Komunitas Pecinta Suluk (KUCLUK) - MJM Bersemangat - Abah Eko Wardoyo As-Syadzily - Motivation of Juharuddin Muhammad

Senin, 02 November 2015

PENDEKATAN KONTEKSTUAL ILMU-ILMU KEISLAMAN

3:43:00 PM Posted by M. Juharuddin Mutohar No comments



PENDEKATAN KONTEKSTUAL ILMU-ILMU KEISLAMAN


A.    PENDAHULUAN

Dalam konteks historis, perkembangan pemikiran islam telah memperlihatkan perkembangan yang sangat signifikan, dinamis dan kreatif dalam mengatasi persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai macamnya pendekatan-pendekatan yang muncul dalam memahami
teks-teks ilmu Keislaman, seperti pendekatan Kontekstual, Deskriptif, Intuitif, Normatif dan pendekatan lainnya yang membantu untuk memahami Islam. Dalam pembahasan ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari segi nilai saja, tetapi juga dapat dilihat dan dikaitkan kepada kehidupan sosial. Disinilah letak pentingnya dalam memahami agama. Agama tidak hanya dipahami dari segi keagamaannya saja, namun agama merupakan pergumulan kreatif antara Islam dengan masyarakat, antara hukum-hukum Islam dengan keadaan sosial masyarakat. Oleh karena itu, program pembaharuan pemikiran islam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Masyarakat (Safrudin; 2009: 48).
Pembaharuan merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat sebagai karakter yang dinamis dan tidak tetap, perubahan dari hal yang lama menjadi baru merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Disisi lain, Harun Nasution memaknai pembaharuan sebagai gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ibrahim; 2012: 86).
Salah satu dari pembaharuan tersebut adalah pendekatan kontekstual yang mana pendekatan ini berorientasi kepada situasi atau keadaan yang sebelumnya berasal dari teks. jika pendekatan tekstual tidak menerima perubahan, hal ini berbeda dengan kontekstual yang dapat menerima perubahan dalam pelaksanaan sebuah hukum. Namun seseorang tidak akan mendapatkan suatu kebenaran yang hakiki jika hanya menggunakan pendekatan kontekstual saja, oleh karena itu pendekatan ini juga harus didasari dari tekstual, jadi permasalahan akan dikaji dari tekstual yang kemudian dihubungkan dengan situasi atau keadaan yang mana keadaan tersebut hendak dimaknai dengan pendekatan kontekstual, maka jadilah sebuah hukum yang sesuai dengan moral ideal nash.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, pemakalah akan mengulas sedikit tentang pembaharuan dalam memahami teks-teks Islam dalam ranah pembahasan “Pendekatan Kontekstual dalam ilmu-ilmu Keislaman.”

