Belajar Menurut Islam
Adapun belajar merupakan aktivitas yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dan juga sebagai pendapat hasil
renungan semata. Walaupun tidak ada ajaran agama yang secara detail membahas
tentang belajar, namun agama juga menganjurkan manusia untuk selalu melakukan
kegiatan belajar. Dalam ajaran agama secara eksplisit maupun implisit telah
menyinggung bahwa belajar adalah aktivitas yang dapat memberikan kebaikan
kepada manusia.[1]
Aktivitas belajar sangat terkait dengan proses
pencarian ilmu. Islam sendiri sangat menekankan terhadap pentingnya ilmu.
Al-Qur’an dan al-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan
ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada
derajat yang tinggi.
Di dalam al-Qur’an kata al-‘ilm dan
kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Beberapa ayat pertama,
diwahyukan kepada rasulullah Saw., menyebutkan pentingnya membaca, pena, dan
ajaran untuk manusia.
1.
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘Alaq/96 :1-5)
Pada ayatke 4 dan ke 5 ini, terdapat ihtibak, yakni membuang
kata yang sama guna mempersingkat redaksi. Kata “manusia” tidak disebut karena
telah disebut pada ayat ke 5, dan pada ayat 5 kalimat “tanpa pena” tidak
disebut, karena pada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya
pena. Dengan demikian kedua ayat di atas dapat berarti “Dia mengajarkan
(manusia) dengan pena/tulisan (hal-hal yang telah diketahui sebelumnya) dan Dia
mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya.”[2]
Dari
uraian di atas, kedua ayat tersebut menjelaskan dua cara Allah Swt., dalam mengajar manusia. Pertama, melalui
pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia. Kedua, melalui pengajaran secara
langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah “Ilmu Laduni”.[3]
Belajar merupakan kewajiban bagi setiap
muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajad kehidupannya
meningkat. Hal ini dinyatakan dalam surah Mujadalah ayat 11 sebagai berikut:
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadalah/58: 11)
Ilmu dalam hal ini tentu saja harus berupa
pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman dan bermanfaat
bagi kehidupan orang banyak.[4]
Dari beberapa uraian di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai
macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Karena belajar adalah dimulai sejak
manusia lahir sampai akhir hayat. Salah satu contoh pada waktu bayi, seorang
bayi menguasai keterampilan-keterampilan yang sederhana, seperti memegang botol
dan mengenal orang-orang di sekelilingnya. Ketika menginjak masa kanak-kanak
dan remaja, sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan berinteraksi sosial dicapai
sebagai kompetensi, dan seterusnya hingga dewasa berbagai keterampilan
dimilikinya sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Islam memberi
suatu makna bahwa belajar bukan hanya sekadar upaya perubahan perilaku, tetapi
belajar juga merupakan konsep yang ideal, karena sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam.
Dalam dunia pendidikan Islam, peserta didik itu
adalah mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh di suatu jalan untuk mencari
ilmu pengetahuan. Hal ini adalah siapa saja yang mengikuti suatu kegiatan
pembelajaran yang di dalamnya ada proses untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Mencari ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh dalam proses pendidikan yang
dilakukan seseorang yang harus mempunyai tujuan yang mulia di sisi Allah Swt.
Berkaitan dengan hal ini, dapat dilihat sebuah hadits yang berbicara tentang
siapa itu peserta didik, yaitu:
حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ
عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ،رواهمسلم
“Menceritakan kepada kami Abu
Muawiyah, dari a’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah
Saw., bersabda: dan siapa pun yang berusaha mencari ilmu, Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga” (H.R. Muslim).[5]
Ungkapan yang menunjukkan peserta didik dalam
hadits ini adalah man salaka thariqan yaltamisu fihi ilman/siapa yang
melalui jalan mencari ilmu yang kalau diperhatikan menggambarkan adanya
orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari ilmu pengetahuan. Hal ini bersifat
umum berlaku untuk semua orang, baik itu anak-anak, remaja, pemuda, orang tua,
laki-laki, maupun perempuan, semuanya termasuk dalam kata “man”. Maka
dari sisnilah dipahami bahwa peserta didik itu adalah siapa saja yang melalui,
menempuh, menjalani sebuah jalan, jenjang/tingkatan untuk mencari, mendapatkan
ilmu, berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kemudian jalan yang ditempuh oleh
peserta didik untuk mencari ilmu itu ada yang formal-informan dan non formal,
seperti di sekolah-sekolah,
di kampus, seminar, majlis ta’lim, rumah, pondok pesantren, dan tempat- tempat lainnya.[6]
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta
didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi muthlak dan dibutuhkan
tercapainya tujuan pembelajaran yang dilangsungkan. Syarat yang dimaksudkan
itu, menurut Burhan al-Islam al-Zarnuzi, seperti dikutip oleh Syahraini Tambak,[7]
terlihat dalam sya’irnya, sebagai berikut artinya:
Ingatlah,
engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan
menjelaskan enam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau motivasi
yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang
(kontiniu).
Kedudukan peserta didik dalam proses
pembelajaran adalah sebagai subjek belajar. Pada dasarnya, peserta didik adalah
unsur penentu dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar,
peserta didik merupakan pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan yang
ingin dicapainya secara optimal. Dalam proses belajar mengajar yang
diperhatikan adalah keadaan dan kemampuan peserta didik, bahan yang diperlukan
serta alat dan fasilitas yang sesuai dengan keadaan peserta didik.
[1] Abdul Mujib, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 108.
[2] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, hlm. 401
[3] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, hlm. 402
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 93-94.
[5] Maktabah Syamilah, Shohih Muslim, Juz 4, hlm
2074.
[6] Syahraini Tambak, Pendidikan Agama Islam; Konsep
Metode Pembelajaran PAI, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 223-224.
[7] Syahraini Tambak, Pendidikan Agama Islam; Konsep
Metode Pembelajaran PAI, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 228.