HUKUM KODOK IJO
BAB I
PENDAHULUAN
Katak
yang dalam bahasa arab disebut ضفدع (Dlifda’) merupakan hewan amphibi yaitu
hewan yang dapat hidup didua alam, yakni darat dan air. Tubuhnya terdiri dari
kepala,badan dan empat kaki, dua kaki belakang digunakan untuk bergerak dengan
cara melompat dan dua kaki yang lain berfungsi sebagai pijakan atau
penyeimbang. Kebanyakan hewan amphibi bergerak ke air hanya untuk bereproduksi.
Fertilisasi terjadi secara eksternal (pembuahan sel telur oleh sperma terjadi
di air atau di luar tubuh amphibi betina). Telur di seliputi oleh selubung
agar-agar. Setelah dibuahi sperma telur berkembang dan menetas menjadi
kecebonng. Kecebong merupakan larva akuatik berinsang dan akan bermetamorfosis
menjadi dewasa. Hewan dewasa keluar dari perairan dan bernafas dengan
paru-paru.
Begitu juga katak berkembang biak dengan cara bertelur dan
mengalami siklus metamorfosis. Tubuhnya berlendir dan mempunyai dua alat
pernafasan yaitu paru-paru yang digunakan ketika berada di darat dan
insang yang berfungsi ketika berada di air. Penyebutan katak dan kodok bagi
sebagian orang itu berbeda, dan mereka mengatakan bahwa kodok yang dapat di
konsumsi. Namun pada dasarnya katak dan kodok merupakan hewan yang berbeda
namun masih dalam satu kelas yakni kelas amphipi yang dapat hidup di dua
alam.
Akhir-akhir ini masyarakat kita juga diramaikan dengan
merebaknya salah satu masakan yang berbahan pokok katak hijau yaitu Swike atau
Swikee adalah Masakan Tionghoa
Indonesia yang
terbuat dari paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng
kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah "swikee" berasal
dari dialek Hokkian, (Tionghoa) sui (air) dan ke
(ayam), yang merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai
"ayam air". Makanan ini biasanya dikaitkan dengan kota Purwodadi, Jawa Tengah. Bahan utama hidangan ini adalah
kaki kodok (umumnya dari "kodok hijau" atau "kodok ijo" (Jawa.)) dengan bumbu bawang putih, jahe, dan tauco, garam dan lada. Dihidangkan dengan taburan bawang
putih goreng dan daun seledri di atasnya, swike biasanya disajikan dengan nasi putih.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang hukum mengkonsumi dan
memelihara Katak Hijau dengan pembahasan: Hukum Katak Hijau, Kodok Menurut Ilmu
Kesehatan, dan Fatwa MUI Tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Katak Hijau
Terdapat
dua masalah utama mengenai konsumsi kodok di Indonesia; yaitu masalah agama dan
lingkungan. Dalam aturan pangan Islam, mayoritas mahzab dalam hukum syariah menganggap daging kodok bersifat haram (non-halal). Masuknya daging kodok dalam
kategori haram didasari dua pendapat; makanan
yang boleh dikonsumsi tidak boleh menjijikkan, dan adanya larangan untuk
membunuh kodok serta binatang lain seperti semut, lebah, dan burung laut bagi
umat Muslim. Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas beliau berkata, yang
artinya: “Sesungguhnya Nabi melarang membunuh empat hewan yaitu semut,
lebah, burung Hud-Hud dan burung Shurad“ (HR: Ahmad dengan sanad
yang shahih).
Sesungguhnya
dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang masalah halal atau
haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hambali secara jelas melarang konsumsi daging kodok, akan tetapi mazhab Maliki memperbolehkan umat Islam untuk mengkonsumsi kodok tetapi
hanya untuk jenis tertentu; yaitu hanya
kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis
lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena
beracun dan menjijikkan (Daimah; 2000, 12).
Dari segi
dalil, kita menemukan sebuah hadits yang menyebutkan tentang memakan hewan
kodok (Abdillah; 1999, 75).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ
ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا
فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
قَتْلِهَا
Artinya: “Dari
Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy bahwanya seorang tabib bertanya kepada
Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka
Rasulullah SAW melarang membunuhnya.”
