Komunitas Pecinta Suluk (KUCLUK) - MJM Bersemangat - Abah Eko Wardoyo As-Syadzily - Motivation of Juharuddin Muhammad

Rabu, 01 Juni 2016

BUTIR-BUTIR PEMIKIRAN HASAN HANAFI

12:42:00 PM Posted by M. Juharuddin Mutohar No comments


BUTIR-BUTIR PEMIKIRAN HASAN HANAFI

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam sejarah dan kebudayaan  Islam di bagi dalam beberapa periodesasi. Pada periode klasik peradaban Islam sangat maju, dilihat dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, arsitekstur yg ada pada masa itu sangat maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita tentang ilmu pengetahuan, kebudayaan. Bisa di katakan pada masa itu barat sangat tertinggal sekali dengan dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah mulai bangkit sedangkan Islam mulai terpuruk akibat dari serangan bangsa mongol. Ilmu pengetahuan, kebudayaan dan bahkan kehidupan di dunia Islam bisa di bilang mati. Pada masa periode modern ini Islam mulai bangkit dari keterpurukan, mengejar ketertinggalan dari dunia barat.
Kebangkitan-kebangkitan ini berasal dari dunia Arab. Banyak para tokoh yang mulai melakukan penggerakan untuk bisa bangkit dan melawan terhadap keadaan yang terpuruk. Para tokoh ini ada yang melakukan gerakan fisik untuk melakukan revolusioner dan ada pula tokoh yang lebih suka mengeluarkan ide-idenya untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan kemauan untuk berubah. Ada pula tokoh yang menggabungkan antar keduanya antara perjuangan fisik dan gerakan pemikiran.
Pada kesempatan kali ini akan dicoba di jabarkan  tentang seorang tokoh revolusioner mulai dari biografi, setting sosial, pemikirannya, karya-karyanya yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan pengaruhnya, yaitu tentang tokoh Dr. Hasan Hanafi.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Biografi dan Setting Sosial Hasan Hanafi
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir di dekat Benteng Salahuddin, daerah Perkampungan Al-Azhar. Perkampungan ini dekat dengan Universitas Al-Azhar dimana tempat ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari berbagai dunia. Tradisi keilmuan berkembang disana sejak lama. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung. Menurut sejarah dan kebudayaan kota Mesir telah dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk da Tukri dan bahkan Eropa Modern. Hasan Hanafi adalah filusuf hukum Islam serta guru Besar Fakultas Filsafat Universitas kairo (Scribd:2016, 4).
Hasan hanafi sekolah di sekolah dasar, selesai tahun 1948. Melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha” kairo selesai tahun 1952.mulai di tsanawiyah inilah, ia mulai aktif mengikuti diskusi-diskusi al-ikhwan al- muslimun. Dari kegiatannya ini pemikirannya mulai berkembang. Setelah Tsanawiyah Ia melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas kairo selesai pada tahun 1956 sebagai Sarjana muda. Setelah itu Hanafi melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis dengan mengambil konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-Modern dan Modern. Menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966, dengan tesis Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi berjudul L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et sonapplication au Phenomene Religiux (Sholahudin; 2010, 40).
Hasan Hanafi kecil hidup di lingkungan yang di jajah oleh bangsa asing. Kenyataan ini membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya. Karena sikapnya inilah ia ahirnya memberanikan diri mendaftar sebagai sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948 ketika usianya baru mencapai 13 tahun. Tetapi ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena mereka menganggap hanafi masih terlalu muda. Ia merasa kecewa dan menganggap bahwa mesir saat itu sedang terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Kejadian yang diaalami olehnya pada masa itu, terutama di kampus. membuatnya bangkit menjadi seorang yang pemikir, pembaharu, dan reformis. Ia merasa prihatin dengan keadaan umat islam yang tertinggal dan permasalahan internal yang berkepanjangan yang tak usai-usai.
Ketika dia sekolah di Francis, ia mendapat tempat yang kondusif untuk belajar ia mulai mencari-cari jawaban atas permasalahn yang dihadapi oleh negerinya, beserta rumusan-rumusan jawaban untuk mengatasi dan menanggulangi permasalahan. Disana ia juga mulai berfikir secara metodologi lewat buku-buku karya orientalis dan perkuliahan yang ia ikuti (Ridho; 2007, 87).
Ia juga sempat belajar pada seorang reformis katolik,Jean Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dar Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Prof. Masnion (Santoso; 2003, 280). Setelah kembalinya ia dari kuliah di Sarbonne Prancis pada tahun 1966, timbulah keinggin beliau untuk mengembangkan tulisan-tulisannya. Tetapi niat ini terurung ketika tahun 1967 Mesir diserang oleh Israel. Keadaan ini menimbulkan semangat nasionalismenya muncul. Ia kemudian bersatu bersama rakyat (Shimogaki; 1997, 100).
Hasan Hanafi juga mengajar di Universitas Cairo disela-sela waktu luangnya. Ia juga mulai giat menulis artikel-artikel untuk menanggapi permasalahan aktual yang sedang dihadapi oleh bangsanya. Ia memanfaatkan media massa dalam menyampaikan hasil pemikirannya. Hasan Hanafi juga mengajar di beberapa Universitas di Luar Negeri, ia juga pernah menjadi Profesor tamu di beberapa negara seperti Perancis (1969), Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987 (Ridho; 2007, 101).
Ada hal menarik tentang alasan Hasan Hanafi pergi ke Ameika Serikat, ini berawal dari adanya keberatan dari pihak pemerintah pada aktivitasnya di Mesir sehingga ia diberi opsi ia akan tetap melanjutkan aktivitasnya atau pergi ke Amerika. Dengan desakkan dari pemerintah akhirnya Hassan Hanafi pergi ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975), dan baru kembali setelah terjadi gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat. Dan kehidupan barunya di Negara itu memberikan ia kesempatan untuk banyak menulistentang dialok antar agama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaharuan pemikiran islam secara menyeluruh (Ridho; 2007, 182).
Basis sosial Hasan Hanafi adalah kondisi obyektif dunia Islam pada umumnya yang masih mempresentasikan diri dengan simbol-simbol keterbelakangan kemiskinan kebodohan dan sebagainnya, sebagai musuh internal umat. Sementara kapitalisme global dengan sejumlah tawaran-tawaran entetisnya berupa proyek rasionalisasi dan sistem pengorganisasi sosial yang bersifat absolut sebagai penggolongan kebebasan manusia yang bersifat tunggal dan hegemonik. Realitas ini menghadapakan timur pada situasi yang dilematis. Di satu sisi dihadapkan pada situasi untuk menerima kapitalisme global dengan segala implikasinya  sebagai keniscayaan sejarah, sementara di sisi lain, kondisi obyektif dunia timur (Islam) masih diselimuti problem internal berupa ketidaksiapan sosiologis maupun epistimologis sebagai basis kebudayaannya.
Meskipun di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar  yakni dunia Eropa atau Barat (Santoso; 2003, 89).
Bagi kelompok konservatif, Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam didalam kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam (Sholahuddin; 2010, 122).
Komitmen sebagai pemikir dan keterlibatanya dalam pergumulan perubahan sosial membawa Hasan Hanafi pada refleksi orogresif-transformatif. Kemenangan revolusi islam iran 1979 yang berhasil meruntuhkan kekuasaan syah iran dukungan AS, memberikan sebuah semangat bagi dirinya serta anakmuda lainnya untuk terlibat dalam perubahan sosial politik. Hasan Hanafi berkeyakinan bahwa islam sebagai ideologi dan sumber motivasi terbukti masih merupakan senjata ampuh bagi setiap gerakan massa. Realitas ini merupakan satu bukti pula betapa dunia timur (Islam) mempunyai tradisi lama yang sanggup memberikan spirit bagi perubahan sosial politik (Harb; 2003, 80).

