Komunitas Pecinta Suluk (KUCLUK) - MJM Bersemangat - Abah Eko Wardoyo As-Syadzily - Motivation of Juharuddin Muhammad

Rabu, 29 Juni 2016

Hukum Kodok Ijo

11:16:00 PM Posted by M. Juharuddin Mutohar No comments
HUKUM KODOK IJO



BAB I
PENDAHULUAN


Katak yang dalam bahasa arab disebut  ضفدع (Dlifda’) merupakan hewan amphibi yaitu hewan yang dapat hidup didua alam, yakni darat dan air. Tubuhnya terdiri dari kepala,badan dan empat kaki, dua kaki belakang digunakan untuk bergerak dengan cara melompat dan dua kaki yang lain berfungsi sebagai pijakan atau penyeimbang. Kebanyakan hewan amphibi bergerak ke air hanya untuk bereproduksi. Fertilisasi terjadi secara eksternal (pembuahan sel telur oleh sperma terjadi di air atau di luar tubuh amphibi betina). Telur di seliputi oleh selubung agar-agar. Setelah dibuahi sperma telur berkembang dan menetas menjadi kecebonng. Kecebong merupakan larva akuatik berinsang dan akan bermetamorfosis menjadi dewasa. Hewan dewasa keluar dari perairan dan bernafas dengan paru-paru.
Begitu juga katak berkembang biak dengan cara bertelur dan mengalami siklus metamorfosis. Tubuhnya berlendir dan mempunyai dua alat pernafasan  yaitu paru-paru yang digunakan ketika berada di darat dan insang yang berfungsi ketika berada di air. Penyebutan katak dan kodok bagi sebagian orang itu berbeda, dan mereka mengatakan bahwa kodok yang dapat di konsumsi. Namun pada dasarnya katak dan kodok merupakan hewan yang berbeda namun masih dalam satu kelas yakni kelas amphipi yang dapat hidup di dua alam.
Akhir-akhir ini masyarakat kita juga diramaikan dengan merebaknya salah satu masakan yang berbahan pokok katak hijau yaitu Swike atau Swikee adalah Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah "swikee" berasal dari dialek Hokkian, (Tionghoa) sui (air) dan ke (ayam), yang merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam air". Makanan ini biasanya dikaitkan dengan kota Purwodadi, Jawa Tengah. Bahan utama hidangan ini adalah kaki kodok (umumnya dari "kodok hijau" atau "kodok ijo" (Jawa.)) dengan bumbu bawang putih, jahe, dan tauco, garam dan lada. Dihidangkan dengan taburan bawang putih goreng dan daun seledri di atasnya, swike biasanya disajikan dengan nasi putih.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang hukum mengkonsumi dan memelihara Katak Hijau dengan pembahasan: Hukum Katak Hijau, Kodok Menurut Ilmu Kesehatan, dan Fatwa MUI Tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok. 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Katak Hijau
Terdapat dua masalah utama mengenai konsumsi kodok di Indonesia; yaitu masalah agama dan lingkungan. Dalam aturan pangan Islam, mayoritas mahzab dalam hukum syariah menganggap daging kodok bersifat haram (non-halal). Masuknya daging kodok dalam kategori haram didasari dua pendapat; makanan yang boleh dikonsumsi tidak boleh menjijikkan, dan adanya larangan untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut, lebah, dan burung laut bagi umat Muslim. Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas beliau berkata, yang artinya: “Sesungguhnya Nabi melarang membunuh empat hewan yaitu semut, lebah, burung Hud-Hud dan burung Shurad (HR: Ahmad dengan sanad yang shahih).
Sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hambali secara jelas melarang konsumsi daging kodok, akan tetapi mazhab Maliki memperbolehkan umat Islam untuk mengkonsumsi kodok tetapi hanya untuk jenis tertentu; yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun dan menjijikkan (Daimah; 2000, 12).
Dari segi dalil, kita menemukan sebuah hadits yang menyebutkan tentang memakan hewan kodok (Abdillah; 1999, 75).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy bahwanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.”
Dari hadits ini, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memakan daging kodok itu halal. Sebab Rasulullah SAW melarang untuk membunuhnya. Sementara di kalangan ulama pada umumnya berkembang sebuah kaidah bahwa hewan-hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, hukumnya haram dimakan. Meski pun tidak disebutkan bahwa hewan itu najis atau haram dimakan. Demikian juga dengan hewan yang dilarang untuk membunuhnya, hukumnya pun haram dimakan, meski tidak ada keterangan bahwa dagingnya najis atau haram dimakan (Rumaysho; 2006, 12).
Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad Ishaq, Alhakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi. Mereka yang mengharamkan kodok juga mendasarkan larangan ini dengan dalil bahwa kodok itu termasuk hewan yang menjijikkan secara umum.
Walhasil, kecenderungan jumhur ulama berpendapat bahwa kodok itu tidak halal dimakan berdasarkan dalil dan kaidah di atas.
Mereka yang Menghalalkan adalah kalangan mazhab Maliki. Imam Malik menghalalkan kodok dan sebangsanya. Sebagaimana sudah seringkali dijelaskan, umumnya pendapat mazhab ini merujuk kepada dalil secara apa adanya. Bila di dalam dalil itu tidak tertuang secara eksplisit tentang najis atau haramnya suatu hewan, maka mereka akan bersikukuh untuk tidak mengharamkannya (Taqiyyuddin; 1995, 89).
Sejak awal, Allah telah memberikan penjelasan dalam firman-Nya, surat an-Nahl ayat 14: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan).” Dan firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 96, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” Di sini jelas dikatakan, bahwa pada dasarnya seluruh hewan yang hidup di lautan (air), baik yang masih hidup maupun yang sudah mati adalah halal dimakan. Begitu juga hewan yang hidup di darat, pada dasarnya semua juga halal dimakan dagingnya, kecuali yang secara tegas diharamkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antaranya adalah bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Hal ini tercantum dalam al-Qur’an surat al- An’am ayat 145 (Depag; 2004, 309).
Demikian juga diharamkan memakan hewan buas yang mempunyai gigi taring dan burung yang mempunyai kuku mencengkeram. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Hadits Shahih yang diriwayatkan Imam muslim: “Rasulullah SAW melarang (umat Islam) memakan setiap binatang buas yang bergigi taring dan burung yang mempunyai kuku mencengkeram” (Maqdisi; 2001, 86).
Dimasyarakat banyak timbul pertanyaan mengenai hukum katak. Apakah halal atau haram. Karna  sudah bukan hal tabu dijumpai makanan yang bahan dasarnya adalah katak. Seperti masakan swieke kodok, yang memang berasal dari Negara timur. Makanan ini cukup banyak di nikmati dan mempunyai cita rasa daging katak yang lembut. Mengenai hukum mengkonsumsi katak dalam As sunnah telah  dijelaskan sebagaimana kutipan diatas yang kurang lebih Artinya: “Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi SAW mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian nabi melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Dawud).
Pada hadist Abdurrahman bin Usman diatas sudah jelaslah bahwa hukum katak adalah haram. Karna nabi telah melarangnya. Dan hewan yang dilarang dibunuh hukumnya haram. Bukan hanya katak diharamkan karena dilarang untuk dibunuh, juga karna orang arab berpendapat bahwa katak adalah hewan menjijikan dan buruk. Allah berfirman:
ويحرم عليهم الخبائث
Artinya: “Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’raaf:157).
Dari ayat diatas sudah jelaslah segala sesuatu yang buruk itu haram hukumnya. Tidak terkecuali katak, hewan amphibi ini memiliki kulit yang berlendir sehingga terkesan menjijikan.
Pendapat ulama’ mengenai hukum katak juga berbeda-beda. Perbedaan itu juga memiliki dasar yang kuat. Pendapat yang mengatakan haram memakannya karna hewan yang dilarang itu haram dimakan. Rasulullah SAW melarang membunuh empat hewan yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad. Dan telah disebutkan sebelumya pada hadist Abdurrahman bin Usman,”Seorang tabib menyebutkan obat-obatan di sisi Rosullullah SAW, dan dia menyebutkan bahwa katak dapat dijadikan obat. Oleh karna itu, Rasulullah Saw  melarang membunuh katak.” (Daimah; 2000, 14).
Hadits di atas menunjukkan larangan membunuh hewan-hewan semacam ini dan hewan tersebut haram disembelih dan haram dimakan. Namun berbeda dengan pendapat yang mengatakan halal memakan hewan-hewan semacam itu. Berdasarkan surat Al An’am yang bersifat umum tidak menyebutkan hewan-hewan tersebut. Mereka menerangkan kedua hadist yang dijadikan dalil oleh jumhur dalam mengharamkan adalah larangan membunuh hewan tersebut. Tidak menetapkan haram memakannya karna membunuh hewan ternak juga dilarang tetapi tetap halal memakannya (Daimah; 2000, 16).
Mengenai hukum hewan laut dan bangkainya yang halal, dari empat madzhab juga terdapat perbedaan pendapat, yaitu (Abdillah; 1999, 124-132):
Pendapat Imam Maliki menghalalkan semua hewan laut dan bangkainya, baik yang hanya dapat hidup di laut dan di darat. Mereka mengemukakan dalil dengan firman Allah SWT:
احلّ لكم صيدالبحروطعامه
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut.” ( QS. Al-maidah. 96).
Dan sabda Nabi yang Artinya : “Laut itu airnya mensucikan lagi halal bangkainya.”
Dalil di atas menerangkan halalnya semua hewan laut  tanpa ada perbedaan antara yang hanya dapat hidup di laut dengan yang di laut dan di darat.
Pendapat madhab Hambali menghalalkan semua hewan dan bangkainya selain katak, buaya, dan ular. Mereka mengemukakan dalil dengan dalil-dalil yang telah di kemukakan oleh pendapat pertama. Hanya saja mereka mengatakan bahwa dalil ini mutlaq, tetapi katak, buaya dan ular di kecualikan . karna katak di larang di bunuh buaya suka memakan manuasia dan ular adalah hewan yang buruk. Selain itu ada pendapat juga dari Imam Ibnu Hajar yang mengatakan dalam kitab majmu’ “semua hewan dalam laut halal bangkainya kecuali katak.”  Dan “Imam Ibnu Shibagh menuqil dari golongan askhab tentang kehalalan semua hewan di laut kecuali katak.”
Pendapat Imam Syafi’i yakni menghalalkan semua hewan laut dan bangkainya kecuali katak dan sebagian dari mereka mengharamkan pula buaya. Mereka mengemukakan dalil dengan dalil-dalil yang telah di kemukakan oleh pendapat pertama dan kedua. Hanya saja mereka mengatakan sesungguhnya katak di larang di bunuh, sebagaimana yang telah di kemukakan. Sehingga katak tidak halal di makan.
Pendapat madhab Hanafi yakni hanya menghalalkan ikan adapun yang selain ikan adalah haram. Dalil dari as-sunah ”sesungguhya nabi SAW di tanya tentang katak karna lemaknya dapat di jadikan obat, maka rosulullh melarang membunuh katak“ dan diriwayatkan pula,: sesungguhya beliau di tanya tentang katak, maka beliau bersabda bahwa katak adalah salah satu yang buruk.“
Permasalahan katak memang menjadi dilema ditengah masyarakat saat ini. Karena saat ini bisnis katak sangat merebak, terutama katak hijau untuk dikonsumsi sebagai makanan. Dalam syariat Islam Katak termasuk hewan yang dilarang untuk dibunuh.  Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk membunuh burung Hud hud, katak, semut, burung Shurad dan lebah.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Rasulullah Shallallohu’alaihi wasallam melarang dari membunuh burung Shurad, katak, semut dan burung Hud-hud.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil (8/143).
Dalam riwayat lain dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu, berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallohu’alaihi wasallam melarang membunuh empat jenis hewan: semut, lebah, burung Hud hud, dan burung Shurad.” (HR. Ahmad 1/332, Abu Dawud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224, Abdurrazzaq 4/451, dan al-Baihaqi 5/214. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 8/2490) (Mubarakfuri; 1998, 101).
Dua hadits shahih  diatas memberikan faedah diharamkannya membunuh semut, lebah, katak, burung hud hud dan burung shurad. Di antara kaedah yang ditetapkan ulama dalam masalah makanan: Hewan yang dilarang dibunuh haram untuk dimakan. Kaedah ini difahami dari nas-nas shahih diatas. Para ulama mengatakan: Seandainya hewan-hewan tadi (termasuk katak) halal dimakan tidak mungkin diharamkan untuk membunuhnya.

