PENDEKATAN KONTEKSTUAL ILMU-ILMU
KEISLAMAN
A.
PENDAHULUAN
Dalam konteks historis, perkembangan pemikiran islam telah memperlihatkan
perkembangan yang sangat signifikan, dinamis dan kreatif dalam mengatasi
persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai macamnya
pendekatan-pendekatan yang muncul dalam memahami
teks-teks ilmu Keislaman, seperti pendekatan Kontekstual, Deskriptif,
Intuitif, Normatif dan pendekatan lainnya yang membantu untuk memahami Islam. Dalam
pembahasan ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari segi nilai saja,
tetapi juga dapat dilihat dan dikaitkan kepada kehidupan sosial. Disinilah
letak pentingnya dalam memahami agama. Agama tidak hanya dipahami dari segi
keagamaannya saja, namun agama merupakan pergumulan kreatif antara Islam dengan
masyarakat, antara hukum-hukum Islam dengan keadaan sosial masyarakat. Oleh
karena itu, program pembaharuan pemikiran islam tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan Masyarakat (Safrudin; 2009: 48).
Pembaharuan merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat
sebagai karakter yang dinamis dan tidak tetap, perubahan dari hal yang lama
menjadi baru merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Disisi lain, Harun
Nasution memaknai pembaharuan sebagai gerakan untuk menyesuaikan paham-paham
keagamaan islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Ibrahim; 2012: 86).
Salah satu dari pembaharuan tersebut adalah pendekatan kontekstual yang
mana pendekatan ini berorientasi kepada situasi atau keadaan yang sebelumnya
berasal dari teks. jika pendekatan tekstual tidak menerima perubahan, hal ini
berbeda dengan kontekstual yang dapat menerima perubahan dalam pelaksanaan
sebuah hukum. Namun seseorang tidak akan mendapatkan suatu kebenaran yang hakiki
jika hanya menggunakan pendekatan kontekstual saja, oleh karena itu pendekatan
ini juga harus didasari dari tekstual, jadi permasalahan akan dikaji dari
tekstual yang kemudian dihubungkan dengan situasi atau keadaan yang mana
keadaan tersebut hendak dimaknai dengan pendekatan kontekstual, maka jadilah sebuah
hukum yang sesuai dengan moral ideal nash.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, pemakalah akan mengulas sedikit
tentang pembaharuan dalam memahami teks-teks Islam dalam ranah pembahasan “Pendekatan
Kontekstual dalam ilmu-ilmu Keislaman.”
B.
KONTEKSTUAL DALAM STUDI
ISLAM
Kontekstual berasal dari bahasa Inggris yaitu context yang
diindonesiakan dengan kata ”konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata ini setidaknya memiliki dua arti, Bagian suatu uraian atau kalimat yang
dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, dan Situasi yang ada hubungannya
dengan suatu kejadian (KBBI; 2010: 290). Adapun secara istilah Noeng Muhadjir
menegaskan bahwa kata kontekstual setidaknya memiliki tiga pengertian : 1)
Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya
mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional, 2) Pemaknaan
yang melihat keterkaitan masa lalu, masakini, dan masa mendatang atau memaknai
kata dari segi historis, fungsional, serta prediksinya yang dianggap relevan,
3) Mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan terapannya. Dengan
demikian pendekatan kontekstual dapat diartikan suatu pendekatan yang digunakan
memahami wahyu yang kemudian dihubungkan dengan konteksnya. Dengan kata lain,
istilah“kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan
yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna
teks secara lahiriyah (literatur), tetapi juga melibatkan dimensi
sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas
penafsirannya (Safrudin; 2009: 48).
Jadi, kontekstual adalah memahami Islam dengan menghubungkan
teks-teks Islam dengan keadaan sosial. Pendekatan Islam secara kontekstual
berarti memahami Islam sesuai dengan keadaan, dalam hal ini tentu saja keadaan
akan selalu berubah, keadaan dulu dengan sekarang pasti memiliki perbedaan,
maka dari itu pendekatan kontekstual ini muncul untuk menyesuaikan
keadaan-keadaan. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam menurut Fazlur
Rahman, paling tidak dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memahami
teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal
spesifiknya dan moral idealnya, dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan
awalnya yaitu Makkah, Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut
turun. Kedua, memahami lingkungan baru yang padanya, teks-teks Islam
akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan
perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya. Ketiga, jika ternyata
perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial dari pada
persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks
tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral
idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya,diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa
diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya (Ibrahim; 2012:
56).