B.     Pemikiran Hasan Hanafi tentang Tafsir/Hermeneutik Al-Quran
Hasan hanafi mempunyai banyak sekali pemikiran dalam dunia islam. Ada hasil pemikiran beliau dalam hal “politik” yang sangat terkenal yaitu Kiri Islam dan dalam bidang tafsir karyanya adalah Hermeneutika Al-quran. Ada juga tentang oksidentalisme. Disini akan coba di jelaskn beberapa inti pemikiran dari Hasan Hanafi.
Buku karya Hasan Hanafi yang disusunnya selama 10 tahun ini terdiri dari lima volume. Volume pertama terfokus pada premis-premis teoritis (al-muqaddimah an-nazhariyyah), volume ke 2 membahas tntang ketauhidan (at-tauhid), volume ketiga membahas tentang keadialn (al-adl), volume keempat mendiskusikan tentang kenabian (an-nubuwwah al-muad) dan volume yang terakhir berbicara tentang amal, keimanan dan imamah. Pada kelima karya nya hanya pada volume pertamalah ia mampu menuangkan ide-ide pemikiran yang sangat cemerlang yang diberi nama at-turats wa at-Tajdid ini berbicara tentang tradisi barat (Harb; 2003, 68).
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul at-turats wa at-Tajdid dirumuskan kedalam 3 bagian yang saling berhubungan. Pertama adalah rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan “apresiasi terhadap hasanah klasik”. Kedua rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam “sikap kita terhadap barat”. Yang ketiga adalah upaya membangun sebuah teori interpretasi al-Quran yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skla global yang memposisikan islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan (sikap kita terhadap realitas) (Ridho; 2007, 74).

