BUTIR-BUTIR PEMIKIRAN HASAN HANAFI
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah dan kebudayaan Islam di bagi dalam
beberapa periodesasi. Pada periode klasik peradaban Islam sangat maju, dilihat
dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, arsitekstur yg ada pada masa itu sangat
maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita tentang ilmu pengetahuan,
kebudayaan. Bisa di katakan pada masa itu barat sangat tertinggal sekali dengan
dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah mulai bangkit sedangkan Islam
mulai terpuruk akibat dari serangan bangsa mongol. Ilmu pengetahuan, kebudayaan
dan bahkan kehidupan di dunia Islam bisa di bilang mati. Pada masa periode
modern ini Islam mulai bangkit dari keterpurukan, mengejar ketertinggalan dari
dunia barat.
Kebangkitan-kebangkitan ini berasal dari dunia Arab. Banyak
para tokoh yang mulai melakukan penggerakan untuk bisa bangkit dan melawan
terhadap keadaan yang terpuruk. Para tokoh ini ada yang melakukan gerakan fisik
untuk melakukan revolusioner dan ada pula tokoh yang lebih suka mengeluarkan
ide-idenya untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan kemauan untuk berubah.
Ada pula tokoh yang menggabungkan antar keduanya antara perjuangan fisik dan
gerakan pemikiran.
Pada kesempatan kali ini akan
dicoba di jabarkan tentang seorang tokoh revolusioner mulai dari
biografi, setting sosial, pemikirannya, karya-karyanya yang sampai saat ini
masih bisa kita rasakan pengaruhnya, yaitu tentang tokoh Dr. Hasan Hanafi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
dan Setting Sosial Hasan Hanafi
Hasan
Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir di dekat Benteng Salahuddin,
daerah Perkampungan Al-Azhar. Perkampungan ini dekat dengan Universitas
Al-Azhar dimana tempat ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim
dari berbagai dunia. Tradisi keilmuan berkembang disana sejak lama. Meskipun
lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung. Menurut sejarah
dan kebudayaan kota Mesir telah dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar
sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk da Tukri dan bahkan Eropa
Modern. Hasan Hanafi adalah filusuf hukum Islam serta guru Besar Fakultas
Filsafat Universitas kairo (Scribd:2016, 4).
Hasan
hanafi sekolah di sekolah dasar, selesai tahun 1948. Melanjutkan ke Madrasah
Tsanawiyah “Khalil Agha” kairo selesai tahun 1952.mulai di tsanawiyah inilah,
ia mulai aktif mengikuti diskusi-diskusi al-ikhwan al- muslimun. Dari
kegiatannya ini pemikirannya mulai berkembang. Setelah Tsanawiyah Ia
melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas kairo selesai pada tahun
1956 sebagai Sarjana muda. Setelah itu Hanafi melanjutkan studi di Universitas
Sorbonne Prancis dengan mengambil konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-Modern
dan Modern. Menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966, dengan
tesis Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La
Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi berjudul L’Exegese de La
Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et sonapplication au
Phenomene Religiux (Sholahudin; 2010, 40).
Hasan
Hanafi kecil hidup di lingkungan yang di jajah oleh bangsa asing. Kenyataan ini
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya. Karena sikapnya inilah ia ahirnya
memberanikan diri mendaftar sebagai sukarelawan perang melawan Israel pada
tahun 1948 ketika usianya baru mencapai 13 tahun. Tetapi ia ditolak oleh pemuda
Muslimin karena mereka menganggap hanafi masih terlalu muda. Ia merasa kecewa
dan menganggap bahwa mesir saat itu sedang terjadi problem persatuan dan
perpecahan.
Kejadian
yang diaalami olehnya pada masa itu, terutama di kampus. membuatnya bangkit
menjadi seorang yang pemikir, pembaharu, dan reformis. Ia merasa prihatin
dengan keadaan umat islam yang tertinggal dan permasalahan internal yang
berkepanjangan yang tak usai-usai.