Dari
hadits ini, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memakan daging kodok itu
halal. Sebab Rasulullah SAW melarang untuk membunuhnya. Sementara di kalangan
ulama pada umumnya berkembang sebuah kaidah bahwa hewan-hewan yang
diperintahkan untuk membunuhnya, hukumnya haram dimakan. Meski pun tidak
disebutkan bahwa hewan itu najis atau haram dimakan. Demikian juga dengan hewan
yang dilarang untuk membunuhnya, hukumnya pun haram dimakan, meski tidak ada
keterangan bahwa dagingnya najis atau haram dimakan (Rumaysho; 2006, 12).
Seandainya
boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Daud, Ahmad Ishaq, Alhakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.
Mereka yang mengharamkan kodok juga mendasarkan larangan ini dengan dalil bahwa
kodok itu termasuk hewan yang menjijikkan secara umum.
Walhasil,
kecenderungan jumhur ulama berpendapat bahwa kodok itu tidak halal dimakan
berdasarkan dalil dan kaidah di atas.
Mereka
yang Menghalalkan adalah kalangan mazhab Maliki. Imam Malik menghalalkan kodok
dan sebangsanya. Sebagaimana sudah seringkali dijelaskan, umumnya pendapat
mazhab ini merujuk kepada dalil secara apa adanya. Bila di dalam dalil itu
tidak tertuang secara eksplisit tentang najis atau haramnya suatu hewan, maka
mereka akan bersikukuh untuk tidak mengharamkannya (Taqiyyuddin; 1995, 89).
Sejak
awal, Allah telah memberikan penjelasan dalam firman-Nya, surat an-Nahl ayat 14:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan).” Dan firman-Nya dalam surat
al-Maidah ayat 96, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang
dalam perjalanan.” Di sini jelas dikatakan, bahwa pada dasarnya seluruh
hewan yang hidup di lautan (air), baik yang masih hidup maupun yang sudah mati
adalah halal dimakan. Begitu juga hewan yang hidup di darat, pada dasarnya
semua juga halal dimakan dagingnya, kecuali yang secara tegas diharamkan
al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antaranya adalah bangkai, darah, daging babi, dan
daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Hal ini tercantum dalam
al-Qur’an surat al- An’am ayat 145 (Depag; 2004, 309).
Demikian
juga diharamkan memakan hewan buas yang mempunyai gigi taring dan burung yang
mempunyai kuku mencengkeram. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Hadits Shahih
yang diriwayatkan Imam muslim: “Rasulullah SAW melarang (umat Islam) memakan
setiap binatang buas yang bergigi taring dan burung yang mempunyai kuku
mencengkeram” (Maqdisi; 2001, 86).
Dimasyarakat banyak timbul
pertanyaan mengenai hukum katak. Apakah halal atau haram. Karna sudah
bukan hal tabu dijumpai makanan yang bahan dasarnya adalah katak. Seperti
masakan swieke kodok, yang memang berasal dari Negara timur. Makanan ini cukup
banyak di nikmati dan mempunyai cita rasa daging katak yang lembut. Mengenai
hukum mengkonsumsi katak dalam As sunnah telah dijelaskan sebagaimana
kutipan diatas yang kurang lebih Artinya: “Ada seorang tabib menanyakan
kepada Nabi SAW mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian nabi
melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Dawud).
Pada hadist Abdurrahman bin Usman
diatas sudah jelaslah bahwa hukum katak adalah haram. Karna nabi telah
melarangnya. Dan hewan yang dilarang dibunuh hukumnya haram. Bukan hanya katak
diharamkan karena dilarang untuk dibunuh, juga karna orang arab berpendapat
bahwa katak adalah hewan menjijikan dan buruk. Allah berfirman:
ويحرم عليهم الخبائث
Artinya:
“Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’raaf:157).
Dari ayat
diatas sudah jelaslah segala sesuatu yang buruk itu haram hukumnya. Tidak
terkecuali katak, hewan amphibi ini memiliki kulit yang berlendir sehingga
terkesan menjijikan.
Pendapat
ulama’ mengenai hukum katak juga berbeda-beda. Perbedaan itu juga memiliki
dasar yang kuat. Pendapat yang mengatakan haram memakannya karna hewan yang
dilarang itu haram dimakan. Rasulullah SAW melarang membunuh empat hewan yaitu:
semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad. Dan telah disebutkan sebelumya
pada hadist Abdurrahman bin Usman,”Seorang tabib menyebutkan obat-obatan di
sisi Rosullullah SAW, dan dia menyebutkan bahwa katak dapat dijadikan obat.