C.    Pandangan Hanafi terhadap al-Quran
Hasan hanafi adalah seorang tokoh kontemporer, tetapi dalam pemikirannya ia berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya. Ia tidak mempermasalahkan keotentikan dan keabsahan teks al-Quran. Menurut Hanafi dari sekian banyak kitab suci yang di turunkan oleh Allah SWT hanya al-Qur’anlah yang bisa di jamin keasliannya saat ini. Hanafi juga sepakat dengan ulama terdahulu hanafi menyatakan bahwasanya Allah SWT menurunkan al-Quran secara vertikal kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dalam proses vertikal ini Malaikat dan Nabi Muhammad bertindak sebagi Passive transmiters. Keduanya bertindak sebagai record sepenuhnya, sehingga wahyu Allah bersifat verbatim (Nashir; 2004, 65).
Sebagai passive transmitters, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad menyampaikan apa adanya wahyu yang mereka terima dari Allah. Sebagai contoh, ada beberapa surat Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf-huruf muqaṭṭa’ah seperti Nūn, Qāf, Yāsīn dan lain sebagainya, kemudian terdapat pula ayat yang mengkritik Nabi Muhammad seperti yang terdapat pada awal surat Abbasa. Keberadaan ayat-ayat semacam ini merupakan bukti internal bahwa Al-Qur’an otentik, terbebas dari campur tangan Nabi Muhammad. Hanafi juga meyakini bahwa semua ayat dalam al-Quran itu mempunyai asbabul nuzul (Sholahuddin; 2010, 40)
Menurut Hasan Hanafi al-Quran sebagai wahyu mempunyai 3 keunggulan dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya (Ridho; 2007, 70).
  1. Al-Quran adalah kitab terakhir dalam sejarah kenabian sejak nabi Adam as sampai nabi Muhammad SAW. Sebagai kitab terakhir adalah ia yang kitab yang sempurna bentuknya, dan oleh karena itu ia dijadikan sumber syariat tanpa harus menunggu perubahan, penggantian dan penghapusan.
  2. Al-Quran adalah kitab yang paling di jamin keotentikannya, tidak ada perubahan di dalamnya. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang terdapat perubahan didalamnya.
  3. Al-Quran adalah kitab suci yang terakhir diturunkan dan tidak sekaligus melainkan bertahap sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada saat itu. Ayat-ayat al-Quran yang turun sebagai penyelesaian atas kondisi pada saat itu. Ayat-ayat tersebut terkumpul selama 23 tahun dan sekarang kita kenal dengan mushaf al-Quran.
Menurut Hasan Hanafi membaca teks sama saja dengan memahaminya. Teks adalah perubahan kehendak dari lisan menjadi tulis. Menurutnya teks bukanlah dokumen yang lebih dekat kepada catatan kuno tetapi realitas yang hidup dalam keadaan diam, yang akan terbangkit melalui pembacaan sehinnga hidup kembali dalam berbagai bentuk. Teks bukan saja sebagai bentuk dokumentasian yang bertujuan untuk melestarikan dan untuk mencatat melainkan cermin keotoritasan pengorentasian, kodifikasi dan penetapan hukum (Nashir; 2004, 90).