Ketika dia
sekolah di Francis, ia mendapat tempat yang kondusif untuk belajar ia mulai
mencari-cari jawaban atas permasalahn yang dihadapi oleh negerinya, beserta
rumusan-rumusan jawaban untuk mengatasi dan menanggulangi permasalahan. Disana
ia juga mulai berfikir secara metodologi lewat buku-buku karya orientalis dan
perkuliahan yang ia ikuti (Ridho; 2007, 87).
Ia juga
sempat belajar pada seorang reformis katolik,Jean Gitton, tentang metodologi
berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dar Paul
Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang
pembaharuan Ushul Fikih dari Prof. Masnion (Santoso; 2003, 280). Setelah
kembalinya ia dari kuliah di Sarbonne Prancis pada tahun 1966, timbulah
keinggin beliau untuk mengembangkan tulisan-tulisannya. Tetapi niat ini
terurung ketika tahun 1967 Mesir diserang oleh Israel. Keadaan ini menimbulkan
semangat nasionalismenya muncul. Ia kemudian bersatu bersama rakyat (Shimogaki;
1997, 100).
Hasan
Hanafi juga mengajar di Universitas Cairo disela-sela waktu luangnya. Ia juga
mulai giat menulis artikel-artikel untuk menanggapi permasalahan aktual yang
sedang dihadapi oleh bangsanya. Ia memanfaatkan media massa dalam menyampaikan
hasil pemikirannya. Hasan Hanafi juga mengajar di beberapa Universitas di Luar
Negeri, ia juga pernah menjadi Profesor tamu di beberapa negara seperti
Perancis (1969), Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang.
Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo,
dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987
(Ridho; 2007, 101).
Ada hal
menarik tentang alasan Hasan Hanafi pergi ke Ameika Serikat, ini berawal dari
adanya keberatan dari pihak pemerintah pada aktivitasnya di Mesir sehingga ia
diberi opsi ia akan tetap melanjutkan aktivitasnya atau pergi ke Amerika.
Dengan desakkan dari pemerintah akhirnya Hassan Hanafi pergi ke Amerika untuk
mengajar di Universitas Temple (1971-1975), dan baru kembali setelah terjadi
gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat. Dan kehidupan barunya di Negara itu
memberikan ia kesempatan untuk banyak menulistentang dialok antar agama dengan
revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang
pembaharuan pemikiran islam secara menyeluruh (Ridho; 2007, 182).
Basis
sosial Hasan Hanafi adalah kondisi obyektif dunia Islam pada umumnya yang masih
mempresentasikan diri dengan simbol-simbol keterbelakangan kemiskinan kebodohan
dan sebagainnya, sebagai musuh internal umat. Sementara kapitalisme global
dengan sejumlah tawaran-tawaran entetisnya berupa proyek rasionalisasi dan
sistem pengorganisasi sosial yang bersifat absolut sebagai penggolongan
kebebasan manusia yang bersifat tunggal dan hegemonik. Realitas ini
menghadapakan timur pada situasi yang dilematis. Di satu sisi dihadapkan pada
situasi untuk menerima kapitalisme global dengan segala implikasinya
sebagai keniscayaan sejarah, sementara di sisi lain, kondisi obyektif dunia
timur (Islam) masih diselimuti problem internal berupa ketidaksiapan sosiologis
maupun epistimologis sebagai basis kebudayaannya.
Meskipun
di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok
Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis
beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats
wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat,
sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar
yakni dunia Eropa atau Barat (Santoso; 2003, 89).
Bagi
kelompok konservatif, Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam
lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam
didalam kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh
kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif
telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam (Sholahuddin; 2010, 122).
Komitmen
sebagai pemikir dan keterlibatanya dalam pergumulan perubahan sosial membawa
Hasan Hanafi pada refleksi orogresif-transformatif. Kemenangan revolusi islam
iran 1979 yang berhasil meruntuhkan kekuasaan syah iran dukungan AS, memberikan
sebuah semangat bagi dirinya serta anakmuda lainnya untuk terlibat dalam
perubahan sosial politik. Hasan Hanafi berkeyakinan bahwa islam sebagai
ideologi dan sumber motivasi terbukti masih merupakan senjata ampuh bagi setiap
gerakan massa. Realitas ini merupakan satu bukti pula betapa dunia timur (Islam)
mempunyai tradisi lama yang sanggup memberikan spirit bagi perubahan
sosial politik (Harb; 2003, 80).
B.
Pemikiran Hasan Hanafi tentang
Tafsir/Hermeneutik Al-Quran
Hasan hanafi
mempunyai banyak sekali pemikiran dalam dunia islam. Ada hasil pemikiran beliau
dalam hal “politik” yang sangat terkenal yaitu Kiri Islam dan dalam bidang
tafsir karyanya adalah Hermeneutika Al-quran. Ada juga tentang oksidentalisme.
Disini akan coba di jelaskn beberapa inti pemikiran dari Hasan Hanafi.
Buku
karya Hasan Hanafi yang disusunnya selama 10 tahun ini terdiri dari lima
volume. Volume pertama terfokus pada premis-premis teoritis (al-muqaddimah
an-nazhariyyah), volume ke 2 membahas tntang ketauhidan (at-tauhid), volume
ketiga membahas tentang keadialn (al-adl), volume keempat mendiskusikan tentang
kenabian (an-nubuwwah al-muad) dan volume yang terakhir berbicara tentang amal,
keimanan dan imamah. Pada kelima karya nya hanya pada volume pertamalah ia
mampu menuangkan ide-ide pemikiran yang sangat cemerlang yang diberi nama at-turats
wa at-Tajdid ini berbicara tentang tradisi barat (Harb; 2003, 68).
Hasan
Hanafi dalam karyanya yang berjudul at-turats wa at-Tajdid dirumuskan
kedalam 3 bagian yang saling berhubungan. Pertama adalah rekonstruksi tradisi
Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang
mencerminkan “apresiasi terhadap hasanah klasik”. Kedua rekonstruksi ulang
terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin
dalam “sikap kita terhadap barat”. Yang ketiga adalah upaya membangun sebuah
teori interpretasi al-Quran yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam
skla global yang memposisikan islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan
(sikap kita terhadap realitas) (Ridho; 2007, 74).
C.
Pandangan Hanafi terhadap al-Quran
Hasan
hanafi adalah seorang tokoh kontemporer, tetapi dalam pemikirannya ia berbeda
dengan kebanyakan ulama lainnya. Ia tidak mempermasalahkan keotentikan dan
keabsahan teks al-Quran. Menurut Hanafi dari sekian banyak kitab suci yang di
turunkan oleh Allah SWT hanya al-Qur’anlah yang bisa di jamin keasliannya saat
ini. Hanafi juga sepakat dengan ulama terdahulu hanafi menyatakan bahwasanya
Allah SWT menurunkan al-Quran secara vertikal kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril. Dalam proses vertikal ini Malaikat dan Nabi Muhammad bertindak
sebagi Passive transmiters. Keduanya bertindak sebagai record sepenuhnya,
sehingga wahyu Allah bersifat verbatim (Nashir; 2004, 65).
Sebagai
passive transmitters, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad menyampaikan apa
adanya wahyu yang mereka terima dari Allah. Sebagai contoh, ada beberapa surat
Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf-huruf muqaṭṭa’ah seperti Nūn,
Qāf, Yāsīn dan lain sebagainya, kemudian terdapat pula ayat yang mengkritik
Nabi Muhammad seperti yang terdapat pada awal surat Abbasa. Keberadaan
ayat-ayat semacam ini merupakan bukti internal bahwa Al-Qur’an otentik,
terbebas dari campur tangan Nabi Muhammad. Hanafi juga meyakini bahwa semua
ayat dalam al-Quran itu mempunyai asbabul nuzul (Sholahuddin; 2010, 40)
Menurut Hasan Hanafi al-Quran sebagai wahyu
mempunyai 3 keunggulan dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya (Ridho; 2007,
70).