Fazlur
Rahman mengemukakan sebuah teori yang berhubungan dengan pendekatan kontekstual
dalam rangka memahami Al Quran yaitu gerakan ganda (Doble Movement) yaitu;
1.
Dari situasi kini
kepada situasi pewahyuan.
Dalam gerakan kembali kepada konteks Al Quran
sewaktu diturunkan, ada dua langkah yang diperlukan. Yang pertama penafsir harus memahami makna sebenarnya sesuatu ayat
dengan mengkaji latar belakang
sejarah atau persoalan yang menyentuh sebab-sebab turunnya ayat. Dalam hal ini kajian umum terhadap
situasi makro kehidupan sosial arab menjelang dan sekitar penurunan wahyu harus
dilaksanakan. Kedua, penafsir harus memahami prinsip-prinsip dasar
dari ayat-ayat yang menyentuh persoalan khusus itu, dalam arti kata tujuan
sosio-moral di balik setiap ayat.
2. Dari
konteks pewahyuan kepada konteks kekinian
Dengan prinsip-prinsip dasar yang digarap dari ayat
spesifik itu, sang penafsir haruslah memaknai ayat-ayat itu kembali dan mengaplikasikannya
pada konteks dan situasi sosial masa kini, langkah ini juga memiliki penelitian
secukupnya akan kondisi masakini supaya prinsip-prinsip Al Quran dapat
diterapkan sesuai dengan keperluan masyarakat (Ibrahim; 2012: 56).
Dengan pergerakan
ganda seperti ini di dalam penafsiran teks, tentu keuniversal-an Al Quran
sebagai pedoman umat islam akan tetap terjaga dan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi.
Sebagai contoh teori ini adalah masalah waris, Fazlur
Rahman
menafsirkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
yang dalam pembagiannya
2:1 diinterpretasikan menjadi 1:1, berdasarkan teori doblemovement-nya
dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran. Menurutnya, bagian waris yang diterima
oleh anak perempuan sama dengan yang diterima saudara laki-lakinya (1:1), hal
ini dikarenakan kondisi perempuan telah mengalami perubahan, Fazlur Rahman
sendiri menilai bahwa peran masyarakat tidak ada yang inherent dan pasti
mengalami perubahan. Maka jika rasa dan pertimbangan
keadilan menghendakinya, perubahan atas peran tersebut sudah barang tentu tidak
bertentangan dengan prinsip moral dalam Al Quran. Demikian pula mengenai bagian
suami dan istri (Muttaqin; 2013:
6).
Di antara perubahan
tersebut adalah wanita di zaman sekarang sudah banyak yang bekerja sebagai wanita
karir, bahkan ada disebagian tempat yang bekerja untuk memenuhi keperluan hidup
bukan seorang suami tetapi istri.
Namun jika kewarisan
ini dilihat dari segi tekstual, penyamarataan seperti ini tidak diperbolehkan
dan sudah menyalahi nash, karena Al Quran sudah menegaskan pembagian waris
untuk laki-laki dan perempuan 2:1. Halini disebabkan berbedanya pandangan
antara dua pendekatan tersebut, jika kontekstual memaknai dari segi
sosio-historisnya maka tekstual dimaknai dari sisi kebahasaan dalam memahami Al
Quran, pendekatan ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada ketelitian
redaksi dan teks ayat Al Quran (Zenrif; 2008: 51).
Dapat disimpulkan, tekstual dan
kontekstual diatas memiliki relasi dalam memahami Al Quran. Pertama, keduanya sama-sama mengkaji
teks teks Islam.
Kedua, lebih bagus jika tekstual yang
menekankan dari segi kebahasaan didukung dengan kontekstual yang berorientasi dengan
situasi dan kondisi, sehingga Al Quran tetap terjaga ke-universal-annya, dan
ini telah diungkapkan oleh Alfianoor dengan mengatakan; sah-sah saja jika dalam
membagikan harta waris dilakukan penyamarataan antara laki-laki dan perempuan,
namun alangkah lebih bagusnya dilakukan sesuai teks Al Quran terlebih dahulu
2:1, kemudian dikumpulkan ulang hasil pembagian tersebutdan dibagi rata 1:1.
Ringkasnya, kontekstual dapat menjadi pendukung dari tekstual. Ketiga,
pendekatan kontekstual merupakan pengembangan pemahaman dari tekstual. Seperti
permasalahan waris yang secara tekstualnya/nash atau secara bahasa merupakan
2:1, maka pengembangannya disesuaikan dengan kondisi, kenapa Allah menurunkan
Al Quran tentang waris2:1? bagaimana keadaan pada masa tersebut? serta
melakukan perbandingan antara kondisi diturunkannya ayat dengan masa sekarang
sehingga menjadi 1:1. Orientasi tekstual teks-teks islam (seperti waris)
dipahami dari segi luarnya (kebahasaan), dan kontekstual dari kandungannya
(Maqasidassyariah). Jika memungkinkan, akan lebih bagus menggabungkan keduanya,
dengan cara memahami teks-teks islam dari segi luar dan dalamnya/kadungannya (Amuntai; 2008: 6).
Dengan memahami hubungan tersebut
diharapkan dapat memahami Al Quran secara mendalam dan sesuai dengan ajaran
agama Islam serta tidak keluar
dari moral ideal nash.
C. HUKUM
ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Dalam
teori hukum disebutkan bahwa setiap hukum lahir pasti kontekstual. Namun demikian
ketika sebuah hukum ditetapkan, maka ketika itu hukum menjadi konservatif. Ia
akan ketiggalan zaman, karena perkembangan sosial yang berhubungan dengan hukum
bergerak dinamis. Perkembangan dunia akan semakin maju seiring dengan
perkembangan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis,
hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang sangat besar, termasuk persoalan
hukum. Persoalan yang didalamnya terdapat dalil Qath’i dari Al Qur’an dan Al Hadis memang tidak akan
menimbulkan masalah, namun berbeda dengan persoalan-persoalan yang belum jelas
status hukumnya. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa : persoalan-persoalan kehidupan
masyarakat tidak
terbatas
jumlahnya, sementara jumlah nash (Al Quran dan Al Hadis)
jumlahnya terbatas. Oleh karena itu mustahil sesuatu yang terbatas menghadapi
sesuatu yang tidak terbatas (Ibn
Rusyd; 1999: 2).
Dengan
demikian harus dilakukannya ijtihad dalam penentuan sebuah hukum. Menurut hasil
seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta awal
Desember 1994 disebutkan; agama dalam pengertiannya sebagai wahyu tuhan tidak berubah,
tetapi pikiran manusia tentang ajarannya, terutama hubungannya dalam penerapan
di tengah-tengah masyarakat mungkin berubah, maka perubahan yang dimaksud
bukanlah perubahan tekstual tetapi kontekstual (Ridwan; 2000: 20).
Sebagai contoh; dialog Rasulullah dengan Muadz bin jabal
yangmenyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapat ketentuan hukum
dalam Al Quran dan Al Hadits dari suatu kasus hukum. Tidak
terdapatnya penjelasan hukum dalam Al Quran dan Al Hadits menurut Amir Syarifuddin
dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.
Al Quran dan Al Hadits
secara jelas dan langsung,
tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhannya dan tidak juga sebagiannya.
Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi AlQuran dalam satu mushaf.
2.
Secara jelas Al Quran
dan Al Hadits memang tidak menyinggung hukum suatu kasus. Namun secara tidak
langsung ada penjelasannya. Contoh. Hukum memukul kepala orang tua tidak ada
aturan secara eksplisit dalam Al Quran, tetapi ada larangan mengucapkan
kata-kata kasar terhadap orang tua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati
kepada orang yang masih hidup, tidak ada ketentuan nashnya secara spesifik
merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak
jelas dan tidak langsungnya penjelasan Al Quran dan Al Hadits maka diperlukan
upaya ijtihad (Ridwan; 2000: 43). Oleh
karena itu suatu pendekatan dalam memahami Al Quran sangat diperlukan agar keuniversal-annya
tetap terjaga.
D.
