Membangun Kesadaran Rasa Sejati
DINAMIKA PERKEMBANGAN
ILMU ILMIAH MODERN, DAN INTUISI
PRIMITIF-MODERN-POSTMODERNISM
“Melatih diri mengolah intuisi dan Rasa Sejati”
Prologue
Alur penalaran
logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan.
Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis
mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran
akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini.
Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya ? Atau
jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran
manusia saja ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya
lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah
sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia. Dengan asumsi bahwa
sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung
jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan
pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan
manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya
manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala
keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil
keputusan meyakinkan sbb; adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia
hanya membutuhkan keyakinan saja. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi
sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang
yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia.
Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran
kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : “kebenaran
sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi,
kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di
antara serpihan cermin itu”.
Kesadaran; Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan
Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan.
Baik dimensi fisik (wadag), maupun dimensi metafisik berupa misteri alam
kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau
kodrat Tuhan, maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini.
Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan
mungkin belum lah genap 0,0000000001 % dari keseluruhan rahasia yang
ada. Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib.
Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat
permukaan air laut. Kebenaran intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air
laut. Tugas penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi,
namun menjadi tugasnya sukma sejati yang dibimbing oleh rasa sejati.
Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam ke
kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh
(asing dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis ..it’s
nonsense ! Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah
yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan
kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku
orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi. Malah
dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat dimilikinya talenta
intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih sukses tak cukup hanya
berbekal teori-teori ilmu ilmiah serta pengalaman akal-budi (rasionalisme-empirisisme)
saja.
Kesadaran adalah Proses yang Dinamis
Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal
yakni kesadaran jasad/ragawi. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran
akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan
sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan
manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif dan
kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu
pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau wadag, jika dikembangkan
lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran
batiniah.
Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta
Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness) menuntut
tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti
seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya,
bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia
bukan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta (rahmat bagi
alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif (laknat kepada
alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam
semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad
besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus
(kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Pengasih maka
kita harus welas asih pada sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah
dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama.
Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tak boleh
primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri,
kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka
kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang
sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari
kesalahan orang lain. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah
untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya.
Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada
hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi)
alam semesta. Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah
malapetaka besar kehidupan manusia yakni kehancuran peradaban bahkan
kehancuran bumi. Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas
kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam
nafsu misalnya; ngono yo ngono ning aja ngono (jangan berlebihan atau
lepas kendali), aja dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap eling
dan waspadha.
Memahami kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula.
Sebagaimana digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk saloka : Nggawa
latu adadamar ; …membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu
problematika tersendiri (the problem of consciousness) umpama tamsil ; ..kalau
ingin cari makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu.
TAHAP-TAHAP KESADARAN
1. Kesadaran Jasad
Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia.
Kesadaran paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum
memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah memiliki
sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika tubuh bayi
merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat
bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa
naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang
berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri. Melalui naluri
inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah
lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya.
Menangis adalah salah satu cara menjaga diri (survival) yang paling
alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ubo
rampe naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang.
Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian
musim. Burung tersebut hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja
untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui
anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya menyapih. Itu semua bukan
berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja.
Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang
secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi.
Jika ada sekolah gajah di dalamnya bukanlah proses belajar mengajar yang
melibatkan kegiatan analisa akal-budi. Hanya berupa pembiasaan naluri (tanpa
analisa) dengan cara menyakiti tubuh (hukuman) dan hadiah/menyamankan tubuh (stick
& carrot). Pembiasaan naluri ini merupakan cara-cara paling maksimal
yang sanggup direspon oleh naluri hewani.
Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai
baik-buruk, dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya telah
mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun mudah
direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum
alam sebagai bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba,
siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat
binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak.
Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan
akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila
salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan
mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat
alamiah (force major) atau di luar kekuatan manusia pada galibnya
merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam
(harmonisasi).
Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip
kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat
keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin.
Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia hanya mempertahankan
wilayahnya, atau demi memenuhi kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi
mengencingi jidat presiden bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena
kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni
sebatas kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor
konsekuensi norma baik dan buruk. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab
sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran
akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin
tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih
besar pula.
Kesadaran Akal Budi
Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau
rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan
sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar
memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi
karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi.
Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus. Rangsang
atau stimulus tak ubahnya data yang akan diproses oleh software
akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan
kegiatan ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini
upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena
menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi
dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme)
dan pembuktian secara empiris (empirisisme).
1. Kesadaran Nalar
Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup
epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato),
suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, category,
form, sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan
suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam
arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah secara kuantitas
bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki
sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini fenomena sudah cukup
dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat parsial. Kelemahan kesadaran
rasionalisme adalah mensyaratkan kita tidak cukup bekal (nggawa latu)
sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya. Rasionalisme dalam
menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles
sebagai penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur
yang disebut organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu
yang ada (fenomenon). Namun Organon sebagai metode pengajaran
atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi
secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari tidak
mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di
luar diri (being) yang melampaui akal-budi manusia.
Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal
yang rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam scope
kesadaran ini masih bersifat kebenaran koherensi. Yakni kebenaran dapat
diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis kemudian diikuti oleh premis
yang lain yang mendukungnya. Dari dua premis ini kemudian dapat ditarik
kesimpulan (conclusion) sehingga menjadi kebenaran kesimpulan
yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (logic).
2. Kesadaran Empirisisme
Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip Organon
selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni Novum
Organum. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja
tetapi harus dilakukan pembuktian empiris melalui eksperimen. Di
dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu kesadaran empiris dengan metode
eksperimentasi. Dalam perkembangannya empiricism disebut juga realism
yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus
alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di Yunani pada tahun
423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain di
antaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme,
fenomenologi dan lain-lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissance
abad pertengahan di Barat.
Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran
korespondensi. Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-chek
antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang ada.
Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian
dengan mencicipi rasa garam.
Pada tahap ini spiritualitas yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme.
Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman
empiris. Para penganutnya disebut mazab empirisisme. Kesadaran
diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata.
Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah
dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata.
Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran (kebenaran)
di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran
sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat
kelemahan secara signifikan.
0 komentar:
Posting Komentar