktif adalah Ibnu
al-Barhan, pengarang kitab al-Wushul ilal Ushul yang juga menginspirasi
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah untuk mengarang kitab al-Musawadah.[18]
Setelah
era Imam Juwaini, muncullah nama seperti Imam Ghazali yang sedikit banyak
terpengaruh Qadhi Baqilani, Qadhi Abdul Jabar, Abul Husain al-Basri, dan Imam
Juwaini dalam karyanya al-Mustasyfâ. Ibnu Khaldun memuji al-Mustasyfâ
sebagai kitab terbaik yang pernah ditulis dalam Ushul Fiqh di samping al-Burhân
karya Imam Juwaini. Kitab Mustasyfa sendiri diringkas oleh Abu Walid bin Rusyd
(595), cucu dari Ibnu Rusyd, dalam kitabnya, Dharuratu fi Ilmi Ushûl dan
Ibnu Rashiq (632) dalam Lubâbul Mahsûl fil Ilmi Ushûl. Di samping kedua
ulama ini, Ibnu Qudamah mentashihnya dalam Raudhatunnâdhir dan disyarah
oleh Soffiyuddin al-Hanbali dalam Qawâ’idul Ushûl wa Maâqidul Fushûl.
Syamsuddin Ba’lidan muridnya, Tufi, lebih istimewa lagi karena mampu
merangkumnya selama 10 hari dalam matan Ghayatul Itqân. Matan Gayatul
Itqân menjadi bahan rujukan Ala’udin Kanani Asqalani dalam Sawadunnâdhir
wa Siqâqu Raudatunnâdhir.Tidak ketinggalan Ibnu Badran dan Amin Syanqiti
menyarah karangan Tufi dalam Nujhatu Khatir.[19]
Kitab
al-Mustasyfâ karya Ghazali mendapat perhatian besar generasi sesudahnya,
seperti Khatib Bagdhadi dalam karyanya, Faqih wal Mutafaqih, meskipun
isinya juga banyak mengandung pembahasan hadits, namun kaidah Ushuliyah juga
tidak jarang kita jumpai pada kitab ini. Sandaran Bagdhadi dalam Faqih wal
Mutafaqih adalah al-Risalah karya Syafi’i dan Tabshîrah karya
Syairozi yang menjadi cikal bakal munculnya Allumâ’. Selain Khatib
Bagdhadi, generasi ini juga memunculkan nama seperti Sam’ani dalam kitabnya, Qawâtiul
Adilah sebagai tandingan terhadap kitab Taqwimul Adilah milik Abu
Zaid Dabusi. Attankihât milik Syahrawardi juga muncul pada generasi ini.[20]
Imam
Fakhrurazi dan Saifuddin al-Amidi adalah dua nama besar setelah Ghazali,
masing-masing mempunyai karya al-Mahsûl yang karakteristiknya adalah istidlal
dan mu’aradah dan hampir mempunyai manhaj yang berbeda dengan
kitab-kitab sebelumnya. Al-Mahsûl membidani kitab milik Tajuddin Armawi,
al-Hâsil minal Mahsûl dan at-Tahsil minal Mahsûl karangan Sirajuddin
Armawi. Di antara murid Armawi yang mengambil metode gurunya adalah Abdullah
Muhamad bin Abad al-Asfahani, Najmuddin Qaswani, dan Tibrizi. Imam Qarafi
al-Maliki juga mempunyai karangan Nafâisul Ushûl, Tankihkul Fushûl fi
Ihtisaril Mahsûl. Saifudin al-Amidi mempunyai karya terkenal dalam Ushul
Fiqh, di antaranya al-Ihkam fi Usulil Ahkam sebagai telaah dari kitab
Mustasyfâ, Mu’tamad, dan Mahsûl.[21]
Setelah
Amidi dan Fakhrurazi muncullah Ibnu Hajib dengan kitabnya Muntahasûl wal
Amal fi Ilmi Ushûl wa Jadal. Imam Baidhawi yang menyarah al-Hasil
dan Mukshtasar kemudian melahirkan kitab Minhajul Ushul yang
menjadi diktat di berbagai universitas Islam di dunia. Sedangkan yang menyarah
kitab Minhaj milik Baidhawi adalah murid Fakhruddin Jaribridi dalam Siraj
al-Wadaj. Imam al-Asnawi dalam Zawâidul Ushûl ‘ala Minhajil Ushûl
yang menjadi diktat di fakultas syariah Islam al-Azhar. Tajuddin Subhi menyarah
kitab milik Ibnu Hajib yang terbagi dalam dua kitab, Raf’ul Hajib anibni
Hajib dan Ibhaj fi Syarhil Minhâj.[22]
Setelah
al-Subhi datang Imam Badrudin Zakarsyi dengan bukunya yang sangat komprehensif
terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Ushul Fiqh, muridnyalah
sendiri yang melanjutkan estafetnya, yaitu Barmawai dalam kitabnya, Nabdhah
Alfiyah Ushûlil Fiqh dan kitabnya yang berjudul Tahrir. Imam
Syaukani dari San’a, Yaman, melahirkan karya Irsyâdul Fuhul ila Tahqiqil Haq
min Ilmi Ushûl (disyarah oleh Sadiq Hasan Khan yang notabene adalah teman
sendiri dalam kitab Ikhtisharil Irsyâdul Fukhul fi Khusûlil Ma’mul.[23]
Metode
Hanafiyah atau dikenal sebagai metode fuqaha memunculkan nama Isa bin Aban
dalam karyanya, Istbatul Qiyas, Khabarul Wakhid, Ijtihad
ar-Ra’yu, Ishaq Syasi dalam kitab Ushûl Asyâsi, Abu Manshur
al-Maturidi dalam kitabnya, Min Akhdi Syara’i fil Ushûl, Abdullah
Karakhi dalam kitab Risalah fi Ushûl. Adapun kitab yang paling masyhur
di antaranya adalah: Ushul Karakhi karya Abidillah bin khusain
al-Kharahi (340), Ushûl al-Jasas karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Rozi.