PENALARAN SEBAGAI
METODE ISTINBATH HUKUM
Semua ketentuan Allah tentunya mempunyai maksud dan
tujuan serta hikmah di dalamnya, secara umum tujuan dari hukum yang sudah Allah
ciptakan adalah untuk kemaslahatan ummat. Pada peristiwa perang dengan Bani
Quraidhah, Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya ke daerah Quraidhah,
sebelum berangkat, Rasulullah berpesan agar tidak melakukan shalat ashar
kecuali apabila sudah sampai di tempat tujuan. Sebelum mereka sampai ke tempat tujuan,
waktu ashar hampir habis dan diperkirakan perjalanan baru sampai ke tempat
tujuan pada malam hari, dalam kondisi ini para sahabat berpendapat menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama; melaksanakan shalat ashar dengan alasan bahwa
sesungguhnya bukan maksud Rasulullah memerintahkan untuk menangguhkan shalat
ashar, tetapi tujuan Rasul adalah agar cepat sampai ke tempat tujuan sebelum
waktu shalat ashar habis. Sementara kelompok
sahabat yang kedua; tidak mengerjakan shalat ashar pada waktunya dan mengerjakan
shalat setelah sampai di tempat tujuan yaitu malam hari. Ketika kasus ini
dilaporkan kepada Rasulullah beliau hanya diam saja. Para sahabat menganggap
diamnya Rasul sebagai persetujuan dari tindakan dua kelompok sahabat tersebut (Ridwan; 1999: 47-48).
Hal
ini menunjukkan bahwa tradisi ikhtilaf dikalangan sahabat merupakan hal biasa.
Sementara teks tersebut dapat dipahami, bahwa satu kelompok berpegang pada teks
dan satunya lagi berpegang pada kandungan teks dengan memahami pesan moral yang
terkandung di dalamnya (maqasidat tasyri). Dengan mengedepankan
mashlahat sebagai dasar illat hukum dengan kerangka metode istinbath hukum,
pada akhirnya menempatkan fiqih sebagai produk pemikiran yang inklusif, yaitu
produk pemikiran fiqih yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan terget
hukum legal formal yang jauh dari tuntunan realitas kemanusiaan.
E.
BATASAN
KAJIAN KONTEKSTUAL
Ada dua batasan dalam rangka kontekstualisasi teks-teks Islam.Pertama,
Untuk bidang ibadah murni ('ibadah mahdlah) dan aqidah, tidak ada kontekstualisasi.
Secara umum mahdahah dapat diartikan memenuhi tuntutan yang diminta (Sa’ad; 2014: 23), seperti kewajiban melaksanakan sholat. Maka dengan kewajiban
tersebut seluruh muslim wajib melaksanakan perintah tersebut dan tidak bisa
dirubah. Hal ini memiliki arti bahwa, penambahan maupun pengurangan untuk
kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian
berarti membuat bid'ah, khurafat, dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam
Islam. Kedua, untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah,
kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk
selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik
lamanya. Moral ideal nash tidak akan mengalami perubahan, sedangkan legal spesifik
(pelaksanaan yang disesuaikan dengan situasi) akan mengalami perubahan sesuai
dengan kondisi sosial yang sedang berjalan. Dengan batas-batas seperti itu,
tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak
pada norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya serta terletak pada moral
ideal bidang di luar keduanya (Ibrahim; 2010: 59). Kontekstualisasi
hanya boleh dilakukan berkaitan dengan lima hal.
1. Dalam aspek teknik, sepanjang teknik dimaksud bukan bagian dari ibadah
itu sendiri. Sekedar contoh adalah kontekstualisasi syahadatul hilal dengan
menggunakan ilmu falak; sebagai alternatif lain dari teknik ru`yatul hilal. Demikian
pula penggunaan sound system untuk keperluan teknik pelaksanaan
khuthbah, adalah termasuk kontekstualisasi teks-teks hadits tentang khuthbah Rasulullah
SAW. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan sikat gigi sebagai alternatif
dari siwak, penentuan waktu shalat dengan jam, bukan dengan melihat matahari.
2. Kepentingan substitusi, seperti zakat fitrah dengan beras di Indonesia,
sebagai Pengganti kurma atau gandum seperti ketentuan hadits.
3. Kepentingan pengembangan karena tuntutan kondisi obyektif, misalnya
membagikan daging kurban dalam bentuk telah diolah atau telah matang, walaupun
hal ini berbeda dengan tuntunan hadits yang ada.