Oleh karna itu, Rasulullah Saw melarang membunuh katak.” (Daimah; 2000,
14).
Hadits di atas menunjukkan larangan
membunuh hewan-hewan semacam ini dan hewan tersebut haram disembelih dan haram
dimakan. Namun berbeda dengan pendapat yang mengatakan halal memakan
hewan-hewan semacam itu. Berdasarkan surat Al An’am yang bersifat umum tidak
menyebutkan hewan-hewan tersebut. Mereka menerangkan kedua hadist yang
dijadikan dalil oleh jumhur dalam mengharamkan adalah larangan membunuh hewan
tersebut. Tidak menetapkan haram memakannya karna membunuh hewan ternak juga
dilarang tetapi tetap halal memakannya (Daimah; 2000, 16).
Mengenai hukum hewan laut dan
bangkainya yang halal, dari empat madzhab juga terdapat perbedaan pendapat, yaitu
(Abdillah; 1999, 124-132):
Pendapat
Imam Maliki menghalalkan semua hewan laut dan bangkainya, baik yang hanya dapat
hidup di laut dan di darat. Mereka mengemukakan dalil dengan firman Allah SWT:
احلّ لكم صيدالبحروطعامه
Artinya: “Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut.” ( QS.
Al-maidah. 96).
Dan sabda
Nabi yang Artinya : “Laut itu airnya mensucikan lagi halal bangkainya.”
Dalil di atas menerangkan halalnya
semua hewan laut tanpa ada perbedaan antara yang hanya dapat hidup di
laut dengan yang di laut dan di darat.
Pendapat madhab Hambali menghalalkan
semua hewan dan bangkainya selain katak, buaya, dan ular. Mereka mengemukakan
dalil dengan dalil-dalil yang telah di kemukakan oleh pendapat pertama. Hanya
saja mereka mengatakan bahwa dalil ini mutlaq, tetapi katak, buaya dan ular di
kecualikan . karna katak di larang di bunuh buaya suka memakan manuasia dan
ular adalah hewan yang buruk. Selain itu ada pendapat juga dari Imam Ibnu Hajar
yang mengatakan dalam kitab majmu’ “semua hewan dalam laut halal bangkainya
kecuali katak.” Dan “Imam Ibnu Shibagh
menuqil dari golongan askhab tentang kehalalan semua hewan di laut kecuali
katak.”
Pendapat Imam Syafi’i yakni
menghalalkan semua hewan laut dan bangkainya kecuali katak dan sebagian dari
mereka mengharamkan pula buaya. Mereka mengemukakan dalil dengan dalil-dalil
yang telah di kemukakan oleh pendapat pertama dan kedua. Hanya saja mereka
mengatakan sesungguhnya katak di larang di bunuh, sebagaimana yang telah di
kemukakan. Sehingga katak tidak halal di makan.
Pendapat madhab Hanafi yakni hanya
menghalalkan ikan adapun yang selain ikan adalah haram. Dalil dari as-sunah ”sesungguhya
nabi SAW di tanya tentang katak karna lemaknya dapat di jadikan obat, maka
rosulullh melarang membunuh katak“ dan diriwayatkan pula,: sesungguhya beliau
di tanya tentang katak, maka beliau bersabda bahwa katak adalah salah satu yang
buruk.“
Permasalahan katak memang menjadi dilema
ditengah masyarakat saat ini. Karena saat ini bisnis katak sangat merebak,
terutama katak hijau untuk dikonsumsi sebagai makanan. Dalam syariat Islam
Katak termasuk hewan yang dilarang untuk dibunuh. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam melarang untuk membunuh burung Hud hud, katak, semut, burung
Shurad dan lebah.
Abu
Hurairah Radhiyallahu
‘anhu,
berkata, “Rasulullah
Shallallohu’alaihi wasallam melarang dari membunuh burung Shurad, katak, semut
dan burung Hud-hud.” (HR.
Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil (8/143).
Dalam
riwayat lain dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu, berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallohu’alaihi wasallam
melarang membunuh empat jenis hewan: semut, lebah, burung Hud hud, dan burung
Shurad.” (HR.
