Pencarian ‘Kebatinan’ Baru
Ketentraman dan kebahagiaan rohani kini
menjadi barang yang mahal.
Upaya mendapatkan kebahagiaan banyak
menjerumuskan manusia pada kebendaan. Kelimpahan materi untuk mencukupi semua
kebutuhan hidup, sekaligus sarana untuk bersenang-senang, menjadikan manusia
sangat bergantung pada
keduniawian semu dan sesaat. Kehidupan bertetangga pun sudah tidak lagi
seerat jaman dulu. Banyak orang tidak saling mengenal, walaupun tinggal
berdekatan dalam satu lingkungan. Masing-masing hidup dalam duniawinya
sendiri-sendiri. Tidaklah bisa dipungkiri, karena kesepian dan
kekosongan jiwa akhirnya mengakibatkan mereka menjadi malas beribadah
atau mencari alternatif lainnya seperti narkoba, alkohol, menonton
film-film hiburan, mengunjungi tempat-tempat keramaian, dsb.
Agama
tidak bisa mencegah runtuhnya adat istiadat ataupun ikatan
kekeluargaan. Bahkan pada banyak kasus, agama
(dan perbedaan agama) justru menjadi sarana runtuhnya adat istiadat dan ikatan
kekeluargaan. Di zaman teknologi dan komunikasi canggih seperti sekarang
ini kenyataannya kita menjadi semakin kesepian, bahkan telah menjalar
sampai kepada masyarakat desa, sehingga mereka pun merasakan kesepian batin. Kehampaan dan kekosongan jiwa
menyebabkan manusia harus mencari pengisi hati di berbagai macam tempat
hiburan, dan tiap weekend dan hari libur mereka ber-bondong-bondong
mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan jiwa. Tetapi kenyataannya
hanya kebahagiaan semu dan sementara sajalah yang mereka dapatkan.
Ketentraman
dan kebahagiaan ada di
dalam hati. Seharusnya itu bisa dimunculkan orang di dalam hatinya dan
bisa diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari dan di dalam hidupnya
berkeluarga. Dengan adanya rasa kebahagiaan itu maka orang akan bisa
merasakan kecukupan, dan ia tidak akan mengorbankan kebahagiaan itu
untuk digantikan dengan "sensasi" kebahagiaan yang tidak akan pernah
dianggap cukup.
Jika
seseorang di dalam hatinya tidak bisa menemukan kebahagiaan, maka
itulah yang terjadi pada orang-orang yang mencari "sensasi" kebahagiaan
dengan sesuatu yang berasal dari luar dirinya. "Sensasi"
kebahagiaan itulah yang cenderung dicari orang, tumpukan kekayaan,
hidup mewah dan bersenang-senang, karir tinggi dan gengsi kebendaan,
keakuan agama dan fanatisme agama, eksklusivisme agama dan kelompok,
pembenaran keakuan diri merasa lebih daripada orang lain, dsb, tidak akan pernah dianggap cukup, tidak ada batas cukupnya.
Ketentraman dan kebahagiaan ada di
dalam hati. Karir bagus, materi berlimpah, bukan jaminan merasa bahagia dan cukup. Kegundahan,
tak punya pegangan hidup dan kekosongan jiwa, banyak dirasakan manusia dewasa
ini, ditambah lagi dengan problematika hidup yang melilit dan membelenggu
jiwa dan pikiran. Itulah yang terjadi kalau manusia hanya mengejar
"sensasi" kebahagiaan, bukan kebahagiaannya itu sendiri yang didapatkan,
tetapi hanya sensasinya saja yang sifatnya sementara.
Harapan menemukan jalan keluar dilakukan dengan berbagai cara untuk
mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan ketenangan batin. Upaya untuk
mendapatkannya
mendorong sebagian orang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan dalam
berbagai komunitas, komunitas olah raga, hobby, komunitas lingkungan,
komunitas agamanya, ada juga
yang menelusuri komunitas-komunitas spiritual lintas agama.
Kecenderungan
manusia sejak dulu adalah keinginannya untuk tidak terbelenggu dalam
ikatan-ikatan. Manusia juga ingin lepas dari sikap fanatis. Banyak yang memilih
hidup dalam pandangan-pandangan yang universal dan lintas agama, lintas suku
dan bangsa. Di Jawa ada aliran-aliran spiritual kebatinan tertentu, yang tidak
berpegang pada ajaran agama tertentu, seperti Aliran Kepercayaan Sumarah, Subud
(Susila Budhi Darma), Sapto Darmo, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), ajaran Manunggaling
Kawula Lan Gusti, dsb. Pada masa sekarang, tak sedikit yang bergabung dengan
komunitas-komunitas seperti komunitas Anand Krisna, Lia Eden, Baha’i, Sai Baba
dan aliran kebatinan spiritual lainnya.
Di
dalam komunitas
lintas agama inilah mereka melakukan berbagai ritual, meditasi dan
kegiatan-kegiatan lain yang menyerupai peribadatan agama tertentu.
Mereka menemukan intisari dari kebijaksanaan hidup. Bahkan mereka
merasakan
adanya persaudaraan di dalam komunitasnya, persaudaraan universal
kemanusiaan,
yang tidak membeda-bedakan ras (bangsa), agama, jenis kelamin, kasta, warna
kulit, atau apapun juga.
Orang-orang
yang mengikuti komunitas tersebut mempunyai latar belakang agama yang
bermacam-macam, seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan sebagainya.