- Al-Quran adalah kitab terakhir dalam sejarah kenabian sejak nabi Adam as sampai nabi Muhammad SAW. Sebagai kitab terakhir adalah ia yang kitab yang sempurna bentuknya, dan oleh karena itu ia dijadikan sumber syariat tanpa harus menunggu perubahan, penggantian dan penghapusan.
- Al-Quran adalah kitab yang paling di jamin keotentikannya, tidak ada perubahan di dalamnya. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang terdapat perubahan didalamnya.
- Al-Quran adalah kitab suci yang terakhir diturunkan dan tidak sekaligus melainkan bertahap sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada saat itu. Ayat-ayat al-Quran yang turun sebagai penyelesaian atas kondisi pada saat itu. Ayat-ayat tersebut terkumpul selama 23 tahun dan sekarang kita kenal dengan mushaf al-Quran.
Menurut Hasan
Hanafi membaca teks sama saja dengan memahaminya. Teks adalah perubahan
kehendak dari lisan menjadi tulis. Menurutnya teks bukanlah dokumen yang lebih
dekat kepada catatan kuno tetapi realitas yang hidup dalam keadaan diam, yang
akan terbangkit melalui pembacaan sehinnga hidup kembali dalam berbagai bentuk.
Teks bukan saja sebagai bentuk dokumentasian yang bertujuan untuk melestarikan
dan untuk mencatat melainkan cermin keotoritasan pengorentasian, kodifikasi dan
penetapan hukum (Nashir; 2004, 90).
D.
Pandangan
Hasan Hanafi terhadap Penfsiran Klasik al-Quran
Awal mula
Hanafi mengemukakan pendapatnya tentang al-Quran adalah ketika dia tidak merasa
puas dengan teori klasik yang telah dibangun oleh ulama tafsir. Ia beranggapan
bahwa teori yang dipakai tidak memiliki teori yang solid yang memiliki
prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi. Karena penafsiran model klasik ini
tidak menginjak pada level syarah (komentar), tafsil (detailisasi) dan tikrar
(pengulangan) serta penjelas tentang apa point-point yang harus di tekankan
ketika menafsirkan ayat/surah tertentu. disisi lain ia mengabaikan kehidupan,
problem, kebutuhan manusia yanag mengakibatkan teks tersebut hanya berkutat
pada dirinya sendiri (Shimogaki; 1997, 65).
Teori
tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitaz( antara dunia
dan akhirat dan manusia dengan tuhan). Menurut Hasan Hanafi problematika
penafsiran al-Quran klasik ada 2 hal yang berpengaruh besar. Pertama tentang
krisis Orientasi dan yang kedua adalah krisis Epistimologi (Ridho; 2007, 80).
- Krisis Orientasi
Hanafi
menginginkan penafsiran al-Quran menjadi sumber rujukan utama dalam bidang
keilmuan lainnya seperti filsafat, fiqih, tasawuf ushul fiqih dan lain-lain.
Penafsiran klasik tidak pernah tuntas dan tafsir ini hanya terjebak pada
orientasi metodologis dari disiplin ilmu klasik Islam. Dalam penafsiran ini
al-Quran lebih banyak digunakan sebagai justifikasi atas posisi keilmuan lain
daripada memahaninya secara sunggung-sungguh. al-Quran dipaksakan untuk
menguatkan posisi ilmu yang lain. Orientasi tafsir klasik menurut hasan hanafi
mempunyai 3 kelemahan. Pertama penafsiran ini lebih bersifat teosentris
daripada antroposentris. Kedua, berujukan kepada lingkup Islam klasik, dan yang
terakhir tidak pernah dimulai dengan mengkritik.