Sebagaimana kutipan di atas larangan membunuh katak juga disebutkan dalam hadits Abdurrahman bin Utsman Al-Qurasy radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang tabib bertanya kepada Nabi n tentang katak yang dijadikan sebagai obat dan Nabi Shallallohu’alaihi wasallam melarang membunuhnya. (HR. Ahmad 3/453, Abu Dawud no. 5269, Ibnu Abi Syaibah 5/62, ‘Abd bin Humaid no. 313. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6971) (Mubarakfuri; 1998, 106).
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Padanya terdapat dalil haramnya memakan katak, setelah diterimanya kaidah bahwa larangan membunuh berkonsekuensi larangan memakannya.” (Nailul Authar). Al-Khaththabit menerangkan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa katak itu haram dimakan.” (Aunul Ma’bud).

Selain dalil-dalil diatas di dalam Al Qur’an juga dijelaskan tentang setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29). Dan Firman Allah juga:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”  (QS. Al Baqarah: 195).


B.     Kodok Menurut Ilmu Kesehatan

Menurut keterangan Dr. H. Muhammad Eidman, M. Sc. seorang dokter hewan dari Institut Pertanian Bogor, bahwa jenis kodok kurang lebih berjumlah 150 jenis. Dari jumlah tersebut, hanya 10 jenis kodok yang berada di Indonesia yang dinyatakan tidak mengandung racun, yaitu: Rana Macrodon, Rana Hinascaris, Rana Ingeri, Rana Glandilosa, Rana Magna, Hyhrun Arfiki, Rana Modesta, Hyhrun Pagun, Rana Canarivon, Rana Catesbiana Sehubungan dengan keterangan pakar yang mempunyai otoritas dalam menentukan bahaya atau tidaknya kodok, maka dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi kodok secara umum membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, hukumnya haram. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Rumaysho; 2006, 15).



C.    Fatwa MUI Tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok

Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang diperluas dengan beberapa utusan Majelis Ulama Daerah, beberapa Dekan Fakultas Syari'ah IAIN dan tenaga-tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor, yang diselenggarakan pada hari senin, 18 Shafar 1405 H. (12 Nopember 1984 di Masjid Istiqlal Jakarta, setelah (MUI; 1984, 1-2):


Menimbang :
Bahwa akhir-akhir ini telah tumbuh dan berkembang usaha pembudidayakan kodok oleh sebagian para petani ikan. 

Mendengar :
-      Pengarahan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
-          Keterangan para ahli perikanan tentang kehidupan kodok dan peternakannya.
-      Makalah-makalah dari Majelis Ulama Daerah Sumatera Barat, NTB, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Walisongo Semarang.
-          Pembahasan para peserta dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam sidang tersebut.