4. Penghindaran terhadap ketimpangan pelaksanaan
suatu ibadah terkait dengan konteks tertentu, seperti ketentuan nisab komoditas
pertanian (750 kg) di Indonesia dengan kewajiban zakat 5 sampai10 persen,
terasa adanya ketidak adilan dibanding dengan nisab dan persentase
zakat yang lain.
5. Pemahaman terhadap ibadah sesuai dengan
konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat. Berdasarkan hal
di atas, dapat dirumuskan kaidah-kaidah kontekstualisasi hadits dalam bidang ibadah. (1). Jika suatu teknik bukan merupakan bagian dari ibadah, maka kontekstualisasi
dapat dilakukan bagi kepentingan efektifitas. (2). Jika
tekstualisasi diterapkan, ternyata tidak dapat mencapai tujuan,maka
kontekstualisasi dapat dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut. (3). Jika kontekstualisasi lebih menghasilkan
tujuan suatu ibadah daripada tekstualisasi, maka kontekstualisasi dapat
dilakukan. (4). Jika dapat
dipahami hal-hal yang berkaitan dengan ibadah merupakan urusan keduniawian,
maka kontekstualisasi dapat dilakukan. (5). Untuk
kepentingan kedalaman pemahaman suatu ibadah,kontekstualisasi legitimatis
dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dapat dilakukan (Ibrahim; 2010: 62-64).
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam
itu menjadi niscaya, sekaligus absah.
1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi SAW. bukan lingkungan yang sama
sekali kosong dari pranata-pranata kultural. Sangat niscaya bahwa kultur itu
sangat berhubungan dengan kehadiran nash-nash, yang menyebabkan sebagiannya
bersifat tipikal. Pranata dhihar misalnya, ada yang memiliki ungkapan
bahwa, anti ’ala kadhihr ummiy (bagiku engkau bak punggung ibuku). Kasus
ini, sebagai sebuah pranata adalah sangat bertipikal Arab.
2. Nabi SAW. sendiri dalam beberapa kasus, telah memberikan hukum
secara berlawanan satu sama lain, atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda.
Misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan. Secara
redaksional, hadits ini berbunyi, “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin
Abu Syaibah dan Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Muhammad bin al-Mutsanna,
- sedangkan lafadznya miliki Abu Bakar dan Ibnu Numair – mereka berkata, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abu Sinan – ia adalah Dhirar
bin Murrah – dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari bapaknya, ia
berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Dahulu aku melarang kalian untuk
ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah…’” Hadits ini tertuang dalam buku Shahih
Muslim (Hadits Nomor 1623).
3. Di masa Umar bin Khaththab, talak tiga sekali
ucap yang asalnya jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cermin adanya kontekstualisasi
pemahaman teks-teks Islam (Ibrahim; 2010: 62-64).
4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali
tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d'tre kehadiran
Islam itu sendiri.
5. Pemahaman secara membabi buta terhadap nash secara tekstual, berarti
mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman, yang justru diintrodusir
oleh nash sendiri.
6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral
ideal nash, berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan
kontinuitas perubahan, ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual
manusia, lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual,
dibanding secara tekstual, yang justru menjadi trade mark dari Islam itu
sendiri, Dalam hal ini, Rasyid Ridla (1865- 1935) mengungkapkan hal yang
fenomenal bahwa, al-Islam dîn alaqli wa al-fikri (Islam itu agama
rasional dan intelektual).
8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, mengandung makna bahwa,
masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif dan
optimistis oleh Islam. Hal ini dibuktikan dengan sikap khasnya, yaitu
akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan).
Dalam suatu kaidah disebutkan bahwa al-’âdah muhakkamah (tradisi itu
dipandang legal).
9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah
petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna
bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu, memiliki dinamika internal yang sangat
kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi
yang tepat. Jika
interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat
teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui
interpretasi kontekstual terus menerus.
10. Kebanyakan hukum yang ditentukan pada awalnya
bersifat kontekstual, hal ini dapat dilihat bahwa sebuah hukum yang Allah tetapkan
dalam Al Quran memiliki Asbabun Nuzul, ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan
keadaan pada masa itu (Taib; 2007: 28).
F.
METODE
PENAFSIRAN KONTEKSTUAL
Adapun metode dalam penafsiran
kontekstual adalah :
1.
Menguasai
dengan baik sejarah manusia terutama sejarah orang-orang Arab pra-Islam, baik
secara bahasa, sosial, politik, dan ekonomi sebagai modal awal proses
penafsiran kontekstual. Sebab selain al-Qur`an tidak diturunkan dalam ruang
hampa, di dalamnya juga terdapat banyak informasi tentang mereka.
2.
Menguasai
secara menyeluruh seluk-beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sebagai sasaran
utama turunnya al-Qur`an dari awal turunnya ayat pertama hingga ayat terakhir,
bahkan hingga Rasulullah saw. wafat. Sebab tidak semua ayat al-Qur`an memiliki
sabab al-nuzūl sehingga bila hanya mengandalkan asbāb al-nuzūl, maka penafsiran
akan kurang sempurna. Oleh karenanya, penguasaan terhadap seluk beluk orang-orang
Arab dan sekitarnya sangat mendesak yang sangat diharapkan bisa membantu proses
penafsiran kontekstual.
3.
Menyusun
ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan kronologi turunnya, memperhatikan korelasi
sawābiq dan lawāhiq ayat, mencermati struktur lingustik ayat dan perkembangan
penggunaannya dari masa ke masa, dan berusaha menggali kandungan inter-teks dan
extra-teks secara komprehensif.
4.
Mencermati
penafsiran para tokoh besar awal Islam secara seksama dan konteks
sosio-historinya, terutama yang secara lahir bertentangan dengan al-Qur`an,
tetapi bila diperhatikan ternyata sesuai dengan tuntutan sosial yang ada pada
waktu itu dan tetap berada dalam spirit al-Qur`an.
5.
Mencermati
semua karya-karya tafsir yang ada dan memperhatikan konteks sosio-historis para
penafsirnya. Sebab bagaimanapun juga, para penafsir mempunyai sisi-sisi
kehidupan yang berbeda satu sama lain dan turut memengaruhi penafsirannya.
6.
Menguasai
seluk-beluk kehidupan manusia di mana al-Qur`an hendak ditafsirkan secara
kontekstual dan perbedaan serta persamaannya dengan masa-masa sebelumnya, terutama
pada masa awal Islam (sanadthkhusus;2011: 17).
Dengan langkah-langkah tersebut
diharapkan bahwa pendekatan kontekstual tidak keluar dari moral ideal nash dan
sesuai dengan ajaran islam.
G.
PENUTUP
Berdasarkan paparan-paparan di atas
bahwa pemahaman kontekstual dalam teks-teks islam akan berkembang mengikuti
perkembangan zaman, namun yang perlu diperhatikan adalah memahami agama secara
konteks bukan berarti meninggalkan teksnya. Dalam artian keduanya memiliki
sebuah relasi, yaitu ; kontekstual merupakan sebagai pendukung tekstual dalam memahami
agama, karena keduanya tidak akan dapat dipisahkan dan saling berhubungan.
Sehingga apabila keduanya diterapkan secara berdampingan dalam sebuah kasus
atau hukum, maka hukum tersebut tidak akan keluar dari jalur yang telah
ditentukan Islam dan akan berjalan selaras dengan apa yang dimaksudkan oleh
ajaran agama Islam dan dengan pendekatan kontekstual tidak mengherankan jika Al
Quran sebagai pedoman ummat islam bersifat universal.
DAFTAR PUSTAKA
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/07/metodologi-tafsir-kontektual.html, di akses pada
tanggal 10 Oktober 20115.
Taib, Mohamed, Fazlur Rahman 1919-1998 Perintis Tafsir Kontekstual,
Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2007.
Zenrif, Sintesis paradigma Studi Al-Qur’an, (UIN- Malang
Press, 2008).
Safrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha
Memahami Kembali Pesan Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Rusyd, Ibnu, Bidayat Al Mujtahid Wa Nihayat Al Muuqtashid, Indonesia
: Daar Al Kutub Al Arabiyyah.
Ridwan, Islam Kontekstual Pertautan Diakletis Teks Dengan
Konteks, Yogyakarta :Grafindo Litera Media, cetakan pertama 2000.
Saad, Ibrahim, Menyaring Dimensi Tasyri’ Hadits (Jurnal
Online Metodologi Tarjih Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1, 2012 (PSIF-UMM).
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Digital.
0 komentar:
Posting Komentar