B.     KONTEKSTUAL DALAM STUDI ISLAM
Kontekstual berasal dari bahasa Inggris yaitu context yang diindonesiakan dengan kata ”konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini setidaknya memiliki dua arti, Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, dan Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian (KBBI; 2010: 290). Adapun secara istilah Noeng Muhadjir menegaskan bahwa kata kontekstual setidaknya memiliki tiga pengertian : 1) Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional, 2) Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masakini, dan masa mendatang atau memaknai kata dari segi historis, fungsional, serta prediksinya yang dianggap relevan, 3) Mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan terapannya. Dengan demikian pendekatan kontekstual dapat diartikan suatu pendekatan yang digunakan memahami wahyu yang kemudian dihubungkan dengan konteksnya. Dengan kata lain, istilah“kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah (literatur), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya (Safrudin; 2009: 48).
Jadi, kontekstual adalah memahami Islam dengan menghubungkan teks-teks Islam dengan keadaan sosial. Pendekatan Islam secara kontekstual berarti memahami Islam sesuai dengan keadaan, dalam hal ini tentu saja keadaan akan selalu berubah, keadaan dulu dengan sekarang pasti memiliki perbedaan, maka dari itu pendekatan kontekstual ini muncul untuk menyesuaikan keadaan-keadaan. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam menurut Fazlur Rahman, paling tidak dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal spesifiknya dan moral idealnya, dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah, Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun. Kedua, memahami lingkungan baru yang padanya, teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya. Ketiga, jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial dari pada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya,diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya (Ibrahim; 2012: 56).
Fazlur Rahman mengemukakan sebuah teori yang berhubungan dengan pendekatan kontekstual dalam rangka memahami Al Quran yaitu gerakan ganda (Doble Movement) yaitu;
1.         Dari situasi kini kepada situasi pewahyuan.
Dalam gerakan kembali kepada konteks Al Quran sewaktu diturunkan, ada dua langkah yang diperlukan. Yang pertama penafsir harus memahami makna sebenarnya sesuatu ayat dengan mengkaji latar belakang sejarah atau persoalan yang menyentuh sebab-sebab turunnya ayat. Dalam hal ini kajian umum terhadap situasi makro kehidupan sosial arab menjelang dan sekitar penurunan wahyu harus dilaksanakan. Kedua, penafsir harus memahami prinsip-prinsip dasar dari ayat-ayat yang menyentuh persoalan khusus itu, dalam arti kata tujuan sosio-moral di balik setiap ayat.
2.      Dari konteks pewahyuan kepada konteks kekinian
Dengan prinsip-prinsip dasar yang digarap dari ayat spesifik itu, sang penafsir haruslah memaknai ayat-ayat itu kembali dan mengaplikasikannya pada konteks dan situasi sosial masa kini, langkah ini juga memiliki penelitian secukupnya akan kondisi masakini supaya prinsip-prinsip Al Quran dapat diterapkan sesuai dengan keperluan masyarakat (Ibrahim; 2012: 56).

Dengan pergerakan ganda seperti ini di dalam penafsiran teks, tentu keuniversal-an Al Quran sebagai pedoman umat islam akan tetap terjaga dan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi. Sebagai contoh teori ini adalah masalah waris, Fazlur Rahman menafsirkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang dalam pembagiannya 2:1 diinterpretasikan menjadi 1:1, berdasarkan teori doblemovement-nya dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran. Menurutnya, bagian waris yang diterima oleh anak perempuan sama dengan yang diterima saudara laki-lakinya (1:1), hal ini dikarenakan kondisi perempuan telah mengalami perubahan, Fazlur Rahman sendiri menilai bahwa peran masyarakat tidak ada yang inherent dan pasti mengalami perubahan. Maka jika rasa dan pertimbangan keadilan menghendakinya, perubahan atas peran tersebut sudah barang tentu tidak bertentangan dengan prinsip moral dalam Al Quran. Demikian pula mengenai bagian suami dan istri (Muttaqin; 2013: 6).
Di antara perubahan tersebut adalah wanita di zaman sekarang sudah banyak yang bekerja sebagai wanita karir, bahkan ada disebagian tempat yang bekerja untuk memenuhi keperluan hidup bukan seorang suami tetapi istri.
Namun jika kewarisan ini dilihat dari segi tekstual, penyamarataan seperti ini tidak diperbolehkan dan sudah menyalahi nash, karena Al Quran sudah menegaskan pembagian waris untuk laki-laki dan perempuan 2:1. Halini disebabkan berbedanya pandangan antara dua pendekatan tersebut, jika kontekstual memaknai dari segi sosio-historisnya maka tekstual dimaknai dari sisi kebahasaan dalam memahami Al Quran, pendekatan ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada ketelitian redaksi dan teks ayat Al Quran (Zenrif; 2008: 51).
Dapat disimpulkan, tekstual dan kontekstual diatas memiliki relasi dalam memahami Al Quran. Pertama, keduanya sama-sama mengkaji teks teks Islam. Kedua, lebih bagus jika tekstual yang menekankan dari segi kebahasaan didukung dengan kontekstual yang berorientasi dengan situasi dan kondisi, sehingga Al Quran tetap terjaga ke-universal-annya, dan ini telah diungkapkan oleh Alfianoor dengan mengatakan; sah-sah saja jika dalam membagikan harta waris dilakukan penyamarataan antara laki-laki dan perempuan, namun alangkah lebih bagusnya dilakukan sesuai teks Al Quran terlebih dahulu 2:1, kemudian dikumpulkan ulang hasil pembagian tersebutdan dibagi rata 1:1. Ringkasnya, kontekstual dapat menjadi pendukung dari tekstual. Ketiga, pendekatan kontekstual merupakan pengembangan pemahaman dari tekstual. Seperti permasalahan waris yang secara tekstualnya/nash atau secara bahasa merupakan 2:1, maka pengembangannya disesuaikan dengan kondisi, kenapa Allah menurunkan Al Quran tentang waris2:1? bagaimana keadaan pada masa tersebut? serta melakukan perbandingan antara kondisi diturunkannya ayat dengan masa sekarang sehingga menjadi 1:1. Orientasi tekstual teks-teks islam (seperti waris) dipahami dari segi luarnya (kebahasaan), dan kontekstual dari kandungannya (Maqasidassyariah). Jika memungkinkan, akan lebih bagus menggabungkan keduanya, dengan cara memahami teks-teks islam dari segi luar dan dalamnya/kadungannya (Amuntai; 2008: 6).
Dengan memahami hubungan tersebut diharapkan dapat memahami Al Quran secara mendalam dan sesuai dengan ajaran agama Islam serta tidak keluar dari moral ideal nash.

C.  HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Dalam teori hukum disebutkan bahwa setiap hukum lahir pasti kontekstual. Namun demikian ketika sebuah hukum ditetapkan, maka ketika itu hukum menjadi konservatif. Ia akan ketiggalan zaman, karena perkembangan sosial yang berhubungan dengan hukum bergerak dinamis. Perkembangan dunia akan semakin maju seiring dengan perkembangan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang sangat besar, termasuk persoalan hukum. Persoalan yang didalamnya terdapat dalil Qath’i dari Al Quran dan Al Hadis memang tidak akan menimbulkan masalah, namun berbeda dengan persoalan-persoalan yang belum jelas status hukumnya. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa : persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak
terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (Al Quran dan Al Hadis) jumlahnya terbatas. Oleh karena itu mustahil sesuatu yang terbatas menghadapi sesuatu yang tidak terbatas (Ibn Rusyd; 1999: 2).
Dengan demikian harus dilakukannya ijtihad dalam penentuan sebuah hukum. Menurut hasil seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta awal Desember 1994 disebutkan; agama dalam pengertiannya sebagai wahyu tuhan tidak berubah, tetapi pikiran manusia tentang ajarannya, terutama hubungannya dalam penerapan di tengah-tengah masyarakat mungkin berubah, maka perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan tekstual tetapi kontekstual (Ridwan; 2000: 20).
Sebagai contoh; dialog Rasulullah dengan Muadz bin jabal yangmenyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapat ketentuan hukum dalam Al Quran dan Al Hadits dari suatu kasus hukum. Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam Al Quran dan Al Hadits menurut Amir Syarifuddin dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.    Al Quran dan Al Hadits secara jelas dan langsung, tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhannya dan tidak juga sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi AlQuran dalam satu mushaf.
2.    Secara jelas Al Quran dan Al Hadits memang tidak menyinggung hukum suatu kasus. Namun secara tidak langsung ada penjelasannya. Contoh. Hukum memukul kepala orang tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam Al Quran, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar terhadap orang tua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup, tidak ada ketentuan nashnya secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan Al Quran dan Al Hadits maka diperlukan upaya ijtihad (Ridwan; 2000: 43). Oleh karena itu suatu pendekatan dalam memahami Al Quran sangat diperlukan agar keuniversal-annya tetap terjaga.

D.    PENALARAN SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM
Semua ketentuan Allah tentunya mempunyai maksud dan tujuan serta hikmah di dalamnya, secara umum tujuan dari hukum yang sudah Allah ciptakan adalah untuk kemaslahatan ummat. Pada peristiwa perang dengan Bani Quraidhah, Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya ke daerah Quraidhah, sebelum berangkat, Rasulullah berpesan agar tidak melakukan shalat ashar kecuali apabila sudah sampai di tempat tujuan. Sebelum mereka sampai ke tempat tujuan, waktu ashar hampir habis dan diperkirakan perjalanan baru sampai ke tempat tujuan pada malam hari, dalam kondisi ini para sahabat berpendapat menjadi dua kelompok. Kelompok pertama; melaksanakan shalat ashar dengan alasan bahwa sesungguhnya bukan maksud Rasulullah memerintahkan untuk menangguhkan shalat ashar, tetapi tujuan Rasul adalah agar cepat sampai ke tempat tujuan sebelum waktu shalat ashar habis. Sementara kelompok sahabat yang kedua; tidak mengerjakan shalat ashar pada waktunya dan mengerjakan shalat setelah sampai di tempat tujuan yaitu malam hari. Ketika kasus ini dilaporkan kepada Rasulullah beliau hanya diam saja. Para sahabat menganggap diamnya Rasul sebagai persetujuan dari tindakan dua kelompok sahabat tersebut (Ridwan; 1999: 47-48).
Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ikhtilaf dikalangan sahabat merupakan hal biasa. Sementara teks tersebut dapat dipahami, bahwa satu kelompok berpegang pada teks dan satunya lagi berpegang pada kandungan teks dengan memahami pesan moral yang terkandung di dalamnya (maqasidat tasyri). Dengan mengedepankan mashlahat sebagai dasar illat hukum dengan kerangka metode istinbath hukum, pada akhirnya menempatkan fiqih sebagai produk pemikiran yang inklusif, yaitu produk pemikiran fiqih yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan terget hukum legal formal yang jauh dari tuntunan realitas kemanusiaan.

E.     BATASAN KAJIAN KONTEKSTUAL
Ada dua batasan dalam rangka kontekstualisasi teks-teks Islam.Pertama, Untuk bidang ibadah murni ('ibadah mahdlah) dan aqidah, tidak ada kontekstualisasi. Secara umum mahdahah dapat diartikan memenuhi tuntutan yang diminta (Sa’ad; 2014: 23), seperti kewajiban melaksanakan sholat. Maka dengan kewajiban tersebut seluruh muslim wajib melaksanakan perintah tersebut dan tidak bisa dirubah. Hal ini memiliki arti bahwa, penambahan maupun pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid'ah, khurafat, dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Kedua, untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya. Moral ideal nash tidak akan mengalami perubahan, sedangkan legal spesifik (pelaksanaan yang disesuaikan dengan situasi) akan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berjalan. Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya serta terletak pada moral ideal bidang di luar keduanya (Ibrahim; 2010: 59). Kontekstualisasi hanya boleh dilakukan berkaitan dengan lima hal.
1.      Dalam aspek teknik, sepanjang teknik dimaksud bukan bagian dari ibadah itu sendiri. Sekedar contoh adalah kontekstualisasi syahadatul hilal dengan menggunakan ilmu falak; sebagai alternatif lain dari teknik ru`yatul hilal. Demikian pula penggunaan sound system untuk keperluan teknik pelaksanaan khuthbah, adalah termasuk kontekstualisasi teks-teks hadits tentang khuthbah Rasulullah SAW. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan sikat gigi sebagai alternatif dari siwak, penentuan waktu shalat dengan jam, bukan dengan melihat matahari.
2.      Kepentingan substitusi, seperti zakat fitrah dengan beras di Indonesia, sebagai Pengganti kurma atau gandum seperti ketentuan hadits.
3.      Kepentingan pengembangan karena tuntutan kondisi obyektif, misalnya membagikan daging kurban dalam bentuk telah diolah atau telah matang, walaupun hal ini berbeda dengan tuntunan hadits yang ada.
4.      Penghindaran terhadap ketimpangan pelaksanaan suatu ibadah terkait dengan konteks tertentu, seperti ketentuan nisab komoditas pertanian (750 kg) di Indonesia dengan kewajiban zakat 5 sampai10 persen, terasa adanya ketidak adilan dibanding dengan nisab dan persentase zakat yang lain.
5.      Pemahaman terhadap ibadah sesuai dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat. Berdasarkan hal di atas, dapat dirumuskan kaidah-kaidah kontekstualisasi hadits dalam bidang ibadah. (1). Jika suatu teknik bukan merupakan bagian dari ibadah, maka kontekstualisasi dapat dilakukan bagi kepentingan efektifitas. (2). Jika tekstualisasi diterapkan, ternyata tidak dapat mencapai tujuan,maka kontekstualisasi dapat dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut. (3). Jika kontekstualisasi lebih menghasilkan tujuan suatu ibadah daripada tekstualisasi, maka kontekstualisasi dapat dilakukan. (4). Jika dapat dipahami hal-hal yang berkaitan dengan ibadah merupakan urusan keduniawian, maka kontekstualisasi dapat dilakukan. (5). Untuk kepentingan kedalaman pemahaman suatu ibadah,kontekstualisasi legitimatis dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dapat dilakukan (Ibrahim; 2010: 62-64).

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu menjadi niscaya, sekaligus absah.
1.    Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi SAW. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural. Sangat niscaya bahwa kultur itu sangat berhubungan dengan kehadiran nash-nash, yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal. Pranata dhihar misalnya, ada yang memiliki ungkapan bahwa, anti ’ala kadhihr ummiy (bagiku engkau bak punggung ibuku). Kasus ini, sebagai sebuah pranata adalah sangat bertipikal Arab.
2.    Nabi SAW. sendiri dalam beberapa kasus, telah memberikan hukum secara berlawanan satu sama lain, atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda. Misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan. Secara redaksional, hadits ini berbunyi, “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Muhammad bin al-Mutsanna, - sedangkan lafadznya miliki Abu Bakar dan Ibnu Numair – mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abu Sinan – ia adalah Dhirar bin Murrah – dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari bapaknya, ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah…’” Hadits ini tertuang dalam buku Shahih Muslim (Hadits Nomor 1623).
3.    Di masa Umar bin Khaththab, talak tiga sekali ucap yang asalnya jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cermin adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam (Ibrahim; 2010: 62-64).
4.    Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d'tre kehadiran Islam itu sendiri.
5.    Pemahaman secara membabi buta terhadap nash secara tekstual, berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman, yang justru diintrodusir oleh nash sendiri.
6.    Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash, berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan, ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.
7.    Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia, lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual, dibanding secara tekstual, yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri, Dalam hal ini, Rasyid Ridla (1865- 1935) mengungkapkan hal yang fenomenal bahwa, al-Islam dîn alaqli wa al-fikri (Islam itu agama rasional dan intelektual).
8.    Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, mengandung makna bahwa, masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif dan optimistis oleh Islam. Hal ini dibuktikan dengan sikap khasnya, yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan). Dalam suatu kaidah disebutkan bahwa al-’âdah muhakkamah (tradisi itu dipandang legal).
9.    Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu, memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus.
10.     Kebanyakan hukum yang ditentukan pada awalnya bersifat kontekstual, hal ini dapat dilihat bahwa sebuah hukum yang Allah tetapkan dalam Al Quran memiliki Asbabun Nuzul, ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan keadaan pada masa itu (Taib; 2007: 28).

F.      METODE PENAFSIRAN KONTEKSTUAL
Adapun metode dalam penafsiran kontekstual adalah :
     1.      Menguasai dengan baik sejarah manusia terutama sejarah orang-orang Arab pra-Islam, baik secara bahasa, sosial, politik, dan ekonomi sebagai modal awal proses penafsiran kontekstual. Sebab selain al-Qur`an tidak diturunkan dalam ruang hampa, di dalamnya juga terdapat banyak informasi tentang mereka.
     2.      Menguasai secara menyeluruh seluk-beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sebagai sasaran utama turunnya al-Qur`an dari awal turunnya ayat pertama hingga ayat terakhir, bahkan hingga Rasulullah saw. wafat. Sebab tidak semua ayat al-Qur`an memiliki sabab al-nuzūl sehingga bila hanya mengandalkan asbāb al-nuzūl, maka penafsiran akan kurang sempurna. Oleh karenanya, penguasaan terhadap seluk beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sangat mendesak yang sangat diharapkan bisa membantu proses penafsiran kontekstual.
     3.      Menyusun ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan kronologi turunnya, memperhatikan korelasi sawābiq dan lawāhiq ayat, mencermati struktur lingustik ayat dan perkembangan penggunaannya dari masa ke masa, dan berusaha menggali kandungan inter-teks dan extra-teks secara komprehensif.
     4.      Mencermati penafsiran para tokoh besar awal Islam secara seksama dan konteks sosio-historinya, terutama yang secara lahir bertentangan dengan al-Qur`an, tetapi bila diperhatikan ternyata sesuai dengan tuntutan sosial yang ada pada waktu itu dan tetap berada dalam spirit al-Qur`an.
    5.      Mencermati semua karya-karya tafsir yang ada dan memperhatikan konteks sosio-historis para penafsirnya. Sebab bagaimanapun juga, para penafsir mempunyai sisi-sisi kehidupan yang berbeda satu sama lain dan turut memengaruhi penafsirannya.
      6.      Menguasai seluk-beluk kehidupan manusia di mana al-Qur`an hendak ditafsirkan secara kontekstual dan perbedaan serta persamaannya dengan masa-masa sebelumnya, terutama pada masa awal Islam (sanadthkhusus;2011: 17).
Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan bahwa pendekatan kontekstual tidak keluar dari moral ideal nash dan sesuai dengan ajaran islam.

G.    PENUTUP
Berdasarkan paparan-paparan di atas bahwa pemahaman kontekstual dalam teks-teks islam akan berkembang mengikuti perkembangan zaman, namun yang perlu diperhatikan adalah memahami agama secara konteks bukan berarti meninggalkan teksnya. Dalam artian keduanya memiliki sebuah relasi, yaitu ; kontekstual merupakan sebagai pendukung tekstual dalam memahami agama, karena keduanya tidak akan dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Sehingga apabila keduanya diterapkan secara berdampingan dalam sebuah kasus atau hukum, maka hukum tersebut tidak akan keluar dari jalur yang telah ditentukan Islam dan akan berjalan selaras dengan apa yang dimaksudkan oleh ajaran agama Islam dan dengan pendekatan kontekstual tidak mengherankan jika Al Quran sebagai pedoman ummat islam bersifat universal.



DAFTAR PUSTAKA


http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/07/metodologi-tafsir-kontektual.html, di akses pada
tanggal 10 Oktober 20115.

Taib, Mohamed, Fazlur Rahman 1919-1998 Perintis Tafsir Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2007.

Zenrif, Sintesis paradigma Studi Al-Qur’an, (UIN- Malang Press, 2008).

Safrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Rusyd, Ibnu, Bidayat Al Mujtahid Wa Nihayat Al Muuqtashid, Indonesia : Daar Al Kutub Al Arabiyyah.

Ridwan, Islam Kontekstual Pertautan Diakletis Teks Dengan Konteks, Yogyakarta :Grafindo Litera Media, cetakan pertama 2000.

Saad, Ibrahim, Menyaring Dimensi Tasyri’ Hadits (Jurnal Online Metodologi Tarjih Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1, 2012 (PSIF-UMM).

Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Digital.

0 komentar:

Posting Komentar