2.
Krisis
epistimologis
Kebanyakan tafsir yang klasik hanya skedar menjelaskan
masalah-masalah yang tidak menyinggung dengan permasalahan masyarakat. Di
dalamnya hanya mengulang-ulang saja pendapat para ulama terdahulu dan
mengemasnya dengan berbagai argumen.
E.
Metode
Hermeneutika Hasan Hanafi
Hal yang ingin
diwujudkan Hanafi dalam pemikirannya adalah merekonstruksi peradaban dengan
menunjukan pada sumber-sumbernya, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri yang
mendasarkan kepada realitas kehidupan kontemporer masyarakat. Hanafi
menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas.
Hanafi
juga menambahkan pendapatnya secara jelas bahwa ia menyatakan keluar dari
tradisionalisme (taklidisme) dan tidak mengikuti jejak para salaf ash-shalih.
Hasan Hanafi secara tegas mengajak kepada kita untuk mengalih fokus kajian dari
Alloh swt dan Rosul, yang menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan
tradisional, menuju manusia yang sekarang sebagai objek kajian (Santoso; 2007,
55).
1.
Kelemahan
Tafsir Klasik (Nashir; 2004, 93).
a. Tafsir itu selalu lebih merupakan
teori tentang eksistensi Allah SWT daripada tentang eksistensi manusia.
b. Tafsir klasik selalu terkait dengan
kondisi lokal Islam tempat dahulu Islam lahir, Khususnya dari segi sosial dan
ekonmi.
c.
Penulisan
tafsir tidak dimulai dengn mengkritik, menyerukn perbaikan dan perubahan
radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama.
2.
Metodologi
Penulisan Hermeneutika Hasan Hanafi (Nashir; 2004, 109)
a. Wahyu di letakkan dalam tanda kurung
”epoche” tidak afirmasi.
b.
Al-Qur’an
diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis,
dokumen sejarah dan sebagainya.
c.
Tidak
ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah
perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan
dan motivasi.
d.
Tidak
ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang
disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir
e. Konflik penafsiran merefleksikan
konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis.
3.
Krakteristik
Penafsiran Hasan Hanafi (Nashir; 2004, 120).
a. Tafsir itu harus menghasilkan tafsir
yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz’i).
b. Tafsir ini disebut juga tafsir
tematik (at-tafsir al-maudhu’i)
c. Bersifat temporal (at-tafsir
az-zamani).
d. Realistik (at-tafsir al-waqi’i). Dimulai
dari problematika yang dialami oleh orang muslim.
e. Berorientasi pada makna tertentu dan
bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan kata.
f. bersifat experimental, karena tafsir
ini merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
g. perhatian terhadap problem
kontemporer.
F.
Kiri Islam
Hasan Hanafi
1.
Pengertian Kiri Islam
Makna kata
“kiri” disini adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti
resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas.
Ia juga istilah ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Kata Kiri Islam sendiri
muncul secara spontan. Penamaan itu pun setelah melihat realitas yang
berkembang dalam masyarakat khususnya umat islam yang kehidupannya
terkotak-kotak seperti antara penguasa dan rakyat, kaya dengan yang miskin,
atasan dengan bawahan, dan lain-lain. Kiri Islam berada pada posisi yang
dikuasai, si miskin, terpinggirkan. Kiri Islam berada pada pihak
yang terkotak-kotak di bawah, mengambil hak-hak kaum miskin yang terenggut oleh
orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah menjadi umat yang super,
menjadikan manusia tidak hidup terkotak-kotak menjadikan manusia sama
tingginya. Dalam bahasa ilmu politik, kiri berarti perjuangan dan kritisisme
(Sholahuddin; 2010, 142).
2.
Isi Pemikiran Kiri Islam (Sholahuddin; 2010,
186).
Kiri Islam
bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam
(revolusi tauhid), dan kesatuan umat.
a.