Memperhatikan dan memahami :
1.      Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah, serta kaidah-kaidah fiqhiyah antara lain :
a.       Surat al-An’am ayat 145
“Katakanlah : Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu adalah kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
b.      Surat al-Mai’dah ayat 96
“Dahalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan.”
c.       Surat Al-A’raf, ayat 157
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.
2.      Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW :
“Dari Abdurrahman bin Utsman Al Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan dishahihkan Hakim, ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).
3.      Memanfaatkan kulit bangkai selain anjing dan babi, melalui proses penyamakan, dibolehkan menurut ajaran agama.
4.      Semua binatang yang hidup menurut jumhur ulama hukumnya tidak najis kecuali anjing dan babi.
5.      Khusus mengenai memakan daging kodok, jumhur ulama berpendapat tidak halal, sedangkan sebagian ulama yang seperti Imam Malik menghalalkan.
6.      Menurut keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. H. Mahammad Eidman M.Sc. bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok yang berada di Indonesia baru 10 jenis yang diyakini tidak mengandung racun, yaitu :
a.       Rana Macrodon
b.       Rana Ingeri
c.       Rana Magna
d.      Rana Modesta
e.       Rana Canerivon
f.       Rana Hinascaris
g.      Rana Glandilos
h.      Hihrun Arfiki
i.        Hyhrun Pagun
j.        Rana Catesbiana


Maka dengan bertawakal kepada Allah SWT, sidang :
Memutuskan
-       Membenarkan adanya pendapat Mazhab Syafii/jumhur Ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, dan membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut.
-   Membudidayakan kodok hanya untuk diambali manfaatnya, tidak untuk dimakan. Tidak bertentang dengan ajaran Islam.

Disahkan di Jakarta, 18 Shafar 1405 H - 12 Nopember 1984 M oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Diketuai oleh Prof. KH. Ibrahim dan Sekretaris H. Mas’ud.



BAB III

PENUTUP



Dengan semakin berkembangnya pembudidayaan kodok sekarang ini, memang tidak bisa langsung menghakimi bahwa memakan dan membudidayakan kodok itu haram. Meskipun, memakan kodok itu memang tidak diperbolehkan karena binatang itu hidup di dua alam. Begitu pula membudidayakan kodok untuk dimakan atau diperdagangkan adalah haram. Hal ini didasarkan pada Qaidah Ushul Fiqh, “Sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya adalah mengikuti sesuatu yang menjadi tujuan”. Akan tetapi, dari MUI sendiri memberikan dua pilihan kepada masyarakat untuk mengikutinya. Pilihan untuk tidak menghalalkan daging kodok untuk dimakan bagi para penganut mahzab Syafi’I atau jumhur ulama. Dan, pilihan lainnya untuk menganggap halal daging kodok untuk dimakan dan dikonsumsi bagi masyarakat yang mengikuti pendapat Imam Maliki.
Namun sehubungan dengan keterangan pakar kesehatan yang mempunyai otoritas dalam menentukan bahaya atau tidaknya kodok, maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi kodok secara umum membahayakan kesehatan manusia.
Sedangkan untuk budidaya kodok, jika memang hanya diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, maka dari ulama dan MUI memperbolehkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akan lebih baiknya, semua kembali kepada individu masing-masing, bagaimana memandang baik buruknya mengkonsumsi daging kodok tersebut. Baik dari segi aturan Islam  maupun kesehatan.



Daftar Pustakan
Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri. 1998, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

Departemen Agama RI. 2004, Al Qur’an dan Terjamahnya, Jakarta: Departemen Agama Ripublik Indonesia.

Fatwa MUI. 1984, Tentang Fatwa Memakan dan Membudidayakan Kodok, Jakarta: Komisi Fatwa Majlis ‘Ulama Indonesia. 


Ibnu Qudamah Al Maqdisi. 1420-2001, Al Mughni, Darul Fikr.

Imam Muhaddits Abu Abdillah Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi. 1999, ‘Umdatul Ahkami Min Kalami Khairi Al Anam, Dar Thayyibah Al Khadhra`. Cet. I.

Imam Al Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id. 625-702 H , Ihkamu Al Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Jail, Cet. II tanpa tahun.

Multaqo Ahlul Hadits. tt, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah.

Soal kedelapan dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 5394, 22/320.












0 komentar:

Posting Komentar