Ahmad 1/332, Abu Dawud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224, Abdurrazzaq 4/451, dan
al-Baihaqi 5/214. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 8/2490) (Mubarakfuri; 1998, 101).
Dua
hadits shahih diatas memberikan faedah diharamkannya membunuh semut,
lebah, katak, burung hud hud dan burung shurad. Di antara kaedah yang
ditetapkan ulama dalam masalah makanan: Hewan yang dilarang dibunuh haram untuk
dimakan. Kaedah ini difahami dari nas-nas shahih diatas. Para ulama mengatakan:
Seandainya hewan-hewan tadi (termasuk katak) halal dimakan tidak mungkin
diharamkan untuk membunuhnya.
Sebagaimana
kutipan di atas larangan membunuh katak juga disebutkan dalam hadits
Abdurrahman bin Utsman Al-Qurasy radhiyallahu
‘anhu bahwa
ada seorang tabib bertanya kepada Nabi n tentang katak yang dijadikan sebagai
obat dan Nabi Shallallohu’alaihi wasallam melarang membunuhnya. (HR. Ahmad
3/453, Abu Dawud no. 5269, Ibnu Abi Syaibah 5/62, ‘Abd bin Humaid no. 313.
Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6971) (Mubarakfuri; 1998, 106).
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Padanya
terdapat dalil haramnya memakan katak, setelah diterimanya kaidah bahwa
larangan membunuh berkonsekuensi larangan memakannya.” (Nailul
Authar). Al-Khaththabit menerangkan, “Dalam hadits
ini terdapat dalil bahwa katak itu haram dimakan.” (Aunul
Ma’bud).
Selain dalil-dalil diatas di dalam Al Qur’an juga dijelaskan
tentang setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak
boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29). Dan
Firman Allah juga:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
Artinya: “Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah:
195).
B.
Kodok Menurut Ilmu Kesehatan
Menurut
keterangan Dr. H. Muhammad Eidman, M. Sc. seorang dokter hewan dari Institut
Pertanian Bogor, bahwa jenis kodok kurang lebih berjumlah 150 jenis. Dari
jumlah tersebut, hanya 10 jenis kodok yang berada di Indonesia yang dinyatakan
tidak mengandung racun, yaitu: Rana Macrodon, Rana Hinascaris, Rana Ingeri,
Rana Glandilosa, Rana Magna, Hyhrun Arfiki, Rana Modesta, Hyhrun Pagun, Rana
Canarivon, Rana Catesbiana Sehubungan dengan keterangan pakar yang mempunyai
otoritas dalam menentukan bahaya atau tidaknya kodok, maka dapat disimpulkan
bahwa mengkonsumsi kodok secara umum membahayakan kesehatan manusia. Oleh
karena itu, hukumnya haram. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat
al-Baqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Rumaysho;
2006, 15).
C. Fatwa MUI
Tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok
Rapat
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang diperluas dengan beberapa utusan
Majelis Ulama Daerah, beberapa Dekan Fakultas Syari'ah IAIN dan tenaga-tenaga
ahli dari Institut Pertanian Bogor, yang diselenggarakan pada hari senin, 18
Shafar 1405 H. (12 Nopember 1984 di Masjid Istiqlal Jakarta, setelah (MUI;
1984, 1-2):
Menimbang :
Bahwa akhir-akhir ini
telah tumbuh dan berkembang usaha pembudidayakan kodok oleh sebagian para
petani ikan.
Mendengar :
- Pengarahan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
-
Keterangan para
ahli perikanan tentang kehidupan kodok dan peternakannya.
- Makalah-makalah
dari Majelis Ulama Daerah Sumatera Barat, NTB, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
IAIN Walisongo Semarang.
-
Pembahasan para
peserta dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam sidang tersebut.
Memperhatikan dan
memahami :
1. Ayat-ayat
al-Qur’an dan as-Sunnah, serta kaidah-kaidah fiqhiyah antara lain :
a. Surat
al-An’am ayat 145
“Katakanlah
: Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu adalah kotor
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
b. Surat
al-Mai’dah ayat 96
“Dahalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan.”
c. Surat
Al-A’raf, ayat 157
“Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk”.
2. Hadits-hadits
Nabi Muhammad SAW :
“Dari
Abdurrahman bin Utsman Al Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada
Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah
SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan dishahihkan Hakim,
ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).