Revitalisasi Khazanah Islam klasik. Hasan Hanafi
menekankan bahwa perlunya ra
b.
sionalisme untuk revitalisasi Khazanah Islam.
Rasionalisme adalah keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta
untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.
c.
Perlunya menantang peradaban barat. Ia
mengingatkan tentang bahayanya imperalisme kultural barat yang cenderung
membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya.
d.
Analisis terhadap realitas dunia Islam. Ia
mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan
suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada dirinya
sendiri.
Karya tulis
Hasan Hanafi tentang kiri Islam ini di buat oleh beliau sekitar sepuluh tahun
dalam lima jilid dan terbit pada tahun 1988 dan karya ini disebut-sebut sebagai
karya yang paling fenumental dalam sejarah karyanya. Kiri Islam bukan hanya
bentuk respon Hasan Hanafi atas revolusi Islam di Iran. Dalam karyanya
yang lain yang menggambarkan pula tentang pemikirannya tentang “Agama dan
Pembebasan” mungkin kita mengkaji Teologi pembebasan. Disini Hanafi tidak hanya
mengeluarkan tentang isu-isu revolusioner tentang dunia Arab-Islam tetapi juga
berkaitan dengan Teologi Pembahasan (Sholahuddin; 2010, 142).
G.
Pemikiran Tentang Oksidentalisme
Menurut
Nurcholis Madjid oksidentalisme adalah “pengetahuan akademik tentang budaya,
bahasa, dan bangsa-bangsa barat” (N. Madjid “orientalisme dan oksidentalisme,
2000). Secara umumnya oksidentalis adalah pengkajian orang-orang timur tentang
orang-orang barat dari bahasa, kebudayaan dan lain-lain yang berhubungan dengan
Barat (Harb; 2003, 74).
Hasan
Hanafi adalah orang yang digadang-gadang sebagai pencetus adanya
oksidentalisme. Ia merasa tidak setuju dengan lingkungan disekitar yang sangat
dihegemoni oleh bangsa barat, yang seolah-olah barat adalah pusat dari
segalanya. Dengan keadaan yang seperti itu membuat Hanafi mengeluarkan
pemikirannya tentang barat dan ia mempolerkanlah term oksidentalisme (Santoso;
2003, 112).
Beberapa
pemikiran hasan hanafi tentang Oksidentalisme. Hasan hanafi menginginkan
seorang oksidentalisme mempunyai tugas untuk merumuskan tugas-tugas sebagi
pengkaji tradisi barat, seperti berikut: (Nashir; 2004, 118).
- Melenyapkan superrioritas Barat dengan menjadikannya sebagai obyek kajian dan menumbangkan kaum minoritas dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hal ini bisa di tandai dengan hilangnya dikotomi antara tuan dengan hamba.
- Menghapus mitos kebudayaan Barat atau Kosmopolit sebagai kebudayaan yang harus di adopsi oleh seluruh bangsa. Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa kebudayaan terbaik adalah kebudayaan barat. Untuk menghapus mitos ini Hanafi menawarkan solusi yaitu dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan akan mengembalikan Barat pada batas-batas alamiyahnya.
- Mengakhiri kontrol Eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak baru bagi sejarah manusia. Hal ini dimulai dengan masa pembebasan yang bertepatan dengan krisis abad 20 di Eropa. Penarikan mundur Eropa ke batas geografisnya. Melemahnya kebudayaan Barat dan pengaruhnya terhadap bangsa lain.
- Meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme sejarah Eropa untuk kemudian dilakukan penulisan ulang sejarah Dunia dengan kacamata yang lebih obyektif dan netral serta lebih bersifat adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
- Sebagian Karya-Karya dari Hasan Hanafi yaitu:
a.
Essai Sur La Methode d’ Exegese (Esai tentang
metode Penafsiran) Tahun 1966.
b.
Tulisan di media massa seperti Al-Katib,
Al-Adab, Mimbar Islam, Al-fikr al-Mu’ashir, sekitar tahun 1970-an.
c.
Qudhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.
d.
Al-Din wa al-Tsurah fi Mishr sekitar tahun
1952-1981
e.
Al-Turats wa al-Tajdid sekitar
tahun1980an.
Sebenarnya
karya-karya Hasan Hanafi banyak sekali, entah itu yang yang berbentuk buku,
artikel atau dalam bentuk tulisan lainnya.
H.
Pengaruh dan Pro Kontra Pemikiran Hassan Hanafi
Meskipun
di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok
Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis
beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats
wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat,
sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar
yakni dunia Eropa atau Barat (Nashir; 2004, 102).
Bagi
kelompok konservatif Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam
lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam
didalam kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh
kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif
telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam (Nashir; 2004, 207).
Selain
mendapat kecaman dari kelompok-kelompok Islam konservatif, Hassan Hanafi juga
mendapat cekalan dari pemerintahan Mesir. Ketika pemerintahan Mesir memberikan
pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan
aktivitas intelektual dan gerak-geriknya, atau pergi keluar negeri.
Dengan desakkan dari pemerintah akhirnya Hassan Hanafi pergi ke Amerika untuk
mengajar di Universitas Temple (1971-1975), dan baru kembali setelah terjadi
gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat (Nashir; 2004, 221).
BAB III
PENUTUP
Hasan Hanafi adalah tokoh pemikir modern dan
penggerak dalam dunia Islam. Ia mempunyai berbagai pemikiran yang reformis dan
revolusioner dalam pembaharu pemikiran-pemikiran Islam. Ide-ide pemikiran ini
berada pada berbagai bidang, tetapi hanya beberapa pemikiran beliau yang sangat
fenomenal dan sangat berpengaruh hingga sekarang.
Beberapa inti pemikiran beliau adalah tentang
Kiri Islam yaitu bentuk perlawanan “politik” dalam memperbaiki kehidupan
masyarakat dalam menghadapi kenyataan. Teori ini ingin menghapus adanya
sekat-sekat yang ada dalam realitas masyarakat seperti tuan dengan hambanya,
atasan dengan bawahannya, si kaya dan si miskin, dan lain-lain.
Inti pemikiran yang kedua yaitu tentang
Hermeneutika Al-Quran. Pemikiran mengkritik tentang model penafsiran klasik
yang hanya berkutat menafsirkan yang berhubungan dengan teosentris saja tanpa
ada pengaruh terhadap realita kehidupan. Ia juga memberikan model-model
penafsiran yang berhubungan dengan keadaan sekarang.
Pemikiran yang ketiga adalah tentang
oksidentalisme, dimana ia orang pertama yang mencetuskan tentang term oksidentalisme.
Pemikiran ini muncul sebagai reaksi dia terhadap hegemoni bangsa barat yang
selalu mendominasi setiap unsur kehidupan.
Mungkin ini adalah gambaran sekilas tentang
pemikiran hasan hanafi yang dapat penulis sampaikan. Tentunya banyak sekali pemikiran
dari Hasan Hanafi yang belum sempat terbahas dalam uraian di atas karena apa
yang penulis sampaikan hanyalah sebagian kecil dari hasil pemikirannnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shimogaki,
Kazuo, 1997, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme (Yogyakarta
: Lkis).
Muhammad Hamid an-Nashir.2004.
Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam
Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Taghrib, (Jakarta:
Darul Haq).
Sholahuddin,
Devi Muharrom. 2010, Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Hasan Hanafi, (Jakarta: Sumber Ilmu).
Listiyono Santoso dkk. 2003, Epistemologi
Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press).
Harb, Ali. 2003, kritik nalar al-Quran,
(Yogyakarta: lkis).
Al-Hamdi, Ridho. 2007, Epistemologi Oksidentalisme Hasan Hanafi.
(Yogyakarta).
0 komentar:
Posting Komentar