D.    Pandangan Hasan Hanafi terhadap Penfsiran Klasik al-Quran
Awal mula Hanafi mengemukakan pendapatnya tentang al-Quran adalah ketika dia tidak merasa puas dengan teori klasik yang telah dibangun oleh ulama tafsir. Ia beranggapan bahwa  teori yang dipakai tidak memiliki teori yang solid yang memiliki prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi. Karena penafsiran model klasik ini tidak menginjak pada level syarah (komentar), tafsil (detailisasi) dan tikrar (pengulangan) serta penjelas tentang apa point-point yang harus di tekankan ketika menafsirkan ayat/surah tertentu. disisi lain ia mengabaikan kehidupan, problem, kebutuhan manusia yanag mengakibatkan teks tersebut hanya berkutat pada dirinya sendiri (Shimogaki; 1997, 65).
Teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitaz( antara dunia dan akhirat dan manusia dengan tuhan). Menurut Hasan Hanafi problematika penafsiran al-Quran klasik ada 2 hal yang berpengaruh besar. Pertama tentang krisis Orientasi dan yang kedua adalah krisis Epistimologi (Ridho; 2007, 80).
  1. Krisis Orientasi
Hanafi menginginkan penafsiran al-Quran menjadi sumber rujukan utama dalam bidang keilmuan lainnya seperti filsafat, fiqih, tasawuf ushul fiqih dan lain-lain. Penafsiran klasik tidak pernah tuntas dan tafsir ini hanya terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin ilmu klasik Islam. Dalam penafsiran ini al-Quran lebih banyak digunakan sebagai justifikasi atas posisi keilmuan lain daripada memahaninya secara sunggung-sungguh. al-Quran dipaksakan untuk menguatkan posisi ilmu yang lain. Orientasi tafsir klasik menurut hasan hanafi mempunyai 3 kelemahan. Pertama penafsiran ini lebih bersifat teosentris daripada antroposentris. Kedua, berujukan kepada lingkup Islam klasik, dan yang terakhir tidak pernah dimulai dengan mengkritik.
            2.      Krisis epistimologis
Kebanyakan tafsir yang klasik hanya skedar menjelaskan masalah-masalah yang tidak menyinggung dengan permasalahan masyarakat. Di dalamnya hanya mengulang-ulang saja pendapat para ulama terdahulu dan mengemasnya dengan berbagai argumen.
E.     Metode Hermeneutika Hasan Hanafi
Hal yang ingin diwujudkan Hanafi dalam pemikirannya adalah merekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri yang mendasarkan kepada realitas kehidupan kontemporer masyarakat. Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas.
Hanafi juga menambahkan pendapatnya secara jelas bahwa ia menyatakan keluar dari tradisionalisme (taklidisme) dan tidak mengikuti jejak para salaf ash-shalih. Hasan Hanafi secara tegas mengajak kepada kita untuk mengalih fokus kajian dari Alloh swt dan Rosul, yang menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan tradisional, menuju manusia yang sekarang sebagai objek kajian (Santoso; 2007, 55).
      1.      Kelemahan Tafsir Klasik (Nashir; 2004, 93).
a.       Tafsir itu selalu lebih merupakan teori tentang eksistensi Allah SWT daripada tentang eksistensi manusia.
b.      Tafsir klasik selalu terkait dengan kondisi lokal Islam tempat dahulu Islam lahir, Khususnya dari segi sosial dan ekonmi.
c.       Penulisan tafsir tidak dimulai dengn mengkritik, menyerukn perbaikan dan perubahan radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama.
      2.      Metodologi Penulisan Hermeneutika Hasan Hanafi (Nashir; 2004, 109)
a.       Wahyu di letakkan dalam tanda kurung ”epoche” tidak afirmasi.
b.      Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya.
c.       Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.
d.      Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir
e.       Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis.
      3.      Krakteristik Penafsiran Hasan Hanafi (Nashir; 2004, 120).
a.       Tafsir itu harus menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz’i).
b.      Tafsir ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu’i)
c.       Bersifat temporal (at-tafsir az-zamani).
d.      Realistik (at-tafsir al-waqi’i). Dimulai dari problematika yang dialami oleh orang muslim.
e.       Berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan kata.
f.       bersifat experimental, karena tafsir ini merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
g.      perhatian terhadap problem kontemporer.
F.     Kiri Islam Hasan Hanafi