3. Memanfaatkan
kulit bangkai selain anjing dan babi, melalui proses penyamakan, dibolehkan
menurut ajaran agama.
4. Semua
binatang yang hidup menurut jumhur ulama hukumnya tidak najis kecuali anjing dan
babi.
5. Khusus
mengenai memakan daging kodok, jumhur ulama berpendapat tidak halal, sedangkan
sebagian ulama yang seperti Imam Malik menghalalkan.
6. Menurut
keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. H. Mahammad Eidman M.Sc.
bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok yang berada di Indonesia baru 10 jenis yang
diyakini tidak mengandung racun, yaitu :
a. Rana
Macrodon
b. Rana Ingeri
c. Rana
Magna
d. Rana
Modesta
e. Rana
Canerivon
f. Rana
Hinascaris
g. Rana
Glandilos
h. Hihrun
Arfiki
i.
Hyhrun Pagun
j.
Rana Catesbiana
Maka dengan bertawakal kepada Allah SWT,
sidang :
Memutuskan
- Membenarkan
adanya pendapat Mazhab Syafii/jumhur Ulama tentang tidak halalnya memakan
daging kodok, dan membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya
daging kodok tersebut.
- Membudidayakan
kodok hanya untuk diambali manfaatnya, tidak untuk dimakan. Tidak bertentang
dengan ajaran Islam.
Disahkan di Jakarta, 18
Shafar 1405 H - 12 Nopember 1984 M oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Diketuai oleh Prof. KH. Ibrahim dan Sekretaris H. Mas’ud.
BAB
III
PENUTUP
Dengan semakin berkembangnya pembudidayaan kodok sekarang
ini, memang tidak bisa langsung menghakimi bahwa memakan dan membudidayakan
kodok itu haram. Meskipun, memakan kodok itu memang tidak diperbolehkan karena
binatang itu hidup di dua alam. Begitu pula membudidayakan kodok untuk dimakan
atau diperdagangkan adalah haram. Hal ini didasarkan pada Qaidah Ushul Fiqh,
“Sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya adalah mengikuti sesuatu yang menjadi
tujuan”. Akan tetapi, dari MUI sendiri memberikan dua pilihan kepada masyarakat
untuk mengikutinya. Pilihan untuk tidak menghalalkan daging kodok untuk dimakan
bagi para penganut mahzab Syafi’I atau jumhur ulama. Dan, pilihan lainnya untuk
menganggap halal daging kodok untuk dimakan dan dikonsumsi bagi masyarakat yang
mengikuti pendapat Imam Maliki.
Namun sehubungan dengan keterangan pakar kesehatan yang
mempunyai otoritas dalam menentukan bahaya atau tidaknya kodok, maka dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi kodok secara umum
membahayakan kesehatan manusia.
Sedangkan untuk budidaya kodok, jika memang hanya diambil
manfaatnya, tidak untuk dimakan, maka dari ulama dan MUI memperbolehkan selama
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akan lebih baiknya, semua kembali
kepada individu masing-masing, bagaimana memandang baik buruknya mengkonsumsi
daging kodok tersebut. Baik dari segi aturan Islam maupun kesehatan.
Daftar
Pustakan
Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri. 1998, Tuhfatul Ahwadzi
bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
Departemen Agama RI. 2004, Al Qur’an dan Terjamahnya,
Jakarta: Departemen Agama Ripublik Indonesia.
Fatwa MUI. 1984, Tentang Fatwa Memakan dan Membudidayakan
Kodok, Jakarta: Komisi Fatwa Majlis ‘Ulama Indonesia.
Ibnu
Qudamah Al Maqdisi. 1420-2001, Al Mughni, Darul Fikr.
Imam Muhaddits Abu Abdillah Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al
Maqdisi. 1999, ‘Umdatul Ahkami Min Kalami Khairi Al Anam, Dar Thayyibah
Al Khadhra`. Cet. I.
Imam Al Hafizh Taqiyyuddin Ibnu
Daqiq Al ‘Id. 625-702 H , Ihkamu Al Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, Tahqiq
Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Jail, Cet. II tanpa tahun.
Multaqo Ahlul Hadits. tt, Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah.
Soal kedelapan dari Fatwa Al Lajnah
Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 5394, 22/320.