Muncul juga kitab Ushûl Bazdawi dan Kanzul Wushul ila Ma’rifatil
Ushul karangan Bazdaw. Abi Zaid Abdullah bin umar al-Dabusi mempunyai
karangan fenomenal yaitu Taqwîmul Adillah yang sempat mendapat pujian
oleh Ibnu Khaldun sebagai kitab terbaik dalam Ushul Fiqh selain mustasyfâ
karangan Ghazali.[24]
Pada
abad ketujuh banyak sekali dijumpai sistem penulisan menggunakan metodologi
akomodatif. Dinamakan akomodatif lantaran sistem kepenulisan kitab-kitab ini
membahas kaidah-kaidah ushuliyah yang ditopang dengan argumentasi logis,
kemudian melakukan studi analisis komparatif. Di antara kitab yang ditulis oleh
para ulama ini seperti: Badi’unnidham al-Jami’ baina Ushulûl Bazdawi wal
Ahkâm karangan Mudfiruddin bin Ali Aaati, Tankhihul Ushûl karangan
Abdullah bin Mas’ud al-Hanafi, Jam’ul Jawami’ karangan Tajuddin bin
Subkhi, dan Taqrir wa Tahbir karangan Muhamad Amirul Haj Halbi. Datang
generasi setelahnya Muhibudin bin Abdussukur dalam kitab Muslim al-Subut,
dan ‘Allamah Abdul Ali bin Nidhamuddin dalam kitabnya Fawatihurrahmah bi
Syarhil Muslim ats-Tsubût.[25]
D. Solusi Alternatif Tajdid
Ada
beberapa tawaran alternatif untuk mengkaji ulang Ushul Fiqih, di antaranya apa
yang ditulis oleh Abdussalam Balaji dan DR Ali Jum’ah Muhamad. Pertama,
menyusun ulang sistem kepenulisan Ushul Fiqih dengan metode yang lebih simple
dan mudah dipahami oleh khalayak umum mengingat ilmu ini salah satu ilmu
terbesar yang pernah dilahirkan oleh umat Islam. Cara ini juga pernah dilakukan
oleh DR Mustofa Syalbi kepada para mahasiswa di berbagai universitas Islam.
Selain menyusun ulang sistem kepenulisannya, rekonstruksi isi materi pun perlu
ditinjau ulang, seperti membuang perdebatan-perdebatan ahli kalam dan membuat
definisi yang mudah dipahami. Unsur lain yang perlu ditambahkan adalah
memasukkan ilmu-ilmu baru yang dianggap sangat penting, seperti maqashid
syariah, qawaid furu’ dan takhrij. Kedua, perlunya memasukkan ilmu lain dalam
Ushul Fiqih semacam ilmu yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan atau lebih
dikenal dengan sosiologi. Ketiga, pembukuan Ushul Fiqih sebaiknya disesuaikan
dengan pembukuan kontemporer dan membuang pembahasan yang tidak ada
sangkut-pautnya terhadap Ushul Fiqih. Keempat, mengembangkan tema yang ada
dalam Ushul Fiqih, seperti ijtihad dan ijma’ dibentuk dalam lembaga yang
bersifat formal, penggunaan metodologi Ushul Fiqih dalam ilmu-ilmu sosial,
menjadikan maqshid syariah sebagai landasan dalam berfatwa, dan mengembangkan
kembali sumber-sumber hukum yang digunakan seperti (adawat, manahij dan
mashadir) dan membingkainya dalam format yang lebih baik.[26]
DR
Sya’ban Muhamad Ismail mempunyai beberapa gagasan mengenai rekonstruksi Ushul
Fiqih yang secara substansi hampir sama seperti apa yang diwacanakan Ali Jum’ah
dan Abdussalam Balaji. Pertama, tajdid berarti pengembangan dan perluasan
terhadap ilmu Ushul Fiqih, serta menyisipkan ilmu yang mendukungnya. Jika
menelisik akar geneologinya, Ushul Fiqih sebenarnya telah sampai pada taraf
itu. Di samping telah menulis kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i juga telah
mengarang kitab Jima’ul Ilmi, Ikhtilaful Hadits, Ibtalul Istihsân,
sebagai perpanjangan tangan dari kitab ar-Risalah.[27]
Kedua,
bentuk lain dari tajdid adalah purifikasi, mentarjih, dan menyeleksi pembahasan
yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Hal ini penting mengingat jarang
sekali ulama-ulama khalaf yang kritis terhadap karya para pendahulunya,
sehingga tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Sampai muncullah Imam Syaukani
(1255) dalam karyanya, Irsyadul Fuhul fi Tahqiqi Ilmi Wusûul, yang
mencoba mengkritisi beberapa kitab kemudian mengatakan, “Jangan sampai ada yang
beranggapan bahwa seluruh kaidah ushuliyah itu semuanya qhat’i yang
tidak boleh tersentuh oleh ijtihad manusia. Dia juga menjelaskan mana saja
masalah yang tidak boleh adanya khilaf dan yang memungkinkan khilaf.[28]
Sejarah
terbentuknya Ushul Fiqih merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam,
mengingat usaha ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari
pengalaman, penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka.
Sikap kita terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil. Kita
mengapresiasikan karya-karya ulama masa lalu, namun tetap kritis terhadap apa
yang mereka bangun, karena semua perkataan boleh diambil dan boleh ditinggalkan
kecuali Rasulullah saw. Pengetahuan dan pembacaan sejarah yang baik tentu akan
mengantarkan pada pemahaman yang baik pula. Mengutip perkataan Rajib Sarjani,
“sejarah Islam adalah mutiara terpendam yang harus dikeluarkan oleh umat ini.” [29]
BAB III
PENUTUP
Imam Syafi’i dalam menggali hukum-hukum syara’ telah menggunakan
metode ushul fiqh secara konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan
demikian, ushul fiqh juga merupakan landasan bagi mazhab Syafi’i. Hal itu,
bukan hanya sekedar untuk mempertahankan mazhabnya, karena sebelum
memproklamirkan mazhabnya di Irak dan Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah
ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut
Imam Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi
sekaligus merupakan ilmu terapan.
Tajdid Ushul Fiqih setelah Imam Syafi’i muncul dari berbagai
kalangan ulama
ushul fiqh. Namun pada
dasarnya para fuqaha dan keempat mazhab itu tidak ada yang menentang
dalil-dalil yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, yakni Al Qur’an, Sunnah
(Hadits), Ijma’ dan Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang
diperselisihkan antara Imam Syafi’i dengan ulama mazhab lain menyangkut
sumber-sumber yang lain.
Setelah Imam Syafi’i
meletakkan dasar ilmu Ushul Fiqh, para ulama yang datang kemudian berusaha
menyarah kitab Risalah.
Sejarah terbentuknya
Ushul Fiqih merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam, mengingat usaha
ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari pengalaman,
penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka. Sikap kita
terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil.
Demikian sedikit sketsa
sejarah munculnya ilmu Ushul Fiqh dan kitab-kitab primer aliran Mutakallimin
dan aliran lain setelah Imam Syafi’i. Karakteristik penulisan metode ini lebih
mengedepankan analisa ataupun rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat perbedaan
maupun persamaan terhadap masalah furu’iyah dan berusaha menghindarkan
kefanatikan terhadap madzhab. Juga menjadi catatan bahwa thariqah Mutakallimin
mempunyai metodologi kajian induktif terhadap nash. Di antara penganut metode
ini Syafi’iyah, Mu’tazilah, dan Malikiyah.
Daftar Pustaka
Abdul, Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo, 2002.
Ahmad
Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Cet. V,
Jakarta: Amzah, 2008.
Bakry,
Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
Firdaus, Ushul Fiqh, Jakarta Timur : Zikrul,
2004.
Imam Syafi’i, Ar-Risalah,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Karim,
Syafi’i, .Fiqih Ushul Fiqih, Bandung
: Pustaka Setia, 2006.
Persada, http://rizkisaputro.blogspot.com
,Sejarah Ushul Fiqh, http:// sejarah perkembangan usul-fiqh.html 6-02-2016.
Syafi’e,
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung :
CV. Pustaka Setia, 2007.
Sirajuddin
Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Cet. XV, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006.
Syaikh Muhammad Syakir, Ar-Risalah Karya Imam
Syafi’i, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
[1] Ahmad Asy-Syurbasi, “Sejarah
dan Biografi 4 Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali”, Cet. V, (Jakarta: Amzah, 2008), 89.
[3] Sirajuddin
Abbas, “Sejarah
dan Keagungan Mazhab Syafi’I”, Cet. XV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
2006). 102
[12] Persada.
http://rizkisaputro.blogspot.com,
”Sejarah Ushul Fiqh”, 2015.
http:// sejarah-perkembangan-usul-fiqh.html. 6/4/2016.
[15] Abdul, “Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan Hukum Islam”, (Jakarta : Raja Grafindo, 2002). 107.
0 komentar:
Posting Komentar