            1.      Pengertian Kiri Islam
Makna kata “kiri” disini adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Ia juga istilah ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Kata Kiri Islam sendiri muncul secara spontan. Penamaan itu pun setelah melihat realitas yang berkembang dalam masyarakat khususnya umat islam yang kehidupannya terkotak-kotak seperti antara penguasa dan rakyat, kaya dengan yang miskin, atasan dengan bawahan, dan lain-lain. Kiri Islam berada pada posisi yang dikuasai, si miskin, terpinggirkan. Kiri Islam berada pada pihak yang terkotak-kotak di bawah, mengambil hak-hak kaum miskin yang terenggut oleh orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah menjadi umat yang super, menjadikan manusia tidak hidup terkotak-kotak menjadikan manusia sama tingginya. Dalam bahasa ilmu politik, kiri berarti perjuangan dan kritisisme (Sholahuddin; 2010, 142).
           2.      Isi Pemikiran Kiri Islam (Sholahuddin; 2010, 186).
Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat.
a.       Revitalisasi Khazanah Islam klasik. Hasan Hanafi menekankan bahwa perlunya ra
b.      sionalisme untuk revitalisasi Khazanah Islam. Rasionalisme adalah keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.
c.       Perlunya menantang peradaban barat. Ia mengingatkan tentang bahayanya imperalisme kultural barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya.
d.      Analisis terhadap realitas dunia Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada dirinya sendiri.
Karya tulis Hasan Hanafi tentang kiri Islam ini di buat oleh beliau sekitar sepuluh tahun dalam lima jilid dan terbit pada tahun 1988 dan karya ini disebut-sebut sebagai karya yang paling fenumental dalam sejarah karyanya. Kiri Islam bukan hanya bentuk respon Hasan Hanafi  atas revolusi Islam di Iran. Dalam karyanya yang lain yang menggambarkan pula tentang pemikirannya tentang “Agama dan Pembebasan” mungkin kita mengkaji Teologi pembebasan. Disini Hanafi tidak hanya mengeluarkan tentang isu-isu revolusioner tentang dunia Arab-Islam tetapi juga berkaitan dengan Teologi Pembahasan (Sholahuddin; 2010, 142).

G.    Pemikiran Tentang Oksidentalisme
Menurut Nurcholis Madjid oksidentalisme adalah “pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa barat” (N. Madjid “orientalisme dan oksidentalisme, 2000). Secara umumnya oksidentalis adalah pengkajian orang-orang timur tentang orang-orang barat dari bahasa, kebudayaan dan lain-lain yang berhubungan dengan Barat (Harb; 2003, 74).
Hasan Hanafi adalah orang yang digadang-gadang sebagai pencetus adanya oksidentalisme. Ia merasa tidak setuju dengan lingkungan disekitar yang sangat dihegemoni oleh bangsa barat, yang seolah-olah barat adalah pusat dari segalanya. Dengan keadaan yang seperti itu membuat Hanafi mengeluarkan pemikirannya tentang barat dan ia mempolerkanlah term oksidentalisme (Santoso; 2003, 112).
Beberapa pemikiran hasan hanafi tentang Oksidentalisme. Hasan hanafi menginginkan seorang oksidentalisme mempunyai tugas untuk merumuskan tugas-tugas sebagi pengkaji tradisi barat, seperti berikut: (Nashir; 2004, 118).
  1. Melenyapkan superrioritas Barat dengan menjadikannya sebagai obyek kajian dan menumbangkan kaum minoritas dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hal ini bisa di tandai dengan hilangnya dikotomi antara tuan dengan hamba.
  2. Menghapus mitos kebudayaan Barat atau Kosmopolit sebagai kebudayaan yang harus di adopsi oleh seluruh bangsa. Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa kebudayaan terbaik adalah kebudayaan barat. Untuk menghapus mitos ini Hanafi menawarkan solusi yaitu dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan akan mengembalikan Barat pada batas-batas alamiyahnya.
  3. Mengakhiri kontrol Eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak baru bagi sejarah manusia. Hal ini dimulai dengan masa pembebasan yang bertepatan dengan krisis abad 20 di Eropa. Penarikan mundur Eropa ke batas geografisnya. Melemahnya kebudayaan Barat dan pengaruhnya terhadap bangsa lain.
  4. Meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme sejarah Eropa untuk kemudian dilakukan penulisan ulang sejarah Dunia dengan kacamata yang lebih obyektif dan netral serta lebih bersifat adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
  5. Sebagian Karya-Karya dari Hasan Hanafi yaitu:
a.       Essai Sur La Methode d’ Exegese (Esai tentang metode Penafsiran) Tahun 1966.
b.      Tulisan di media massa seperti Al-Katib, Al-Adab, Mimbar Islam, Al-fikr al-Mu’ashir, sekitar tahun 1970-an.
c.       Qudhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.
d.      Al-Din wa al-Tsurah fi Mishr sekitar tahun 1952-1981
e.       Al-Turats wa al-Tajdid sekitar tahun1980an.
Sebenarnya karya-karya Hasan Hanafi banyak sekali, entah itu yang yang berbentuk buku, artikel atau dalam bentuk tulisan lainnya.

H.    Pengaruh dan Pro Kontra Pemikiran Hassan Hanafi
Meskipun di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar  yakni dunia Eropa atau Barat (Nashir; 2004, 102).
Bagi kelompok konservatif Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam didalam kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam (Nashir; 2004, 207).
Selain mendapat kecaman dari kelompok-kelompok Islam konservatif, Hassan Hanafi juga mendapat cekalan dari pemerintahan Mesir. Ketika pemerintahan Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan  gerak-geriknya, atau pergi keluar negeri. Dengan desakkan dari pemerintah akhirnya Hassan Hanafi pergi ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975), dan baru kembali setelah terjadi gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat (Nashir; 2004, 221).



BAB III
PENUTUP

Hasan Hanafi adalah tokoh pemikir modern dan penggerak dalam dunia Islam. Ia mempunyai berbagai pemikiran yang reformis dan revolusioner dalam pembaharu pemikiran-pemikiran Islam. Ide-ide pemikiran ini berada pada berbagai bidang, tetapi hanya beberapa pemikiran beliau yang sangat fenomenal dan sangat berpengaruh hingga sekarang.
Beberapa inti pemikiran beliau adalah tentang Kiri Islam yaitu bentuk perlawanan “politik” dalam memperbaiki kehidupan masyarakat dalam menghadapi kenyataan. Teori ini ingin menghapus adanya sekat-sekat yang ada dalam realitas masyarakat seperti tuan dengan hambanya, atasan dengan bawahannya, si kaya dan si miskin, dan lain-lain.
Inti pemikiran yang kedua yaitu tentang Hermeneutika Al-Quran. Pemikiran mengkritik tentang model penafsiran klasik yang hanya berkutat menafsirkan yang berhubungan dengan teosentris saja tanpa ada pengaruh terhadap realita kehidupan. Ia juga memberikan model-model penafsiran yang berhubungan dengan keadaan sekarang.
Pemikiran yang ketiga adalah tentang oksidentalisme, dimana ia orang pertama yang mencetuskan tentang term oksidentalisme. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi dia terhadap hegemoni bangsa barat yang selalu mendominasi setiap unsur kehidupan.
Mungkin ini adalah gambaran sekilas tentang pemikiran hasan hanafi yang dapat penulis sampaikan. Tentunya banyak sekali pemikiran dari Hasan Hanafi yang belum sempat terbahas dalam uraian di atas karena apa yang penulis sampaikan hanyalah sebagian kecil dari hasil pemikirannnya.



DAFTAR PUSTAKA

Shimogaki, Kazuo, 1997, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme (Yogyakarta : Lkis).
Muhammad Hamid an-Nashir.2004. Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Taghrib, (Jakarta: Darul Haq).
Sholahuddin, Devi Muharrom. 2010, Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi, (Jakarta: Sumber Ilmu).
Listiyono Santoso dkk. 2003, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press).
Harb, Ali. 2003, kritik nalar al-Quran, (Yogyakarta: lkis).
Al-Hamdi, Ridho. 2007,  Epistemologi Oksidentalisme Hasan Hanafi. (Yogyakarta).







0 komentar:

Posting Komentar