Ajaran-ajaran dalam komunitas tersebut kerap mengatakan bahwa semua agama adalah jalan yang
benar menuju Tuhan. Ajaran mendasar dari konsep ini adalah kebenaran agama yang
universal. Ajaran ini mengajak manusia mempelajari perbandingan agama-agama,
filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dengan
propaganda ”mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia” inilah kemudian
berkembang doktrin ”semua agama sama”, atau
“semua agama benar”, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju
Tuhan yang satu. Gerakan inilah yang kemudian disebut New Age Movement (Gerakan
Era Baru), berusaha memadukan antara nilai-nilai Barat dan Timur, lewat jalan
menggali dan mempelajari apa yang mereka sebut sebagai the ancient wisdom,
kearifan masa lalu. Hingga saat ini, gerakan New Age terus
berkembang di berbagai negara.
Kehadiran
komunitas spiritual kebatinan tentu berbeda dengan agama. Acuan agama bukanlah hasil
pikir dan perenungan manusia, melainkan wahyu. Sedangkan materi kebatinan
merupakan kreasi manusia, yang mengkombinasikan kebijaksanaan dari banyak macam
kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme jaman prasejarah,
ajaran-ajaran dewa dan kepercayaan-kepercayaan kuno, teknik-teknik meditasi,
mistik, tasawuf, filsafat, psikologi, bahkan sampai kultus-kultus individu
terhadap pemimpin atau pendiri pertama aliran-aliran tertentu.
Kebanyakan
aliran kebatinan memang kerap mensitir keterangan agama, tetapi bukan sebagai
patokan dasar, melainkan sebagai cara untuk memperkuat ajaran-ajaran kebatinan.
Atas nama Hak Asasi Manusia dan kebebasan, mereka menggabungkan agama-agama
yang berujung pada pluralisme agama, bahkan menghilangkan semua batasan agama
yang ada.
Pendekatan
kebatinan spiritual seperti ini membuat fungsi terpendam agama,
seperti ketenangan batin dan kebahagiaan, menjadi nyata dan bisa dirasakan oleh
semua anggotanya. Karena itu, semua aktivitas ‘keagamaan’ dan spiritual yang
mereka lakukan dinilai dari bisa atau tidaknya memenuhi fungsi menenangkan
batin, mengisi kekosongan jiwa dan bisa-tidaknya menciptakan kebahagiaan untuk dirasakan oleh para pelakunya.
Kuncinya adalah pada persekutuan hati.
Di dalam rumah ibadah, kebanyakan orang hanya menjalankan rutinitas
peribadatan saja, tidak ada persekutuan hati di antara mereka. Inilah
yang menyebabkan sekalipun seseorang rajin beribadah di rumah ataupun di
dalam rumah ibadah, tetap saja merasakan kekosongan hati. Dan
kekosongan hati tidak bisa dipenuhi hanya dengan rutinitas ibadah dan berbagai macam khotbah
dan dogma / doktrin agama. Harus ada persekutuan hati yang bisa
merekatkan hubungan hati antar sesamanya dan rasa kehangatan yang mengisi hati.
Di dalam perkumpulan kebatinan tersebut sifat
kekeluargaan anggotanya jauh lebih erat daripada di rumah ibadah dan
sifat kebatinannya jauh lebih menonjol dan jauh lebih diutamakan
daripada sifat formalitasnya. Inilah yang mendorong banyak orang
bergabung di dalam perkumpulan kebatinan.
Pihak kebatinan tidak pernah menyerang atau merendahkan pihak agama. Tetapi
banyak manusia di pihak agama memandang sinis terhadap keberadaan
perkumpulan kebatinan, bahkan memusuhinya dan menganggap bahwa kebatinan
itu sebagai agama liar dan sesat. Padahal kedua-duanya mempunyai unsur
yang sama, yaitu percaya kepada Tuhan dan mengajarkan budi
luhur, dan anggota-anggotanya juga beragama. Walaupun ada saja orang yang ikut perkumpulan kebatinan sebagai
"pelarian", tetapi sebagian besar orang di dalam perkumpulan itu
menyadari sepenuhnya bahwa perkumpulan kebatinan itu bukanlah agama dan
mereka pun menjadikan perkumpulan itu hanya sebagai pelengkap kehidupan
kerohanian mereka saja.
Di luar
sikap menghakimi mengenai benar-salahnya atau legal-tidaknya aktivitas
kebatinan seperti tersebut di atas, seyogyanya ini menjadi masukan yang
berharga bagi para pemuka agama dan para penganut agama. Keberadaan agama bukan
untuk ‘memaksa’ manusia untuk memeluk agama dan mengharuskan menjalankan
aturan-aturannya, tetapi juga harus dapat merangkul dan mengayomi mereka yang mencari Tuhan,
mencari kebenaran Tuhan, mencari ketentraman batin, dan mencari pengisi kekosongan jiwa, yang tidak bisa didapat
hanya dengan cara mengikuti rutinitas peribadatan, khotbah dan ajaran-ajaran ‘fanatik’, dogma dan doktrin agama yang mendorong manusia menjadi
'terkotak-kotak' dan 'terbelenggu', apalagi yang sampai melakukan pembenaran atas perbuatan menghakimi dan kekerasan dengan nama
agama. Hubungan manusia dengan Tuhan bersifat pribadi, tidak bisa dipaksakan, apalagi dengan kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar